Beberapa orang sangat gugup. Ketua MA Sarwata, misalnya, sampai tak sadar mengenakan toga terbalik di acara itu. Bahkan, Sarwata tetap mengenakan toga terbalik saat melantik Habibie sebagai presiden.
Usai lengser, Soeharto berjalan menghampiri orang-orang yang hadir. Ia menyalami satu per satu pejabat negara. Setelah itu, ia melangkahkan kaki keluar Istana dengan tetap tersenyum.
"Saya menyaksikan terakhir Pak Harto keluar dari Istana dan tidak pernah kembali lagi sampai meninggal," tutup Yusril dengan suara yang mulai parau.
![]() Soeharto dan putri pertamanya, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut (sasra/detikfoto) |
Beberapa hari sebelumnya, yakni 18 Mei 1998 di pagi hari, ribuan mahasiswa Universitas Indonesia bersiaga di Salemba. Mereka bersiap menggeruduk Gedung DPR/MPR RI.
Sejak pagi, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Tim Advance telah bertolak ke Senayan. Mereka mencari jalan agar ribuan mahasiswa bisa mengambil alih parlemen.
Di Salemba, kondisi sedikit mencekam. Mahasiswa yang menunggu kepastian dari Senayan sempat terbelah. Sebagian dari mereka ragu untuk meneruskan aksi.
"Bayangannya kita Tiananmen dulu, China itu. Begitu masuk, dibantai. Itu ada dalam pikiran kita yang membuat keraguan besar maju-mundur," kata Taufik Basari kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/5). Ia adalah seorang aktivis '98 yang kini berkiprah di DPR RI sebagai Anggota Fraksi Partai Nasdem.
Kabar dari Senayan sampai di Salemba. Ribuan mahasiswa UI akhirnya berangkat ke Senayan dengan beberapa bus.
Di luar dugaan, perjalanan mereka mulus. Tak ada pengadangan dari aparat keamanan. Padahal, mereka sudah membuat perencanaan A sampai Z jika terjadi tindakan represif ala Orde Baru.
Sesampainya di Senayan, mereka bergabung dengan ribuan mahasiswa dari kampus-kampus lain. Sebagian mahasiswa telah masuk ke dalam lingkungan Kompleks Parlemen.
Taufik dan para mahasiswa UI masuk lewat pintu depan. Tekad sudah mereka bulatkan. Bahkan, mereka siap mendobrak gerbang parlemen dengan kekerasan.
Kembali di luar dugaan, gerbang parlemen tak dikunci. Tak ada aparat berjaga. Ratusan ribu mahasiswa pun mengudeta Kompleks Parlemen.
"Banyak yang kebingungan, setelah masuk, kita lakukan apa? Karena kan anggota DPR tidak ada. Akhirnya, kita putuskan duduki saja dulu, kita minta ada sidang istimewa menurunkan Soeharto," ucap Tobas, panggilan akrab Taufik.
Para mahasiswa menginap di Kompleks Parlemen berhari-hari. Ada yang naik ke atas Gedung Kura-kura. Ada pula yang berleha-leha di taman. Ada juga yang berkeliling melihat-lihat Kompleks Parlemen. Foto parlemen diduduki ribuan mahasiswa dan rakyat jadi salah satu foto ikonik reformasi 98.
Mereka mengisi waktu dengan berorasi. Saluran komunikasi parlemen mereka gunakan sebagai pengeras suara.
Pada 21 Mei 1998, pagi hari, adalah hari ketiga mahasiswa menduduki parlemen. Di hari yang sama, Soeharto mengadakan jumpa pers dari Istana untuk mengumumkan pengunduran diri.
Sebagian mahasiswa menyesaki pos satpam. Maklum, televisi hanya ada di hanya pos satpam kala itu. Mereka pun mendengar dengan saksama pidato tersebut.
Tuntutan mereka terjawab. Diktator yang berkuasa selama 32 tahun itu undur diri. Tobas bilang suasana di Senayan saat itu dipenuhi euforia.
"Akhirnya kita bersorak sorai bergembira. Macam-macam lah," ujarnya.
![]() Pengunduran diri Suharto 1998 |
Kegembiraan para mahasiswa tak berlangsung lama. Mereka langsung dihadapkan pada pertanyaan: Setelah menumbangkan Soeharto, lalu apa?
Tobas mengaku saat itu ratusan ribu mahasiswa kebingungan. Pasalnya, gerakan timbul secara spontan. Mereka tak bergerak untuk mengusung figur pengganti Soeharto.
Dia menyebut mahasiswa terbelah setelah Soeharto mundur. Satu pihak menilai perjuangan telah usai karena Orde Baru telah tumbang. Pihak lainnya, ingin melanjutkan perjuangan ke Istana karena kroni-kroni Soeharto masih berkuasa.
Di tengah pergolakan, gerakan mahasiswa perlahan menyurut. Satu per satu kelompok mahasiswa meninggalkan Senayan.
Tobas menyebut butuh beberapa hari sampai Kompleks Parlemen bersih dari mahasiswa. Namun, yang pasti, mereka tak lagi disatukan oleh tujuan yang sama menumbangkan rezim.
"Terus terang kita kebingungan, 'What's next?' Kepemimpinan gerakan sengaja tidak kita munculkan, pusatkan ke satu-dua orang. Akhirnya, pas sudah sampai klimaks, kita enggak tau harus ikut komando yang mana," ucap Tobas.