Rentetan Kebocoran OTT saat Firli Deputi Penindakan KPK
Kabar mengenai dugaan kebocoran penanganan kasus dugaan korupsi hingga Operasi Tangkap Tangan (OTT) saat Firli Bahuri masih menjabat Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencuat. Firli saat ini sudah menjabat sebagai Ketua KPK 2019-2023.
Hal tersebut mencuat setelah penyidik KPK nonaktif Hasan mengatakan dirinya dan pegawai lainnya pernah melaporkan Firli ke pimpinan karena rencana OTT dan penanganan perkara kerap bocor. Hasan salah satu pegawai yang dinyatakan tak lulus TWK dan dibuang dari KPK.
"Pada waktu itu saya melaporkan Firli membocorkan rencana operasi tangkap tangan. Saya menginformasikan kepada pimpinan seperti itu. Kebocoran di KPK ini paling sering justru pada waktu pak Firli jadi Deputi [Penindakan]," ujar Hasan dalam film dokumenter WatchDoc bertajuk 'The End Game' yang dirilis Senin (14/6) di YouTube.
Mundur ke belakang, 29 Maret 2019, pegawai KPK ramai-ramai membuat petisi yang isinya mengeluhkan masalah di bidang penindakan terkait kebocoran informasi saat penyelidikan. Hampir seluruh satuan tugas (Satgas) penyelidikan KPK pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi senyap.
Petisi yang berisi lima poin penting itu di antaranya menyinggung perihal kedeputian penindakan mengalami kebuntuan mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke level yang lebih tinggi, kejahatan korporasi, dan tindak pidana pencucian uang.
Pegawai juga menyoroti mandeknya laporan dugaan pelanggaran berat oleh oknum di penindakan lantaran tidak ditindaklanjuti secara transparan oleh Pengawas Internal. Mereka pun akhirnya bertemu dengan pimpinan KPK 16 April 2019.
CNNIndonesia.com memperoleh notulensi pertemuan 16 April 2019. Pertemuan berlangsung di lantai 15 Gedung KPK.
Lima pimpinan KPK era Agus Rahardjo Cs serta sejumlah penyelidik dan penyidik KPK hadir. Dalam pertemuan itu, diuraikan secara gamblang perihal dugaan kebocoran penanganan kasus di masing-masing Satgas.
Salah seorang Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyelidikan menuturkan di satgasnya ada tiga kasus yang bocor. Satu kasus bisa dieksekusi, sementara dua lainnya gagal. Ia berujar kebocoran sudah sangat spesifik.
"Artinya informasi yang diperoleh merupakan apa yang menjadi target yang akan dilakukan oleh tim lapangan. Hal tersebut mengindikasikan kebocoran berasal dari lingkup internal," ujarnya.
Sementara di Satgas Penyelidikan lain terdapat empat kasus yang bocor. Menurut Kasatgas Penyelidikan ini, kebocoran diduga terjadi saat Surat Perintah Dimulainya Penyelidikan (Sprinlidik) dikeluarkan dan pada tahap meminta pimpinan untuk menyetujui surat-surat penyadapan.
Kasatgas Penyelidikan lainnya mengatakan hambatan penanganan perkara terjadi ketika proses gelar perkara atau ekspose di tingkat deputi. Kata dia, nama-nama calon tersangka dalam laporan kejadian tindak pidana korupsi (LKTPK) dipermasalahkan, padahal nama tersebut sudah secara resmi ditetapkan dalam ekspose. Penyelidik pada saat itu pun diminta ekspose ulang.
"Pada 2019, 5 kasus bocor. Di mana disebutkan dalam kom 'KPK sudah turun di lapangan', sudah menyebutkan nama orang-orang yang ditarget, ataupun ruang lingkupnya sudah disebutkan. Yang jadi perhatian adalah keselamatan tim lapangan karena dalam kom sudah disebut 'coba dicari', 'di mana mereka menginap', 'dsb'," demikian tercantum dalam notulensi pertemuan.
Menurut penyelidik ini, kebocoran diduga terjadi karena banyaknya personel yang masuk ke dalam suatu kegiatan tertutup misalnya di aplikasi WhatsApp. Kemudian, dugaan selanjutnya adalah handphone Kasatgas yang disadap atau diretas hingga ruang rapat yang tidak steril.