Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menuturkan, preman pada mulanya merupakan sosok yang bersifat fungsional. Mereka hadir mengisi kekosongan bidang keamanan yang tidak diisi oleh pemerintah. Namun, dalam perkembangannya, peran preman yang cenderung mengandalkan kekuatan fisik tergeser.
Setelah itu, kata Adrianus, preman mulai menunjukkan taring mereka dengan menjadi sosok yang memberikan jasa pengamanan dan perlindungan, namun justru membuat orang takut. Mereka menciptakan kondisi di mana, tanpa kehadiran mereka, keadaan tidak aman. Karena itu, mereka memungut bayaran.
"Padahal mereka sendirilah yang sebetulnya menjadi pencipta ketidakamanan tersebut," kata Adrianus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jum'at (18/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Abdil Mughis Mudhoffir mengungkapkan menjamurnya premanisme merupakan dampak dari bagaimana negara dikelola. Menurutnya, selama ini pengelolaan negara cenderung untuk melayani perampok yang berdasi.
Hal ini membuat kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang. Di sisi lain, terdapat banyak orang yang mesti menjalani hidupnya dengan cara minimalis.
"Pada akhirnya memaksa mereka menempuh apapun untuk bertahan hidup," kata Mughis.
Adapun tindakan preman-preman Tanah Abang yang berupaya mengatasi persoalan kriminalitas di wilayahnya dengan membangun perusahaan, menurut Mughis merupakan respons atas ketidakhadiran pemerintah.
Banyak masyarakat kelas bawah, kata Mughis, bergabung dengan organisasi preman karena justru lembaga tersebutlah yang memberikan rasa aman, baik secara sosial maupun ekonomi. Organisasi tersebut juga memberikan pekerjaan, uang, hingga rasa bangga saat orang yang bergabung berguna bagi kelompoknya.
"Tokoh-tokoh preman mengeksploitasi situasi ini yang membuat mereka jadi punya banyak pengikut," jelas Mughis.
Bisnis kekerasan dan keamanan di Jakarta sendiri sudah semakin terorganisir. Ada yang menggunakan kedok jasa penagihan dengan menyediakan debt collector atau jasa keamanan lingkungan seperti diutarakan Haji Lulung.
Mereka berhimpun dalam beragam wadah, mulai dari ormas, badan usaha, atau sekadar paguyuban berdasarkan etnis. Lewat wadah itu jasa yang mereka tawarkan jadi terlihat formal alias resmi.
Pasar Cideng dikelola oleh Koperasi berbadan hukum Surya Alga Amanah yang didirikan oleh Haji Heru,salah satu bekas preman Tanah Abang. Haji Heru membuka pasar ini bersama anak buahnya yang ia rekrut dari jalanan.
M. Rifan, salah satu anak buah Haji Heru, tak memungkiri masa lalunya sebagai preman. Namun ia mengaku sudah tobat setelah bekerja dengan Haji Heru.
"Siapa bilang kita bukan preman? Asalnya kita preman. Enggak dapat dipungkiri. Tapi sekarang alhamdulillah sudah tobat," kata salah satu anak buah Haji Heru, M. Rifan yang biasa dipanggil Meneer di kantornya yang berada di salah satu sudut Pasar Cideng, Kamis (17/6).
Sulaeman, rekan Meneer, juga tidak menampik bahwa Haji Heru berangkat dari jalanan. Saat itu, gesekan antar kelompok masih kerap terjadi. Mereka memperebutkan ruang yang menurut Leman 'tidak bertuan'.
"Ibaratnya kue ya. Namanya di lapangan tanah nggak bertuan kan. Siapa yang dia bisa jadikan itu menjadi kekuasaannya," ujar pria yang dipanggil Leman.
Setelah melewati masa-masa pertarungan di jalanan, Haji Heru juga menerapkan konsep investasi lingkungan. Menurut Leman, investasi lingkungan merupakan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar.
"Kalo Pak Haji Heru kan merekrut temen-temen deketnya yang tadinya di jalanan. Ditarik, dibina. Ya setiap orang kan pasti bisa berubah," ujar Leman.
Baca juga:Penangkapan Preman dan Ritual 'Siap Pak' |
Menurut Adrianus, tindakan menarik preman dari dunia kriminal dengan cara bergabung koperasi ataupun mendirikan perusahaan memang pantas dihargai. Hanya saja, yang tidak boleh adalah ketika lembaga semacam itu menjadi tameng untuk melakukan premanisme yang struktural dan terorganisir.
Salah satunya adalah ketika organisasi tersebut menjadi penyedia massa demo bayaran ataupun penagih hutang.
"Bersedia menjadi pendemo tergantung bayaran. Nah, begini-begini malah jadi kontra produktif," jelasnya.
Meskipun dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi itu tidak disebutkan bahwa mereka bisa melakukan demonstrasi sebagai massa bayaran, namun dalam beberapa kasus organisasi preman melakukan hal tersebut.
Hal ini, kata Adrianus, mengakibatkan upaya pengentasan mereka dari dunia preman tidak terjadi. Sebab, mereka mendapatkan kenikmatan baru.
"Kalau tadinya main sendiri-sendiri, sekarang main dengan baju organisasi, baju perusahaan, atau baju ormas malah semakin menakutkan kan?" ujarnya.
(wis/iam/asa)