Pohon-pohon besar berhasil diselamatkan sehingga tetap kokoh sebagai kanopi hutan. Adat mengatur mana wilayah terlarang atau lindung dan mana wilayah pemanfaatan. Di wilayah pemanfaatan warga bisa bercocok tanam. Mereka juga mengolah sawah secara organik.
Tanpa pupuk kimia, pestisida, bahkan tanpa irigasi. Berkahnya, di masa pandemi, pasokan pangan bagi penduduk desa relatif aman. Sawah mereka kerjakan dan dinikmati bersama.
Kayu manis juga menjadi komoditas warga. Pohon ini termasuk lestari. Tunas baru akan tumbuh tepat di badan pohon yang ditebang. Kulit kayu mereka jual, batang pohonnya mereka manfaatkan untuk pondok di ladang. Selain mengupas kulit kayu manis, kopi menjadi penopang ekonomi warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan zona lindung seluas lebih dari 2.500 hektare dan zona rehabilitas mencapai 1.100 hektare, kawasan ini mampu menyerap karbon 6.618 ton per tahun. Meski tak sebesar lima dusun di Kawasan lindung Bujang Raba, Warga desa ini mendapatkan dana imbal jasa karbon sebesar Rp150 juta per tahun.
Hasil sebesar itu, cukup memodali sejumlah usaha, salah satunya adalah kelompok usaha bersama perempuan desa. Mereka mengelola lahan, memanen, sampai mengolah biji kopi menjadi kopi siap seduh sebagai usaha kolektif.
"Dengan adanya dana karbon itu, kami dapat produksi kopi. Hasilnya ada peralatannya, rumahnya untuk produksi kopi, dan alhamdulillah hasil dari kopi ini kami bisa beli kebun sendiri," kata Susilawati, perempuan penggerak usaha bersama.
Lebih dari 230 warga desa mendapatkan manfaat kebaikan hutan secara adil. Hutan yang mereka jaga, juga memastikan hulu Sungai Batanghari mengalir sampai ke Sungai Mesai dan Batang Nilo. Ini yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat lain di kawasan hilir.