Feri Amsari menilai memunculkan PPHN dalam UUD 1945 bisa membuat MPR menjadi lembaga tertinggi negara lagi seperti masa Orde Baru. Nantinya, seluruh lembaga lain harus menjalankan program-programnya sesuai dengan PPHN.
"Jadi MPR bisa katakan lah menegur semua lembaga, 'Kenapa anda tidak menjalankan amanat PPHN di bagian ini, bagian itu?'. Konsekuensinya, mereka (MPR) akan kembali seperti dulu menjadi lembaga tertinggi," jelas dia.
Akademisi Unand ini juga menduga PPHN nantinya dapat menjadi dalil bagi MPR untuk menjadi mandataris konstitusi atau lebih jauh mengatasnamakan rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Efek jangka panjangnya, kata dia, bukan tak mungkin jika pemilihan presiden akan kembali menjadi wewenang dari MPR. Hal tersebut, menurutnya juga sering disiratkan oleh elite politik di Indonesia selama Jokowi menjabat Presiden.
"Ini kan ada indikasi-indikasi yang kemudian merangkaikan relasi antara kepentingan MPR dan elite politik saat ini," ujar dia.
Bahkan, bukan tak mungkin jika usulan masa jabatan presiden tiga periode dapat diselundupkan dalam sejumlah format-format pemilihan Presiden baru mendatang jika PPHN tersebut dilaksanakan.
Meskipun, katanya, ada kepentingan yang berbeda antara pengusung masa jabatan tiga periode dan yang sekadar mendorong GBHN/PPHN.
Feri menyebut amendemen itu digadang-gadang lantaran ada keresahan dari sejumlah figur politik, terutama yang memiliki elektabilitas rendah, terhadap konsep Pilpres langsung.
"Satu-satunya yang bisa diatur panggungnya untuk pemilihan Presiden adalah di MPR. Ada 711 anggota MPR yang siap menerima sesuatu untuk menentukan seseorang bisa jadi Presiden. Sangat mudah, dibandingkan dengan pemilihan langsung," cetus dia.
Hal tersebut berbeda dengan figur politik yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi seperti Jokowi.
"Itu sebabnya mereka ingin menggoyang dari titik paling awal, simpul awal, yaitu mengembalikan kekuasaan MPR. Salah satunya [lewat] PPHN," ungkap dia.
Berdasarkan pemberitaan, saat ini muncul sejumlah politikus yang mempromosikan diri secara berlebih melalui media luar ruangan meski dalam sejumlah survei memiliki tingkat keterpilihan yang rendah.
Arif pun menilai substansi amendemen UUD '45 yang berfokus pada penambahan wewenang MPR melalui PPHN tak lagi relevan.
Pasalnya, Indonesia tetap memiliki rencana pembangunan jangka panjang nasional (yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025) yang tetap mengikat Presiden. Selain itu, ada perangkat penyeimbang dan pengawas eksekutif lewat DPR.
Feri menimpali yang jadi masalah saat ini bukan lah ketiadaan panduan sejenis GBHN. Masalahnya, kata dia, adalah ketiadaan pengawasan dari DPR terhadap kepatuhan pemerintah dalam menjalankan panduan pembangunan jangka panjang maupun menengah.
"Saya tidak pernah mendengar DPR mempertanyakan soal apakah proyek-proyek pemerintah sesuai dengan RPJMN (raencana pembangunan jangka menengah nasional) atau tidak," ucapnya.
Lihat Juga : |