SUARA ARUS BAWAH

Amendemen UUD 1945, Warga Tolak Pilpres di MPR & Sindir Elite

CNN Indonesia
Sabtu, 04 Sep 2021 08:10 WIB
Salah satu sidang tahunan MPR. Isu amendemen UUD 1945 makin memanas usai Sidang Tahunan MPR 2021. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah warga menentang wacana amendemen UUD 1945 lantaran berpotensi menghilangkan hak pilihnya dan hanya untuk kepentingan elite. Sebagian lainnya menganggap perubahan konstitusi bisa menghemat biaya pemilihan umum.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo, dalam pidato sidang tahunan MPR 2021, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Agustus, mengatakan amandemen perlu dilakukan dan berfokus pada penambahan wewenang lembaganya untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Beberapa pendukung wacana ini mengklaim PPHN bisa menjadi pedoman pembangunan nasional tanpa terpengaruh perubahan pemerintah. Bamsoet sendiri berdalih PPHN berbeda dengan Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN) era Orde Baru.

Ivanka Rahma (20), mahasiswi UMN, menolak hak suaranya direbut MPR. (Foto: Arsip Pribadi)

Sementara itu, para akademisi dan pengamat menilai wacana amandemen ini merupakan kepentingan elite politik lama yang ingin kembali berkuasa dengan cara instan.

Yakni, dengan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi sehingga bisa memilih presiden. Alhasil, Pilpres langsung pun dihilangkan.

CNNIndonesia.com pun meminta pandangan beberapa warga umum terkait wacana amendemen tersebut.

Ivanka Rahma (20), mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara, menyatakan sistem demokrasi Indonesia saat ini mewajibkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan presiden.

Baginya, prinsip satu orang satu suara (one man one vote) ini bisa saja hilang dengan amendemen UUD 1945. Vanka pun berpendapat, apabila kondisi ini terus dipaksakan, akan ada lebih banyak masyarakat yang menolak.

"Saya kan masyarakat Indonesia dan WNI juga, suara saya harus turut andil dalam pemilihan presiden. Menurut saya, pemilihan presiden bukan sesuatu yang bisa diwakilkan meskipun sesama masyarakat ataupun petinggi sekalipun," ujar dia, Kamis (2/9).

Thalita Avivah Yuristiana (22) menyebut wacana MPR kembali jadi lembaga tertinggi tak sesuai dengan semangat reformasi. (Foto: Arsip Pribadi)

Lebih lanjut, Vanka pun mempertanyakan dalih kebutuhan PPHN sebagai pedoman pembangunan nasional.

Sepengetahuannya, Indonesia sudah mempunyai pedoman pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Senada, salah satu karyawan swasta di Karet, Jakarta Selatan, Thalita Avivah Yuristiana (22) alias Yuris, mengaku tak sepakat dengan rencana amendemen kelima UUD 1945 yang berupaya mengembalikan esensi GBHN dari masa Orba.

Menurut Yuris, konsep pembangunan ini akan membuat eksekutif bertanggung jawab terhadap MPR terkait pelaksanaan PPHN.

Hal ini menurutnya jelas membuat MPR kembali menjadi lembaga tertinggi dalam pemerintahan, yang menurutnya bertentangan dengan nilai demokrasi dan tujuan reformasi yang sudah susah-susah dicapai.

"Tidak setuju. Karena hal ini tentu bertentangan dengan tujuan reformasi. Terutama adanya indikasi penambahan jabatan presiden dan pemilihan presiden kembali oleh MPR," cetusnya.

Nihil Urgensi Amendemen


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :