Ma'ruf Bajammal pun menyebut proses hukum kasus narkotika selama ini berorientasi pada pidana penjara.
"Itu satu poin yang kemudian menggambarkan betapa buruknya kebijakan terkait dengan peradilan pidana terpadu kita dalam konteks tindak pidana narkotika itu, yang mana disinyalir bahwa banyaknya itu justru pengguna dan pecandu," tuturnya.
Padahal, kata Ma'ruf ada kebijakan rehabilitasi terhadap pengguna narkoba yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ia menilai kebijakan rehabilitasi di Indonesia ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja yang bisa dikatakan memiliki sebuah privilege.
Karenanya, menurut Ma'ruf persoalan over kapasitas lapas di Indonesia, tak cukup dengan sekedar menambah jumlah gedung semata.
"Tapi lebih kepada hal yang esensial bagaimana aparat penegak hukum ini satu perspektif terkait orientasi dalam penanganan suatu perkara," ucap Ma'ruf.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai narapidana pun memilik hak untuk mendapatkan ruang yang layak.
"Para tahanan dan terpidana kerap ditempatkan dalam penjara yang sesak dan mengancam hidup dan kesehatan mereka. Mereka juga manusia yang berhak atas kondisi penjara yang layak dan hak atas kesehatan," ungkap dia, dikutip dari Antara.
Lihat Juga : |
"Tempat penahanan harus menyediakan ruang, penerangan, udara, dan ventilasi yang memadai," tambah Usman.
Tak sekadar minta maaf, pemerintah pun diminta untuk menangani masalah kapasitas lapas tersebut dengan mengubah orientasi politik kebijakan dalam menangani kejahatan ringan, termasuk kasus narkoba.
Usman pun mendorong pembebasan pihak yang seharusnya tidak pernah ditahan, seperti tahanan hati nurani dan orang yang ditahan atas dasar pasal-pasal karet UU ITE.
"Penahanan dan pemenjaraan orang hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun, terlebih lagi dalam situasi di mana ada over kapasitas lapas yang membahayakan kesehatan, bahkan nyawa tahanan, terutama pada masa pandemi seperti saat ini," cetusnya.
![]() |
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina menyebut kelebihan kapasitas atau overcrowding disebabkan oleh sistem peradilan pidana yang sangat bergantung dengan penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama. Padahal, kata dia, banyak hukuman altenatif lain.
"Pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan oleh Jaksa dan Hakim dari pada bentuk pidana lain," kata dia.
Ia mencontohkannya dengan pengguna narkotika yang seharusnya tak dikenakan pidana penjara, namun rehabilitasi.
"Mayoritas penghuni Rutan dan Lapas berasal dari tindak pidana narkotika, dengan 28.241 WBP (warga binaan pemasyarakatan) total di seluruh Indonesia," ucap dia.
Selain itu, ungkapnya, polisi, jaksa, dan hakim terkesan tidak terlalu peduli dengan kondisi Lapas.
"Polisi, Jaksa, dan Hakim harus didorong untuk memiliki perhatian pada kondisi Lapas, bisa dimulai dengan mendorong penggunaan alternatif pemidanaan non pemenjaraan," jelas dia.
Dalam KUHP, sanksi pidana selain penjara di antaranya adalah denda, pidana mati, pencabutan hak tertentu seperti hak dipilih dalam pemilu. Sementara, dalam rancangan KUHP, draf terbaru menyertakan pidana alternatif lain seperti kerja sosial.
(dis/arh)