Bogor, CNN Indonesia --
Masalah sengketa lahan di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat terkuak setelah akademisi Rocky Gerung disomasi PT Sentul City Tbk untuk hengkang dan segera membongkar rumahnya.
Bukan hanya Rocky yang diminta minggat. Setidaknya ada enam warga tetangga Rocky di sana yang juga kena somasi pihak Sentul City.
Tak terima disomasi, enam orang itu menggugat balik Sentul City ke PN Jakarta Selatan. Mereka menggugat Kepala Departemen Hukum PT Sentul City Faisal Farhan sebagai Tergugat I dan PT Sentul City sebagai Tergugat II.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PT Sentul City Tbk diketahui tengah berencana memanfaatkan lahan yang terletak di Desa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor.
Langkah ini juga disebutkan sebagai program lanjutan yang sebelumnya telah terlaksana di beberapa desa seperti Desa Citaringgul dan Desa Babakan Madang. Guna mensukseskan rencana tersebut, kuasa hukum Sentul City Antoni mengatakan pihaknya saat ini tengah melakukan penataan dan penguasaan aset-aset yang diklaim telah diambil oleh spekulan.
"Dalam rencana memanfaatkan lahan, kami didukung penuh oleh warga desa setempat, sebagaimana sudah terbukti selama ini telah memajukan desa sekitar," jelasnya melalui keterangan tertulis pekan lalu.
Menurutnya, dalam proses tersebut ditemukan beberapa bangunan bangunan liar berupa vila-vila maupun rumah-rumah yang bukan didirikan oleh masyarakat asli Bojong Koneng. Antoni pun mengaku pihaknya telah melakukan sosialisasi hingga melayangkan somasi agar mereka dapat segera berbenah dan meninggalkan lahan yang diklaim milik kliennya itu.
"Kami minta mereka menjelaskan atas dasar alas hak apa menempati lahan lahan kami, [tapi] tidak juga direspons," klaimnya.
Antoni mengatakan kliennya memiliki hak sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang yaitu izin lokasi pengembangan dan sertifikat tanah sah serta masterplan tata ruang produktif berbasis komunitas, wajib mendapatkan perlindungan hukum atas upaya-upaya yang telah dilakukan pihaknya.
Namun, termasuk dalam keterangan tersebut, pihak Sentul City sampai saat ini masih belum merinci izin yang mereka dapatkan sejak kapan, juga soal tahun terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) sehingga warga diminta mengosongkan lahan diklaim miliknya.
Bojong Koneng adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor yang berada di kawasan perbukitan. Wilayah kecamatan yang berada di antara Kota Bogor dan Jakarta itu memiliki potensi daya tarik wisata alam itu sebagian menjadi bagian dari pengembangan bisnis properti PT Sentul City sejak dekade 1990an silam.
CNNIndonesia.com menyambangi Rocky Gerung di kediamannya pada Jumat (10/9). Namun, dia memilih enggan berbicara lebih banyak ihwal persoalan yang dihadapinya, dan meminta menghubungi kuasa hukumnya saja, Haris Azhar. Belakangan, Minggu (12/9), pengajar filsafat itu memilih berbicara panjang lebar soal persoalan yang dihadapinya via akun youtube pribadinya, Rocky Gerung Official.
Tak bertemu Rocky, pada akhir pekan lalu, CNNIndonesia.com pun berbincang-bincang dengan sejumlah warga hingga aparat desa di Bojong Koneng.
Salah satu warga Bojong Koneng, Ade, mengaku kerap gelisah sejak Juni lalu ketika PT Sentul City Tbk mengabarkan kepada warga desanya perihal klaim kepemilikan lahan di wilayah tersebut. Klaim kepemilikan yang dilakukan oleh Sentul City menurutnya berdasarkan keberadaan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dengan Nomor 2412 dan 2411.
"Jelas kaget pas dengar kabar itu. Soalnya selama ini enggak ada apa-apa, enggak ada kabar soal perpindahan lahan atau semacamnya juga," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/9).
Ade mengatakan keluarganya saat ini masih memegang surat pernyataan alih garapan lahan dari kakeknya yang pertama kali menginjakkan kaki di Kampung Gunung Batu RT 002 RW 011 pada dekade 1950-an silam.
"Sudah lama kami mah tinggal di sini. Saya lahir tahun 1981, jauh sebelum itu, kakek-nenek sama orang tua saya juga sudah menempati lahan ini dan bangun rumah di sini. Surat pernyataan alih garapannya juga masih ada," tuturnya.
Ade menjelaskan surat pernyataan alih garapan tersebut didapatkan penduduk setempat pada awal 1960-an dari negara, karena area itu sebelumnya adalah lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara.
"Dulu, di kawasan ini selain dijadikan area pemukiman, juga banyak yang dijadikan untuk areal pertanian, tapi sekarang jumlahnya mulai berkurang," tuturnya.
Ia menjelaskan, secarik kertas itulah yang kemudian selama ini menjadi dasar masyarakat setempat untuk menempati atau menggarap area lahan yang terletak di Bojong Koneng.
 Bojong Koneng adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor yang berada di kawasan perbukitan. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim) |
Dua Jenis Lahan
Ade menuturkan, meski berada dalam wilayah yang sama, secara umum area lahan di wilayah Bojong Koneng terbagi menjadi dua. Deretan lahan pada area rumahnya berada merupakan lahan eks HGU milik PTPN. Sementara area yang terletak di sebelah kiri jalan atau seberang rumahnya tergolong sebagai wilayah masyarakat adat.
Berbeda dengan lahan garapan, tanah masyarakat adat terdata dalam catatan buku desa baik persil maupun leter C tanah. Sehingga mereka relatif sudah mendapatkan sertifikat tanah untuk lahan yang ditinggali.
Oleh sebab itu, ia mengaku cemas apabila nantinya keluarga Ade juga akan mendapatkan somasi dari pihak Sentul City untuk segera angkat kaki dari kediamannya.
"Ya mau gimana, mereka punya sertifikat sedangkan saya cuma surat pernyataan. Kalaupun kami menolak dan ngalangin juga bisa apa," ucapnya getir.
Ia pun mengaku hanya bisa berharap perusahaan dapat memberikan biaya ganti rugi yang setimpal sesuai dengan nilai lahan dan rumah yang ia tempati sekarang.
"Sebenarnya sih ya kami berhadap jangan sampe kena gusur, tapi kalau seandainya lahan ini mau diambil sama perusahaan kami minta ganti rugi yang setimpal. Kalau cuma dihargai tanahnya saja terus kami tinggalnya gimana?" tanyanya retoris.
Ade mengatakan, mau tidak mau kini ia harus mulai menyiapkan diri. Di sisi lain, Ade juga merasa tidak sanggup apabila nantinya ia harus membayar tagihan tetap kepada pihak Sentul City melalui sejumlah skema perjanjian penempatan lahan. Mengatur ulang pengeluaran keluarganya guna menghadapi kemungkinan biaya tambahan untuk membayar sepetak lahan yang ditempatinya.
Suatu hal yang tak pernah terbayangkan selama empat puluh tahun dirinya tinggal di Bojong Koneng.
"Jelas keberatan dan enggak akan sanggup kalau skemanya sama. Lah kita aja buat makan sehari-hari udah susah ini ditambah lagi ada beban sewa," tegasnya.
Skema yang dimaksud Ade tersebut merupakan perjanjian penggunaan lahan yang saat ini sudah diterapkan Sentul City kepada seluruh restoran dan villa yang berada di atas lahan eks HGU PTPN.
Hilmi, pemilik kedai Kopi Koneng yang tak jauh dari rumah Ade merupakan salah satu pihak yang sudah menjalin skema perjanjian tersebut. Kedai kopi yang baru berdiri sejak April lalu ini diketahui sebagai salah satu pihak yang terkena somasi lantaran dinilai berdiri di atas lahan milik Sentul City.
Dituturkan Himi, ia mulai menjalin kerjasama dengan PT Sentul City pada Agustus kemarin. Dalam skema perjanjian penempatan lahan tersebut terdapat dua opsi yang ditawarkan, yakni sewa lahan atau bagi hasil.
"Mulai buka April kemarin, kemudian sempat dapat surat dan kami langsung urus. Karena saya sadar saya pendatang, dan PT Sentul City sebagai pemilik sah lahan ini. Syukurnya mereka juga terbuka bagi yang ingin mengikuti aturan," jelasnya terpisah.
Hilmi menjelaskan, pihak Sentul City hanya mensyaratkan agar peminjam lahan tidak mendirikan model bangunan permanen.
Halaman selanjutnya: Gugatan Rp1 Triliun Rocky Gerung
Ditemui CNNIndonesia.com, Jumat (10/9), Kepala Desa Bojong Koneng Rusdi Anwar menjelaskan bahwa memang banyak masyarakatnya yang menempati lahan eks HGU tersebut dan sudah berlangsung secara turun-temurun. Dasar penempatan lahan tersebut pun hanya mengacu kepada surat pernyataan alih garapan. Bukan kepemilikan sertifikat tanah ataupun Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
"Mereka memang sudah sejak turun-temurun tinggal di lahan itu, tapi enggak ada sertifikat karena itu lahan milik negara. Beda sama tanah masyarakat adat yang pencatatannya ada di leter C dan bisa diperjualbelikan," tuturnya.
Lebih lanjut, Rusdi kemudian mengatakan pemerintah desa saat ini tidak memiliki catatan lengkap ihwal kepemilikan lahan konflik antara Sentul City dan warga tersebut. Lantaran lahan yang ditempati adalah milik negara, kata dia, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki catatan lengkap.
Ia mengatakan, selama ini pihak Desa hanya bertugas untuk melakukan pencatatan perpindahan lahan garapan dari warga setempat kepada pendatang. Hanya saja ia mengatakan data tersebut perlu dicek kembali keabsahannya dikarenakan terjadi sebelum dirinya menjabat sebagai kepala desa.
Atas dasar itulah, Rusdi lantas meminta agar sengketa kepemilikan lahan antara Sentul City dengan warga, salah satunya Rocky Gerung, lebih baik diselesaikan di pengadilan.
"Diselesaikan saja di pengadilan dengan hukumnya yang jelas," katanya.
Senada, Staf Khusus sekaligus Juru Bicara Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Teuku Taufiqulhadi juga menyarankan agar kedua belah pihak yang berseru untuk dapat menyelesaikan sengketa di pengadilan.
"Kalau ada klaim tumpang tindih, ada perselisihan itu pengadilan, tapi kalau eksekusi, pengadilan juga," tuturnya.
Akan tetapi Teuku mengingatkan seluruh pihak terkait bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam aturan main soal kepemilikan tanah. Pertama, mengantongi bukti kepemilikan berupa surat atau sertifikat tanah.
Kedua, penguasaan secara fisik. Karenanya, Teuku pun mewanti-wanti pemilik sertifikat, dalam hal ini Sentul City. Pasalnya, menurut dia yang paling penting dari kedua aturan adalah penguasaan fisik.
"Yang paling penting penguasaan secara fisik. Tidak ada gunanya memiliki sertifikat jika tidak menguasai secara fisik. Jika bertahun-tahun tidak menguasai secara fisik dan justru dikuasai pihak lain, maka pemegang sertifikat harus hati-hati," jelasnya.
Mencoba moderat, mantan anggota DPR 2014-2019 itu memaparkan jika Sentul City mengklaim sebagai pemegang sertifikat hak guna bangunan (HGB), perusahaan harus meminta ke pengadilan untuk mengosongkan tanah sengketa.
Kemudian, Pengadilan yang akan mengeksekusi dan tidak bisa dilakukan secara sepihak dengan mengerahkan Satpol PP atau preman.
"Tidak boleh bertindak sepihak. Jika memang ia merasa sebagai pemegang hak karena ada HGB, misalnya, ia harus meminta pengadilan untuk mengosongkannya," ujarnya.
 Bojong Koneng adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor yang berada di kawasan perbukitan. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim) |
Adu Argumen Sentul City dan Rocky Gerung
Head of Corporate Communication Sentul City David Rizar Nugroho mengakui bahwasanya pihaknya telah melayangkan sejumlah somasi kepada 'masyarakat berdasi' yang dianggap telah menduduki lahan dengan SHGB milik Sentul City. Termasuk salah satunya kepada akademisi cum pengamat politik Rocky Gerung.
Ia menjelaskan, Sentul City pertama kali mengirim surat somasi kepada Rocky pada 28 Juli melalui surat bernomor 128/SC-LND/VII/2021. Tak kunjung mendapatkan respon, pihaknya kemudian kembali mengirim somasi kedua dan ketiga pada 6 dan 12 Agustus 2021.
Dalam tiga kali somasi itu, Sentul City meminta Rocky dan sejumlah warga di Bojong Koneng untuk mengosongkan rumah.
Rocku dan para tetangganya juga diminta merobohkan bangunan saat meninggalkan tempat itu dalam waktu 7x24 jam. Jika tidak, maka Sentul City akan meminta bantuan Satuan Polisi Pamong Praja merobohkan dan menertibkan bangunan di wilayah tersebut.
"Sentul City sedang mengembangkan lahan sesuai rencana pengembangan yang ada dalam master plan yang telah disahkan Pemkab Bogor," jelasnya.
Melalui kuasa hukumnya Haris Azhar, Rocky pun menyatakan menolak somasi yang dilayangkan Sentul City. Haris mengatakan, kliennya merupakan pemilik yang sah atas tanah dan rumah seluas 800 m2 yang terletak di Blok 026 Kampung Gunung Batu RT 02 RW 11 sejak 2009 lalu.
Ia menjelaskan, Rocky telah memperoleh tanah tersebut dari pemilik sebelumnya yakni H. Andi Junaedi yang telah menempati lahan tersebut sejak 1960. Proses perpindahan kepemilikan diklaim telah dilakukan secara patut dan sah menurut hukum sesuai dengan Surat Pernyataan Oper Alih Garapan.
Surat itu, kata Haris, dicatat desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor dengan nomor 592/VI/2009 tanggal 1 Juni 2009. Selain itu, kliennya juga memiliki Surat Keterangan lahan tidak bersengketa yang ditandatangani Kepala Desa Bojong Koneng.
Ia juga menyebut tidak ada pihak manapun yang mengklaim kepemilikan atas tanah itu sejak 1960. Atas dasar itulah Haris kemudian menegaskan kliennya sebagai penguasa sah tanah dan bangunan di lokasi itu.
"Baru pada tahun 2021 PT Sentul City Tbk mengklaim tanah tersebut adalah miliknya sesuai SHGB Nomor 2411 dan 2412 dan memberikan teguran kepada klien kami serta warga lainnya yang merupakan pemilik dan/atau penggarap yang patut dan sah," ucap Haris.
Lebih jauh, Haris menduga proses penerbitan SHGB yang diklaim oleh Sentul City juga sarat masalah. Sebab, ia mengatakan dalam hukum tanah ada syarat utama untuk mengajukan kepemilikan lahan, yaitu menguasai fisik.
"Demi menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas tanah dan bangunan milik klien kami, kami mohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk dapat menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan terhadap dugaan tindakan penyerobotan tanah yang diduga dilakukan oleh PT Sentul City, Tbk," ujarnya.
Rocky Gugat Sentul Rp1 untuk Materil, Rp1 Triliun untuk Memori
Teranyar, Rocky dikabarkan berniat berniat menggugat balik pihak Sentul City senilai Rp1 triliun. Gugatan itu merupakan balasan dari Rocky usai Sentul City menyuruhnya mengosongkan dan membongkar rumah sendiri.
Ia enggan menuruti somasi Sentul City untuk meninggalkan rumahnya sendiri. Lantaran menurutnya, ia telah membeli tanah dan bangunan di lokasi itu secara sah dan dicatat lembaga negara.
Rocky menuding balik Sentul City menyerobot lahan miliknya. Dia beralasan telah merogoh kocek sendiri untuk membangun rumah tersebut sejak 12 tahun lalu.
"Dia menuduh saya menyerobot tanahnya. Padahal, pagarnya saya yang bikin," jelasnya dalam video di kanal Youtube Rocky Gerung Official, Jumat (9/9).
"Kalau saya gugat balik, mungkin saya gugat Rp1.000.000.000.001. Saya somasi balik dia. Rp1 harga materiilnya, Rp1 triliun harga imateriilnya karena di situ ada banyak memori, banyak percakapan intelektual, kenangan," imbuhnya.
Halaman selanjutnya, mandat UU Pokok Agraria pada penguasaan tanah negara...
Menanggapi sengketa lahan yang terjadi, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai seharusnya Kementerian ATR/BPN perlu segera membuka informasi dan sejarah penerbitan SHGB yang telah memicu persoalan tersebut.
Senada pernyataan Kepala Desa Bojong Koneng, Dewi mengatakan semua penerbitan, penghapusan, perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah pasti tercatat di Kementerian ATR/BPN. Sehingga dengan informasi tersebut publik dapat mengetahui bagaimana sejarah kepemilikan SHGB oleh Sentul City.
"Kapan terjadi penerbitan atau peralihan hak menjadi HGB, dengan proses semacam apa. Ini penting dibuka sehingga benang kusut agraria ini dapat mulai diurai," tuturnya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (12/9).
Merujuk kepada Undang-undang Pokok Agraria 1960 dan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997 dijelaskan bahwa penerbitan SHGB hanya dapat terjadi pada tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik.
Kendati demikian, Dewi menegaskan dalam penerbitannya Kementerian ATR/BPN haruslah mengedepankan prinsip penguasaan fisik. Artinya segala hak pengelolaan tanah baik itu HGB/HGU tidak dapat serta merta terbit jika di lapangan secara de facto telah diduduki masyarakat selama bertahun-tahun.
"Dalam konteks politik hukum agraria, menjadi berbahaya jika para pihak terkait hanya mengedepankan hukum positif semata. Karenanya, perlu dibuka untuk memastikan bahwa tidak ada prosedural penerbitan hak yang menyalahi proses dan sejarah penguasaan tanah tersebut sejak 1960-an," jelasnya.
Di luar itu, perusahaan pun dapat dikenakan sanksi penghapusan hak apabila telah mengantongi izin HGB tetapi tidak memanfaatkannya sesuai ketentuan yang berlaku. Sebab, telah membuat lahan sia-sia karena tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Dewi mengingatkan, sesuai dengan mandat UU Pokok Agraria, maka warga yang telah menempati, memproduktifkan lahan, serta menjaga kesuburannya selama puluhan tahun ialah yang paling berhak atas tanah tersebut.
"Ingatlah prinsip UU PA 1960, tanah tidak boleh ditelantarkan. Artinya HGB terhapus dengan sendirinya karena pemilik hak telah menelantarkannya," tegasnya.
Oleh karena itu, ia mendesak lagi agar BPN dapat semakin berhati-hati dalam menerbitkan dan memperpanjang status lahan HGB/HGU. Pasalnya, bukan hanya risiko yang bisa terjadi di Bojong Koneng, sejatinya persoalan sengketa lahan itu justru berdampak pada penyingkiran masyarakat yang telah tinggal dan menetap selama puluhan tahun.
Dewi pun mendesak agar dari sisi keterbukaan informasi, BPN harus secara proaktif membuka data HGU/HGB pada lahan-lahan yang bermasalah atau menimbulkan konflik agraria.
"Problem mendasarnya adalah soal cara-cara BPN menerbitkan HGB/HGU yang statusnya tidak clean dan clear. Ini persoalan lama yang menyangkut nasib banyak warga," ujarnya.
Tak hanya itu, dirinya juga mendorong agar pemerintah dapat lebih serius menyelesaikan persoalan reforma agraria yang ada di Indonesia. Menurut Dewi, saat ini realisasi reforma agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 masih sangat lambat dan jauh dari target 9 juta hektare lahan.
"Presiden tidak bisa lagi menghindar untuk menuntaskan konflik agraria di desa yang tanah garapannya masih berada dalam klaim HGU/HGB. Agar tanah-tanah garapan masyarakat dapat segera diakui hak-haknya," katanya.
[Gambas:Photo CNN]