KPA Sebut Puncak Ketimpangan, 68% Tanah Dikuasai 1% Korporasi
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat penguasaan lahan saat ini semakin timpang, terutama terkait kekuatan modal dari korporasi besar.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan saat ini Indeks Ketimpangan Penguasaan Lahan berada di posisi terburuk sejak Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 disahkan.
"Indeks ketimpangan penguasaan tanah sudah mencapai puncak ketimpangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kita," jelasnya dalam diskusi virtual, Senin (13/9).
Berdasarkan data terbaru KPA, 68 persen tanah yang di seluruh daratan di Indonesia saat ini telah dikuasai oleh satu persen kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar.
"Sisanya barulah diperebutkan oleh 99 persen masyarakat yang tersisa," kata Dewi.
Dewi mengatakan ketimpangan struktur dan penguasaan lahan yang masih terus terjadi ini tidak hanya berada di Pulau Jawa saja. Pelbagai wilayah di luar Pulau Jawa pun menurutnya sudah mulai didapati ketimpangan penguasaan lahan.
Kondisi ini menurutnya diperparah oleh kegiatan ekspansi-ekspansi bisnis ataupun pembangunan skala besar.Mulai sektor perkebunan sawit, hutan tanaman industri, pertambangan, hingga pembangunan infrastruktur.
Hal tersebut menurutnya kontras dengan proses redistribusi tanah kepada warga yang diharapkan dapat meminimalisir jarak ketimpangan tersebut melalui agenda reforma agraria.
"Sehingga tidak heran kalau ada lebih dari kurang lebih 16 juta rumah tangga petani yang hanya menguasai tanah kecil-kecil di bawah 0,5 hektar," tegasnya.
Persentase kenaikan jumlah petani yang tak sebanding dengan pertambahan areal pertanian tersebut akhirnya berdampak kepada peningkatan angka pengangguran di desa.
Lebih jauh, hal ini juga diklaim kian memperparah jurang ketimpangan yang ada lantaran para petani kemudian beralih profesi menjadi buruh dengan upah murah.
Menurut Dewi, ketimpangan penguasaan tanah ini juga berpotensi semakin meningkat pada tahun yang akan datang. Mengingat UU Cipta Kerja yang telah disahkan semakin memudahkan perampasan lahan milik rakyat untuk diberikan kepada pengusaha dengan dalih investasi.
"Sekarang ini kita sebenarnya sedang meneruskan kembali warisan kolonial. Terjadinya ketimpangan dan pencabutan hak-hak masyarakat atas tanah yang semakin bertambah yang tiada lain kita sering disebut sebagai kapitalisme agraria," pungkasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) Dewi Kartika menyebut konflik lahan hingga intimidasi terhadap petani masih banyak terjadi meski pada masa pandemi Covid-19.
KNPA mencatat Ada 35 konflik agraria selama pandemi dan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Konflik itu memakan korban tewas di pihak petani.
"Ada 35 letusan konflik agraria selama pandemi berlangsung. Diiringi 39 kasus kriminalisasi dan intimidasi, serta 2 petani tewas di wilayah konflik agraria karena mempertahankan wilayah hidupnya," kata Dewi, Kamis (24/9).
Dia bilang pandemi dan PSBB tak menghentikan perampasan lahan oleh perusahaan terhadap warga. Sebaliknya, perusahaan bersama aparat keamanan negara malah semakin giat melakukan perampasan lahan.