Andi mengaku, selain kecintaannya pada para penyandang disabilitas, faktor lain yang memicu lahirnya Kedaibilitas adalah kebijakan pemerintah yang masih diskriminatif terhadap kelompok disabilitas intelektual. Menurut dia, pemerintah belum bisa menjamin akses pekerjaan bagi para penyandang disabilitas.
Selama ini, disabilitas intelektual menjadi kelompok yang paling sulit diterima bekerja di instansi pemerintah maupun sektor formal. Berbeda dengan jenis disabilitas fisik atau lainnya. Untuk itu, tak ada pilihan lain bagi mereka selain membangun usaha sendiri.
"Coba lihat selama ini disabilitas diterima kerja itu kebanyakan adalah disabilitas fisik, tunadaksa, tapi anak-anak disabilitas intelektual dan mental ini enggak bisa diterima," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andi mengatakan, hal itu dibuktikan dari pengalamannya sendiri, ketika mendampingi sejumlah anak didiknya saat berusaha mendapatkan pekerjaan. Saat itu, sejumlah anak didiknya yang merupakan penyandang disabilitas intelektual sempat mendapatkan kesempatan magang di sebuah kantor pemerintahan.
Proses itu berjalan selama tiga bulan. Namun setelah tiga bulan, bukannya diterima kerja di kantor pemerintahan tersebut, para penyandang disabilitas intelektual yang didampingi Andi malah diberhentikan.
"Setelah tiga bulan, anak-anak ini ditolak, 'Ini tidak bisa, Pak, karena kondisinya', saya sempat bentrok itu," ujarnya mengenang.
![]() |
Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah belum bisa menjamin hak para penyandang disabilitas meski sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pemerintah, kata Andi, juga tak bisa memberikan kesempatan kerja bagi setiap warga negaranya, seperti pada Pasal 5, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Padahal sudah tertulis dalam UU bahwa semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja, tanpa diskriminasi."
Berdasarkan data berjalan Sistem Informasi Management Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, pada 2021 terdapat 22.342 jiwa penyandang disabilitas di Jatim. Jumlah itu merupakan 10,54 persen dari total keseluruhan jumlah disabilitas yang ada di Indonesia.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Jawa Timur M. Alwi mengatakan, pihaknya telah menyelenggarakan pelatihan kerja bagi para penyandang disabilitas melalui sejumlah UPT yang tersebar di berbagai daerah di Jatim. Mereka yang dilatih, adalah para penyandang disabilitas yang masih berusia produktif.
"Kami latih mereka, ada UPT yang memberikan pelatihan, diharapkan mereka bisa mandiri," kata Alwi.
Para disabilitas ini, kata Alwi, dibekali keterampilan untuk memproduksi kerajinan, seperti pot, batik, menjahit. Ada pula yang dilatih kemampuan servis motor, handphone, elektronik hingga memijat. Pelatihan itu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing jenis disabilitas. "Pot, kerajinan, itu hasil anak-anak disabilitas. Batik, dan kalau yang tuna netra itu pijat," ucapnya.
Melalui UPT itu, Dinsos Jatim tiap tahunnya meluluskan 40-an penyandang disabilitas yang telah dinyatakan tuntas mengikuti pelatihan keterampilan. Mereka lalu dibekali peralatan penunjang usaha. Seperti mesin jahit, alat servis ponsel, servis elektronik, alat perlengkapan bengkel, hingga alat usaha kelontong.
"Kami kemarin [tahun 2020] melepas sekitar 40 orang anak didik. Kami kasih peralatan sesuai dengan bidang yang ditekuni, kami kasih mesin jahit, alat servis, alat pijat," ujarnya menjelaskan.
Namun, bantuan itu, kata Alwi, hanya sebatas pelatihan dan peralatan usaha semata. Sebab pemerintah melalui Dinsos Jatim, tak menganggarkan bantuan modal tunai bagi mereka. "Bantuan modalnya dalam bentuk skill dan peralatan," ujar Alwi.
Kebanyakan dari mereka yang mendapatkan bantuan itu adalah penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik seperti tuna netra, rungu dan wicara. Bantuan itu, sayangnya tak menyentuh mereka yang merupakan disabilitas intelektual dan mental.
Alwi mengakui, penanganan disabilitas intelektual jauh lebih sulit dibanding pendampingan terhadap kelompok jenis disabilitas lain. Ia bahkan menyebut, mereka hampir tak bisa tertangani.
"Disabilitas intelektual ini lebih tinggi lagi [kesulitannya]. Hampir enggak bisa diapa-apakan," katanya.