Peneliti dari Pusat Studi Politik (Puskapol) LP2SP FISIP Universitas Indonesia Hurriyah, dalam penelitiannya bertajuk 'The Myth of Civil Society's Democratic Role: Volunteerism and Indonesian Democracy', menunjukkan bahwa dukungan relawan Jokowi di pemilu memang tak gratis.
Salah satu penyebab fenomena ini, kata dia, adalah karena beberapa kelompok relawan diciptakan hanya untuk mendukung kampanye Jokowi, menggalang massa, dan membantunya memenangkan pemilu, bukan murni berbasis agenda reformasi.
Meskipun memang, ia mengakui pada awalnya kelompok relawan ini memberi harapan soal pemberian peran baru bagi masyarakat sipil dalam politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, Hurriyah menyebut sistem politik saat ini tak memberi peluang bagi mereka untuk berkembang pasca-pemilu dan menentang oligarki lebih jauh.
"Relawan sangat penting sebagai juru kampanye dan sebagai pengganti fungsi partai politik, tetapi tidak relevan setelah pemilihan," ucapnya.
Setelah pemilu, sebagian besar kelompok ini, kecuali PROJO dan Pospera, berubah menjadi organisasi massa "pencari karier" dan "oportunis".
"Setelah pemilu, para relawan yang diduga demokratis ternyata tidak mewujudkan harapan menjadi juara demokrasi, dan sebaliknya, menjadi 'bajingan' yang menunjukkan perilaku politik oportunistik. Pada akhirnya, sifat sukarelawan yang kompleks menghambat kapasitas mereka untuk memajukan agenda demokrasi di bawah pemerintahan Jokowi," urai dia.
Menurutnya, penunjukan anggota relawan sebagai komisaris, misalnya, telah mengakibatkan skeptisisme dan prasangka mengenai motif sebenarnya di balik pembentukan kelompok relawan dan alasan dukungan mereka terhadap Jokowi.
Lihat Juga :![]() Wawancara Khusus Diaz Hendropriyono: Saya Mewarisi Semua Musuh dan Teman Ayah |
Selain itu, kata dia, posisi relawan di dalam pemerintahan ini pada akhirnya akan menghambat peran mereka sebagai masyarakat sipil yang mandiri.
"Masih terlalu dini untuk mengaitkan perwujudan masyarakat madani yang progresif sejalan dengan fungsi pembangunan demokrasi menuju sifat kerelawanan," urai Hurriyah.
Permasalahan lainnya, lanjut Adi, pada periode kedua ini, Jokowi tidak hanya menerapkan politik balas budi kepada relawan, melainkan juga politik akomodasi kepada lawan politik.
Misalnya, pemberian posisi Menteri Pertahanan kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, lawan politik Jokowi di Pilpres 2019.
![]() |
Menurut Adi, penarikan oposisi ke dalam lingkup kekuasaan Jokowi berbahaya bagi demokrasi. Dengan begitu, kelompok-kelompok kritis di parlemen bisa dijinakkan sedemikian rupa.
"Kelompok Parlemen dirangkul semua, itu kan mematikan kelompok-kelompok oposisi yang hanya menyisakan PKS dan Demokrat. Mereka jumlahnya cuman 18% kok. Karena politik check and balance kita bukan based on quality, tapi based on quantity. Bukan kualitas lagi yang bicara, tapi kan ini soal jumlah siapa yang paling kuat menyokong kekuatan politik," jelasnya.
"Makanya kemudian ketika ada UU Omnibus Law, Revisi UU KPK, sekuat apapun protes dari rakyat, dan kebetulan sama dengan suara PKS dan Demokrat itu gak ada gunanya. Karena kekuatan politik parlemen dikendalikan oleh pro pemerintah. Emang ini timpang secara demokrasi," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir meminta masyarakat tidak berprasangka buruk terkait penempatan sejumlah pihak di posisi komisaris dan direksi.
"Sekarang komisaris yang sudah masuk mau dibilang sesuai dengan probase profesional, atau ada pesanan-pesanan tidak apa-apa, kita enggak usah prejudice," ujarnya, Rabu (11/8).
Selain itu, katanya, penentuan direksi dan komisaris sudah sesuai juga dengan porsi yang berlaku, yaitu 30 persen perwakilan masyarakat, 30 persen dari pemerintah, dan 30 persen profesional.
Dia mengklaim bahwa BUMN telah membangun sistem training atau sekolah untuk komisaris yang dikelola oleh komisaris BUMN. Jikapun saat menjabat tidak sesuai dengan Key Performance Indicators (KPI), ia tak segan mencopot mereka. "Jadi jangan prasangka buruk dulu," ujar Erick.
(yla/arh)