ANALISIS

Keppres HAM Berat Non-Yudisial: Jalan Pintas, Bernuansa Politis

CNN Indonesia
Sabtu, 20 Agu 2022 14:42 WIB
Pakar hukum menganggap Keppres yang diterbitkan Presiden Jokowi jadi daya tawar politik pada Prabowo Subianto yang berpotensi jadi presiden berikutnya.
Presiden Jokowi menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil ihwal peneribitan Keppres penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (Biro Setpres/Muchlis)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah aktivis menilai pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu lewat Keppres menyimpang dari ketentuan UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Langkah itu juga dinilai melanggengkan impunitas hingga sarat nuansa politis.

Presiden Jokowi sebelumnya mengaku telah meneken kepres soal pembentukan tim tersebut. Selain itu, Jokowi juga menyatakan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) dalam proses pembahasan.

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pembentukan tim penyelesaian non-yudisial dilakukan lantaran ada problem teknis yuridis. Kejagung, kata dia, selalu meminta Komnas HAM untuk memperbaiki berkas, sementara Komnas HAM, selalu merasa sudah cukup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Padahal Kejagung itu kalah kalau tidak diperbaiki seperti yang sudah-sudah, 34 orang bebas (Kasus Timor Timur). Oleh sebab itu, sudah lah yang itu, biar bolak-balik Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan DPR sampai menemukan formasi, kita buka jalur non-yudisial ini sebagai pengganti UU KKR," kata Mahfud.

"Kalau KKR nunggu Undang-undang lagi, enggak jadi jadi," imbuhnya.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan tidak dikenal istilah non-yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM di regulasi utama soal penanganan pelanggaran HAM berat, yakni UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

"Kita punya UU 39 tahun 1999, lalu kita punya UU 26 tahun 2000, itu tidak mengenal istilah itu. Jadi secara konstitusional dan secara UU itu sudah melanggar," kata Julius saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/8).

Ia mengatakan secara teori, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu masuk dalam satu konteks, yakni keadilan transisional dengan empat aspek yang tidak bisa dipisahkan, sehingga harus paralel dan simultan.

Empat aspek itu yakni pengungkapan kebenaran, koreksi institusional, proses peradilan, dan reparasi korban.

"Setelah empat terpenuhi, di ujungnya adalah rekonsiliasi. Nah teori ini tidak terpenuhi dalam Keppres non-yudisial. Tidak ada pengungkapan kebenaran, tidak ada reformasi institusional, tidak ada ajudikasi, tidak ada reparasi korban, tapi dia bilang penyelesaian. Bagaimana bisa selesai tanpa start?"cetus Julius.

Alih-alih berniat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebagai tanggung jawab negara, Julius berpendapat keppres itu sarat nuansa politis. Ia menduga keppres itu akan dijadikan Jokowi sebagai daya tawar politik kepada penerus selanjutnya.

Saat ini, kata dia, salah satu kandidat terkuat penerus Jokowi adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Prabowo diduga terlibat dalam penghilangan paksa aktifis pro demokrasi saat menjabat Danjen Kopassus.

"Dia ingin menutupi masa lalu yang kemudian ini menjadi bargaining politik," kata Julius.

Impunitas hingga Jalan Pintas

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER