Jelang lengser pada 16 Oktober 2022, Anies tak cuma mengubah nama sejumlah jalan di Jakarta. Saat resmi membuka kembali kawasan wisata Kota Tua pada 10 September, Anies ingin Kota Tua kembali dikenal sebagai Batavia.
Anies beralasan hal itu sengaja dilakukan agar kawasan Kota Tua dapat kembali diingat sebagai Batavia seperti di masa lalu. Meski begitu Anies mengklaim Kota Tua saat ini tengah dirancang ulang menjadi kawasan wisata masa depan.
"Namanya Batavia mencerminkan masa lalu, tapi konsepnya mencerminkan kota modern masa depan. Itu yang sedang dibangun di tempat ini," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan utak-atik nama ala Anies ini sarat kontroversi. Sejarawan JJ Rizal mengatakan bahwa perubahan nama 22 jalan itu seharusnya tak bisa sembarangan.
Ia menduga Anies dan jajaran Pemprov DKI tak mengikuti aturan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Rizal menjelaskan bahwa sebuah tempat atau lokasi juga harus memiliki nilai dan makna sejarah yang ada di tempat tersebut.
"Itu nilai sejarah dan budaya yang penting tentang identitas sebuah ruang, tempat, atau kota, karena itu mengubah nama harus dipertimbangkan," jelas Rizal.
Rizal lantas mencontohkan perubahan nama Warung Buncit menjadi Tutty Alawiyah di Jakarta Selatan. Menurut Rizal nama Warung Buncit punya nilai historis dan keberagaman di Jakarta.
Ia menceritakan Jalan Warung Buncit mulanya diambil dari nama seorang tokoh Tionghoa yang pernah tinggal di kawasan tersebut bernama Tan Boen Tjit.
![]() |
Rizal mengisahkan bahwa semasa hidupnya, Tan Boen Tjit merupakan pemilik toko kelontong yang baik hati terhadap warga pribumi Jakarta. Akibat kebaikannya itu, warga asli Betawi lantas mengabadikannya sebagai nama jalan.
"Itu kan sangat penting bagi kita yang saat ini sedang krisis toleransi, krisis keberagaman gitu kan. Kalau ganti Tutty Alawiyah, kita kehilangan artefak yang sangat penting dalam bentuk nama tempat, nama jalan," ujar dia.
Rizal juga mengkritik perubahan nama Jalan Bambu Apus di Jakarta Timur menjadi Jalan Mpok Nori. Padahal, menurut Rizal nama Jalan Bambu Apus itu merupakan penanda bahwa di Jakarta sebelumnya memiliki pelbagai keanekaragaman jenis bambu, salah satunya Bambu Apus.
"Kalau bambunya udah hilang, masa nama jalan dan tempatnya juga dihilangin?" ungkapnya.