Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Polri berupaya lepas tanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang menewaskan lebih dari 130 orang.
Menurut Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar, kesan lepas tanggung jawab itu tampak dari pernyataan Polri yang menyebut korban meninggal di Kanjuruhan bukan akibat gas air mata.
"Narasi yang diusung Polri belakangan adalah upaya untuk menghindari pertanggungjawaban. Mulai dari menyiarkan soal kerusuhan, gas air mata sesuai SOP, dan narasi lain termasuk mengatakan gas air mata tidak mengakibatkan kematian," kata Rivanlee dalam keterangan tertulis, Selasa (11/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rivanlee pernyataan tersebut justru menunjukkan bahwa ada hal yang ditutup-tutupi oleh kepolisian. Rivan berkata tragedi Kanjuruhan tidak akan terjadi tanpa adanya gas air mata yang ditembakkan oleh polisi di dalam stadion.
Gas air mata itu menyebabkan penonton berlarian panik menuju pintu keluar. Mereka sesak napas, terinjak-injak, hingga meninggal dunia.
"Sebetulnya gas air mata sebagai penyebab kepanikan yang akhirnya menimbulkan suporter berdesakan keluar tribun. Dan akhirnya banyak jatuh korban karena kehabisan nafas saat berhimpitan menuju pintu keluar," jelas dia.
Rivanlee berpendapat sebetulnya pernyataan Polri yang menyebut tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata sangat mudah untuk dibantah.
Ia mengatakan situasi ramai dan berdesakan di dalam stadion sudah sering terjadi. Namun, mengapa di Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 malam itu sampai menimbulkan korban jiwa.
"Gampang saja. Apa yang membuat orang berdesakan-asfiksi-kekurangan oksigen di stadion yang biasa diisi oleh sekian ribu orang di hari biasa?" ujar Rivanlee.
"Ramai dan berdesakan di stadion tidak kemarin saja, tetapi sudah sering. Namun, tragedi kemarin justru menunjukkan ada penyebab lain yang mengakibatkan hal luar biasa pada kondisi yang biasa terjadi," imbuhnya.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober malam usai laga Arema FC dengan Persebaya. Mulanya, suporter Arema tampak turun ke area lapangan untuk mencari pemain dan ofisial.
Hal itu direspons polisi dengan menembakkan gas air mata ke lapangan dan tribun stadion. Akibatnya, penonton berlarian karena panik.
Mereka berlarian ke pintu keluar dalam kondisi sesak napas dan terinjak-injak hingga ada yang meninggal dunia. Sampai saat ini tercatat ada 132 orang tewas, dua di antaranya merupakan personel polisi.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan berdasarkan pernyataan para ahli, tidak satu pun korban meninggal dunia ataupun luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan disebabkan gas air mata.
Dedi mengungkapkan, berdasarkan pendalaman para ahli, para korban tewas dalam insiden Kanjuruhan akibat kekurangan oksigen. Para korban kekurangan oksigen karena berdesakan di pintu keluar stadion.
"Tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata," kata Dedi di Mabes Polri, Senin (10/10).
Ia menyesalkan delapan pintu darurat stadion Kanjuruhan tak berfungsi maksimal saat kekacauan terjadi. Padahal, menurut dia, korban tewas bisa diminimalisir jika pintu-pintu tersebut berfungsi.
"Dari delapan pintu emergency, seharusnya bisa difungsi kan. Kalau itu bisa difungsikan maka jatuhnya korban bisa diminimalisir," tuturnya.
(yla/tsa)