Kisah dari Kampung Bambu, Warga Gusuran yang Kembali Digusur untuk JIS

CNN Indonesia
Jumat, 14 Okt 2022 08:51 WIB
Warga Kampung Bambu yang rumahnya terpaksa digusur karena pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) ingin kompensasi yang adil.
Suasana Kampung Bambu yang terpaksa digusur karena pembagunan JIS. (CNN Indonesia/ Syakirun Niam)
Jakarta, CNN Indonesia --

Nanang (59) tampak lesu memandangi puing-puing bangunan semi permanen atau bedeng yang berceceran tepat di samping rumahnya. Daerah tempat ia tinggal kini disulap menjadi area Jakarta International Stadium (JIS). Dulu ramai, namun kini terlihat sepi dan justru kerap disambangi petugas.

Binar mata Nanang berkobar ketika melihat petugas lalu lalang di lokasi yang tepat bersebelahan dengan rel kereta api itu. Kerutan masam nampak jelas terlukis di wajah pria berusia lebih dari setengah abad tersebut.

"Saya ini bongkaran Mangga Dua. Dulu kan (disana) kuburan," kata Nanang kepada CNNIndonesia.com di lokasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di sini saya tinggal 15 tahun," tambahnya lagi.

Nanang merupakan salah satu warga yang memilih bertahan di Kampung Bambu, Kelurahan Paponggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, usai pada Selasa (11/10) kampung itu digusur PT KAI dan Pemerintah Kota Jakarta Utara.

Ia adalah warga yang mulanya menolak penggusuran dan kompensasi, namun berujung menyetujui tapi tak sampai hati merubuhkan rumahnya. Saat ini, ia hanya tinggal menunggu waktu sampai rumah kecilnya itu ditertibkan seperti yang lain.

Nanang mengenang kehidupan warga di lokasi huniannya itu dahulu tenang tanpa ada masalah. Ia yang sudah tinggal 15 tahun di Kampung Bambu bisa memastikan bahwa warga tentram, meski harus hidup berdampingan dengan rel kereta api.

Namun, ketenangan itu terusik saat ia dan tetangganya menerima undangan dari pemerintah. Kala itu, sekitar Maret 2022, ia dan warga Kampung Bambu diundang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (PUPR) untuk sosialisasi pembangunan jalan tol.

"Kalau enggak salah tanggal 21 bulan tiga, di Hotel Mercure Ancol Jakarta Utara. Semua warga dari Tanjung Priok datang sampai Pademangan, tiga kelurahan mana itu kumpul di sana. Sosialisasi bahwa ada pembangunan jalan Tol Priok sampai Pluit," ucap dia.

Nanang menyebut dari sosialisasi itu dia mengetahui bahwa lokasi rumahnya bakal terdampak dari rencana pembangunan tol yang membentang dari Tanjung Priok hingga Pluit tersebut.

Sebagai orang yang pernah mengalami gusuran karena tinggal di lahan yang bukan miliknya, ia sadar bahwa dalam waktu dekat dirinya harus angkat kaki dari rumahnya sendiri.

"Saya akui saya menempati wilayah ini memang tanah tersebut punya PJKA (PT KAI). Memang saya tahu UU PJKA tapi dari sosialisasi menteri PUPR akan diberi kebijakan dari menteri PUPR bukan ganti rugi tapi ganti untung," kata dia.

Ganti untung itu, menurutnya, semacam diberikan kontrakan atau hunian baru yang layak. Persoalan ganti untung itu pun disampaikan langsung oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.

Akan tetapi, belum ada kelanjutan apapun usai pemerintah mengiming-imingi hal tersebut. Sekitar 250 hari kemudian, kata dia, barulah pemerintah, tepatnya Kelurahan Papanggo, kembali mengundang warga untuk sosialisasi.

Ia dan para warga didesak menandatangani surat persetujuan penggusuran berikut kompensasinya. Tak ada waktu yang diberikan bagi warga untuk bernegosiasi.

"Warga sudah kumpul semua (tapi) bukan sosialisasi. Ternyata sesudah ada yang memberi pengarahan gini-gini, langsung (disampaikan) 'Ibu-ibu, bapak-bapak, tanda tangan'. Tanda tangan pun langsung setuju atau tidak," tutur Nanang.

Pria yang juga Ketua Pemukiman Kampung Bambu itu mengaku marah saat menghadapi situasi tersebut. Pasalnya, warga juga tak diberitahu berapa nominal kompensasi yang bakal diterima. Warga baru diberitahu jumlah ganti rugi ketika menyetujui penggusuran tersebut.

"Giliran udah tanda tangan setuju, dibuka, (kompensasi) cuman Rp1,2 juta, ada yang Rp900 ribu," beber dia.

Senada, warga bertahan lainnya, Puji, juga turut merasakan hal yang sama. Puji yang telah tinggal sejak 2008 itu tak ingin merelakan rumahnya demi kompensasi yang tak seberapa.

Hal itu lantaran Puji adalah orang yang juga pernah terkena gusur namun tak sepeser pun mendapat ganti rugi dari pemerintah.

"Kami korban Taman BMW (Bersih Manusiawi Wibawa). Makanya saya terdampak di sini, tahun 2008 sampai sekarang. Gusuran paling besar. Kami seperak pun tidak dapat," ujar Puji.

Oleh sebab itu, Puji memilih memperjuangkan haknya sebagai warga Jakarta Utara. Ia ingin setidaknya diberikan nominal ganti rugi yang layak dan juga transparan.

Ingin Kompensasi Setara Warga Kampung Bayam

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER