Majelis hakim PN Jakarta Selatan mendalami perbedaan hasil autopsi Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J kepada saksi ahli forensik dan medikolegal yang dihadirkan pada sidang lanjutan kasus pembunuhan Yosua, Senin (19/12).
Hakim Ketua Wahyu Imam Santoso awalnya bertanya pada Ahli Forensik dan Medikolegal Farah Primadani Karouw.
"Pada saat saudara melakukan autopsi, saudara bersama berapa orang dokter?" tanya Hakim Ketua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya dibantu oleh dokter magang satu orang, kemudian lima orang dokter muda, kemudian hasilnya kami konsultasikan juga ke senior saya, dokter Asri," jawab Farah.
Lihat Juga : |
Hakim lalu masuk mempertanyakan perbedaan soal rekoset atau pantulan peluru dalam laporan autopsi yang dilakukan Farah.
"Tadi saya lihat di hasil laporan saudara dengan laporan dari autopsi yang kedua itu berbeda. Di laporan hasil autopsi sementara maupun autopsi yang terakhir itu tidak ditemukan adanya rekoset," kata Hakim Ketua.
Namun, Farah menyatakan soal rekoset itu tak bisa disimpulkan lewat tes forensik, melainkan olah tempat kejadian perkara (TKP). Dia pun menegaskan hanya bisa menilai luka tembak pada jasad korban.
"Kalau saya tidak menyatakan itu rekoset atau tidak, karena harus berdasarkan dari keterangan Olah TKP juga Yang Mulia," jelas Farah.
"Pada saat saudara melihat autopsi, ada enggak rekosetnya?" tanya Hakim Ketua.
"Yang saya nilai adalah luka tembak masuknya," kata Farah.
"Luka tembak masuk, sehingga saudara tidak melihat adanya rekoset?" tanya Hakim Ketua.
"Betul, Yang Mulia," tutur Farah.
Selain itu, Hakim Ketua juga bertanya perihal hasil autopsi kepada Ahli Forensik dan Medikolegal Ade Firmansyah Sugiarto yang turut hadir dalam persidangan.
"Ada berapa orang tim yang memeriksa jenazah korban pada saat itu?" tanyanya.
"Kalau untuk kasus Brigadir Yosua kami ada tim kedokteran forensiknya dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia ada delapan orang dokter spesialis forensik, yaitu tiga orang sebagai guru besar sebagai penasihat, dan lima orang dokter yang melaksanakan ekshumasi dan pemeriksaan autopsi, serta dua orang teknisi forensik," terang Ade.
Lalu, Hakim Ketua menanyakan tingkat kesulitan proses autopsi terhadap jenazah yang masih baru atau yang telah melalui proses pengawetan.
"Lebih mudah mana melakukan autopsi terhadap jenazah atau mayat yang segar atau yang sudah dibalsem?" tanya Hakim Ketua.
"Pasti yang masih segar, Yang Mulia," kata Ade.
"Kenapa hasilnya bisa berbeda [autopsi pertama dan kedua]?" tanya Hakim Ketua.
"Bukan berbeda, Yang Mulia. Saya dapat jelaskan pada luka yang ada di pipi kanan itu kenapa kami sampai pada kesimpulan rekoset karena kami menemukan ada gambaran yang cukup spesifik berbentuk kotak di pipi kanan," jelas Ade.
"Kemudian dari situ kami memerlukan informasi terkait di tempat kejadian perkara. Dan, diberikan informasi bahwa adanya lubang yang berkesesuaian dengan tempat keluarnya peluru yang dari arah hidung. Sehingga itu secara ilmu forensik maka jalur lintasan anak peluru yang membentur itu dia dapat mengalami rekoset dan mengenai pipi kanan dan kelopak bawah kanan," sambung Ade.
"Saat saudara autopsi jenazah sudah alami pembalseman. Betul kan?" tanya Hakim Ketua.
"Benar, Yang Mulia," tutur Ade.
"Artinya struktur tubuhnya sudah mulai berubah dong. Kita ini orang awam, cuman kalau ngeliatin kok berbeda gitu lho?" tanya Hakim Ketua.
"Jadi yang dapat saya jelaskan bukan berbeda, namun di sini ketika satu tempat rekoset itu dianggap sebagai satu lintasan anak peluru," kata Ade.
"Ketika melihat batang otak pun sudah diteliti oleh autopsi pertama dan selebihnya tadi ditanyakan oleh penasihat hukum, sisa hasil autopsi dimasukkan lagi ke dalam tubuh yang sudah bukan pada tempatnya. Benar kan?" tanya Hakim Ketua.
"Benar, Yang Mulia," kata Ade.
"Logikanya, autopsi yang itu kan lebih mengacu pada autopsi yang pertama,"
"Pada saat kami melakukan pemeriksaan, secara kedokteran, hilal arah lintasan anak peluru yang masuk dari belakang kepala sisi kiri akan mengenai batang otak. Jadi secara logika kedokteran itu akan bisa berakibat fatal," terang Ade.
"Tetapi pada akhirnya, tadi kan saudara sendiri mengakui lebih mudah melakukan autopsi terhadap jenazah yang masih segar ketimbang yang sudah dibalsem. Betul kan?" tanya Hakim Ketua.
"Benar, Yang Mulia," sebut Ade membenarkan.
Diketahui, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf didakwa melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Yosua.
Mereka didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pembunuhan terhadap Yosua terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 di rumah dinas Sambo nomor 46 yang terletak di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Dalam surat dakwaan, Bharada E dan Sambo disebut menembak Yosua.
Adapun latar belakang pembunuhan diduga karena Putri telah dilecehkan Yosua saat berada di Magelang pada Kamis, 7 Juli 2022. Namun, dugaan tersebut telah dibantah pihak keluarga Yosua.