Jakarta, CNN Indonesia --
Reputasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) tercatat dengan tinta merah dalam riwayat Orde Baru memberangus lawan politiknya. Penculikan marak. Mereka tercerai berai. Tidak sedikit aktivis PRD yang mati atau hilang dan belum ditemukan sampai sekarang.
Mereka yang tetap hidup setelah melihat kematian di depan mata tidak trauma dengan politik. Justru kini menggurita di sejumlah partai usai Orde Baru runtuh.
Budiman Sudjatmiko, Andi Arief dan Dita Indah Sari termasuk di antaranya. Panggung politik kembali jadi habitat mereka di kesempatan hidup yang kedua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PRD usik Orde Baru
Sebelum menjadi partai politik, PRD memiliki kepanjangan Persatuan Rakyat Demokratik. Induk dari sejumlah organisasi massa yang menaungi elemen buruh, petani, nelayan hingga mahasiswa di era Orde Baru.
PRD dipimpin Budiman Sudjatmiko, mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM angkatan 1989. Bergerak bersama Andi Arief mahasiswa Ilmu Politik UGM, dan Dita Indah Sari mahasiswi Fakultas Hukum UI.
Andi Arief mengepalai Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Dita Indah Sari sebagai ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI).
Tak cuma advokasi, aktivis PRD dan onderbouw-nya juga kerap memobilisasi pemogokkan massal. Penguasa kala itu menjadi sangat terusik. Alih-alih menciut, PRD justru kian membesar.
 Budiman Sudjatmiko (kiri) saat masih menjadi petinggi Partai Rakyat Demokratik (AFP PHOTO/STR / AFP PHOTO / OKA BUDHI) |
Pada 22 Juli 1996, Persatuan Rakyat Demokratik mendeklarasikan diri menjadi Partai Rakyat Demokratik. Manifesto diterbitkan dengan sejumlah poin bernada keras menyerang pemerintahan Presiden Soeharto.
Lima hari kemudian, kerusuhan terjadi di kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat atau dikenal dengan kerusuhan 27 Juli (Kudatuli). Pemerintah menunjuk hidung PRD sebagai dalang utama kerusuhan.
Budiman, Andi, Dita ditangkap di lokasi dan waktu berbeda. Sejumlah aktivis PRD lainnya juga bernasib sama. Mereka diburu dengan tudingan subversi atau rencana menjatuhkan penguasa.
Semua tahu bahwa lawan politik Orde Baru kerap mati. Tidak selalu melalui proses hukum yang wajar. Benak para PRD pun demikian. Risiko maut menjemput sudah bersemayam dalam hati.
Namun, takdir berkata lain. Andi dibebaskan, usai disekap beberapa hari setelah diculik di Lampung. Dita bebas berkat amnesti dari Presiden Habibie. Begitu pula Budiman yang diberikan amnesti oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Dirangkul Megawati, SBY dan Cak Imin
PRD sempat mengikuti Pemilu 1999. Namun gagal mendapat kursi DPR. PRD hanya mendapat 0,07 persen atau sekitar 78 ribu suara. Dari total 48 partai peserta pemilu, PRD berada di urutan 40.
Andi Arief mengakui kala itu partainya memang belum benar-benar siap mengikuti pemilu. Konsolidasi masih kurang usai anggotanya tercerai berai diburu aparat.
 Andi Arief saat masih aktif sebagai pengurus Partai Rakyat Demokratik (PRD) medio 1990-an silam (Istimewa) |
Masa depan PRD seolah kurang menjanjikan ketika zaman sudah berubah. Budiman memutuskan pindah ke PDIP, Andi Arief ke Demokrat bersama Hary Sebayang. Dita Indah Sari dan Faisol Reza bergabung ke PKB. Lalu Subarni Budi Kasih masuk NasDem.
Budiman memutuskan cabut dari PRD usai Gus Dur dilengserkan. Dia melanjutkan kuliah S1 di London University dan S2 di Cambridge University. Pada 2004, Budiman bergabung dengan PDIP.
"Kemudian saya pikir PDIP adalah partai yang menurut saya punya kemampuan dan punya kapasitas dan punya visi misi yang kurang lebih sama," kata Budiman kepada CNNIndonesia.com.
Dia juga mengaku dekat dengan sejumlah nama politikus PDIP ketika itu. Mereka seperti suami Megawati, Taufiq Kiemas, Pramono Anung, Soetjipto Soedjono (Sekjen PDIP kala itu). Budiman mengklaim bergabung dengan PDIP bukan atas dasar ajakan melainkan keputusan pribadi.
Budiman mengaku juga sempat bicara serius dengan Megawati saat Kongres partai itu pada 2005 di Bali di sebuah kamar hotel.
"Bu Mega mengatakan waktu itu bahwa, PDIP baru kalah pemilu Pilpres 2004 dari Pak SBY. PDIP tetap menjadi partai besar, nomor urut 2, tapi pilpres kalah. Bu Mega mengatakan ingin berada di luar pemerintahan, menjadi pengimbang dari pemerintahan Pak SBY," kata dia.
Baca halaman selanjutnya Andi Arief ke Demokrat
Andi Arief juga keluar dari PRD. Dia memilih jalan bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat menghadapi Pemilu dan Pilpres 2004. SBY adalah kenalan lamanya di Yogyakarta.
Andi mengaku memiliki hubungan personal dengan SBY sejak menjadi aktivis di Jogja pada awal 90-an. Masa itu bersamaan saat SBY menjadi Komandan Korem (Danrem) 072/Pamungkas Kota Yogyakarta tahun 1995.
Di sana, SBY berdiskusi bersama mahasiswa. Menurut dia, SBY termasuk tokoh militer yang dekat dengan mahasiswa dan tak pernah ikut dalam gelombang penangkapan para aktivis.
"Ia punya pemikiran-pemikiran melampaui zaman dan bahkan melampaui rata-rata pemikiran dari TNI pada waktu itu," ucap Andi.
Setelah lulus pada 1996 dan ikut mendirikan PRD, Andi mengaku putus komunikasi dengan SBY. Ia baru kembali berkomunikasi pada 2003. Dia mengaku diajak untuk bergabung dengan Demokrat dan langsung ikut memenangkan SBY pada Pilpres 2004.
Saat ini Andi dipercaya sebagai Kepala Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat.
Dita Indah Sari PKB
Sementara itu, Dita baru keluar dari PRD pada 2009. Setelah itu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jadi kapal Dita berikutnya.
Ia mengikuti Faisol Reza, yang lebih dulu bergabung dengan partai nahdliyin itu beberapa tahun sebelumnya.
Pada 2008, Dita sempat menemui Gus Dur untuk menyampaikan niat bergabung dengan PKB. Kepada Dita, Gus Dur mewanti-wanti latar belakangnya sebagai aktivis.
Presiden RI keempat itu lalu meminta Dita untuk menemui dua orang, yakni Yenny Wahid dan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
"Gus Dur bilang silakan. 'Tapi PKB kan parpol. Aktivis masuk PKB ya. Ini parpol loh'," ucap Dita menirukan ucapan Gus Dur.
Mantan Ketua Umum serikat buruh PRD itu kemudian menemui Cak Imin. Menurut Dita, ia lebih dekat dengan Cak Imin, sebab sering bertemu di DPR saat menggelar aksi demonstrasi. Cak Imin merupakan mantan Wakil Ketua DPR saat dipimpin Akbar Tanjung mulai 1999.
"Jadi demo yang nerima Cak Imin. Dialog Cak Imin. Jadi Cak Imin udah familiar," kata dia.
Saat ini, Dita adalah staf khusus Menteri Ketenagakerjaan. Pada Pemilu 2024, Dita akan kembali maju di pemilu legislatif untuk daerah pemilihan Surabaya dan Sidoarjo. Dia mengaku percaya diri akan terpilih.
 Mantan petinggi PRD yang kini kader PKB, Dita Indah Sari (CNN Indonesia/Resty Armenia) |
Pesimis Kembali Bersama
Para mantan anggota PRD memang memiliki ikatan kuat berkat gerakan aktivisme mereka untuk menjatuhkan rezim Orba. Namun, mereka juga kompak pesimis untuk sampai berkumpul lagi dalam wadah yang sama.
"Enggak. Enggak. Situasi sudah berubah," ucap Dita tegas saat ditanya peluang mereka ber reuni dalam partai yang sama.
Dita menjelaskan bahwa kegagalan PRD di Pemilu 1999 tak diterima kader dengan sama. Baginya, PRD harus kembali pada organisasi advokasi masyarakat. Namun bagi sebagian yang lain, melihat PRD tak memiliki peluang untuk bertahan, terutama karena tak memiliki sumber daya finansial.
Partai-partai baru telah melesat dengan kemampuan finansial yang cukup.
Dita menyebut ada kekecewaan di lingkungan aktivis karena gerakan reformasi terpecah. Partai dari semula hanya tiga menjadi 48 pada Pemilu 1999. Begitu Pula dengan organisasi buruh dari hanya satu menjadi sekitar 200 organisasi buruh.
Padahal, dari jumlah massa sebetulnya mereka tak bertambah. Organ-organ itu tumbuh dilandasi kekecewaan hanya karena kalah dalam perebutan kekuasaan.
"Organ mahasiswa juga begitu, sehingga kemudian lebih sulit untuk menyatukan. Kecil tapi banyak dan kemudian masing-masing juga, karena enggak ada common enemy lagi," ucap Dita.
Sementara itu, Andi Arief memiliki ikatan emosional dengan PRD. Namun, dia menganggap peluang untuk kembali bersama tidak mudah.
Apalagi, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang disebut penjelmaan dari PRD kini juga selalu gagal menjadi peserta pemilu. Namun, dia mengaku tetap menghormati kawan-kawan sesama mantan aktivis yang kini berbeda jalan.
"Tetapi semangat kawan-kawan di bawah yang membangun partai saya hormati saja, dan kita saling menguji saja di lapangan mana yang kira-kira benar nantinya," ucap dia.
Sementara itu, Budiman menyebut para mantan aktivis dan politikus PRD saat ini telah memiliki beban dan tanggung jawab yang berbeda. Situasi itu menurut dia sulit jika ia dan teman-teman sesama aktivis harus kembali bersama.
"Kalau kita masih berhubungan baik iya. Kalau mau bertemu bukan dalam satu partai, paling dalam satu koalisi," kata Budiman.