Yamin Pane mengamini sepinya pengunjung membuat sebagian besar pedagang Pasar Tanah Abang Blok G di lantai atas kembali ke trotoar.
"Seiring berjalannya waktu, teman-teman para pedagang PKL yang ada di lantai 2 dan 3 itu tidak begitu bertahan lama karena memang traffic pengunjungnya agak kurang," kata Yamin.
Lihat Juga :![]() HUT DKI JAKARTA KE-494 Tanah Abang, Premanisme & Sekelumit Bisnis Keamanan |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan dari 2.200 kios di pasar itu, hanya ada sekitar 320 yang terisi usaha. Yamin menyebut para pedagang dibebankan BPP yang berbeda setiap bulannya.
"Sesuai dengan jenis jualannya yang didagangkan oleh para pedagang. Contohnya, kalau misalnya jenis jualannya tekstil, range-nya tipe C itu Rp200 ribuan," katanya.
Ia berkata pengelola sudah merencanakan peremajaan pasar untuk kembali menarik minat pembeli. Jika ditilik ke belakang, wacana peremajaan ini sudah mencuat pada 2017, namun hingga kini tidak terealisasi.
"Kalau kita melakukan peremajaan di konsep gedung baru itu kita akan meminta connecting dari skybridge itu masuk dulu ke Blok G baru ke CTA, sehingga kawasan bisnis yang ada di Tanah Abang ini bisa dilewati pengunjung yang datang ke sini," katanya.
Penemuan botol mirip bong itu mengembalikan ingatan bahwa Pasar Tanah Abang rawan kriminalitas. Selain narkoba, pasar ini juga identik dengan aksi premanisme.
Pemberitaan media bertahun-tahun belakangan menggambarkan itu. Selalu saja ada preman yang ditangkap karena aksi pungutan liar. Video-video pemalakan juga kerap tersebar di media sosial.
Ian Wilson dalam buku Politik Jatah Preman, Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru menyampaikan volume transaksi ekonomi dan aktivitas dagang yang terpusat di Tanah Abang, menjadikan pasar ini menggiurkan bagi para preman berseragam maupun tidak berseragam.
"Seorang sopir taksi Tanah Abang berkata, pokoknya banyak sekali istilah uang di sana, ada uang keamanan, lah, uang lewat, atau uang komisi. Pokoknya, enggak ada deh sejengkal tanah yang enggak dipake preman untuk nyari duit," tulis Ian dalam bukunya.
![]() |
Sepanjang pertengahan tahun 1990, sebagian besar uang perlindungan dipungut oleh seorang pemuda asal Timor Timur, Rosario de Marshall, atau yang dikenal dengan nama Hercules. Geng Hercules berkuasa atas jalanan dan pasar kawasan itu.
Ian menyampaikan pada 1994 geng Hercules merebut kendali atas kelurahan Jatibunder di Tanah Abang dari dominasi geng-geng Betawi dan Madura.
Geng Hercules disebut menguasai jatah setoran di gedung pasar utama yang menguntungkan, serta mengendalikan pelacuran di Bongkaran, tak jauh dari Stasiun Tanah Abang, tempat mereka mendirikan markas besar.
Di akhir 1990-an, dibentuk ormas Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang (IKBT) yang diberi mandat untuk menuntaskan 'masalah preman' di Tanah Abang.
Muhammad Yusuf atau yang lebih dikenal sebagai Bang Ucu ditunjuk jadi ketua ikatan. Ia beretnis Betawi dan tinggal di Tanah Abang. Awalnya Ucu berdagang kambing sebelum dikenal sebagai jago.
Dalam bukunya, Ian menyampaikan geng Hercules belakangan dipukul mundur dari Tanah Abang usai diserang oleh Geng Jatibunder dan Jatibaru di bawah panji IKBT.
"Wakil Ucu adalah Abraham Lunggana, dikenal dengan nama Haji Lulung yang sebagai anggota PPM (Pemuda Panca Marga), juga menjalankan perusahaan jasa keamanannya sendiri, Putra Perkasa, yang menguasai lahan parkir di sebagian Jakarta Pusat dan Jakarta Utara," tulis Ian.
Dalam perjalanannya, Lulung sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Ia juga pernah menjadi anggota DPR RI. Lulung meninggal dunia pada 2021.
Saat menjadi pimpinan DPRD DKI 2017 silam, Lulung sempat berbeda pendapat dengan Ombudsman RI yang menyebut ada oknum dan preman yang kongkalikong untuk melindungi PKL di Tanah Abang.
Berdasarkan pengertian Lulung, preman adalah oknum yang memeras. Walaupun begitu, ia tidak memungkiri jika warga setempat yang ia istilahkan sebagai 'anak lingkungan' juga menerima uang dari PKL.
"Kalau preman, haqqul yaqin anak lingkungan marah. Pasti anak lingkungan [Tanah Abang] dulu yang bawa, lapor ke polisi. Pasti!" kata Lulung saat itu.
![]() |
Sejumlah pedagang yang ditemui di Blok G Tanah Abang pada akhir pekan lalu, mengaku tidak pernah dipungut setoran oleh preman. Menurut sejumlah pedagang, mereka hanya membayar ke Pasar Jaya.
"Mungut-mungutin enggak, biasanya preman urusannya sama preman, rebutan lahan. Kalau ke pedagang, enggak," katanya.
"Aman di sini, enggak ada (nyetor) preman," kata pedagang lain di Blok G.
Salah seorang tokoh masyarakat di Tanah Abang, Guruh Tirta Lunggana tidak sepakat dengan istilah preman di Pasar Tanah Abang.
"Kita sebutnya bukan preman barangkali, orang yang tidak punya pekerjaan, jadinya mereka nyambi, kayak markir, markir di putaran. Mereka juga bantu pedagang-pedagang lain," kata Putra Almarhum Haji Lulung itu.
"Harusnya peran pemerintah daerah dan pusat hadir, dalam rangka menyelamatkan mereka, dengan cara pembinaan, didata," imbuhnya.
Terkait dengan peristiwa penemuan alat diduga bong di Blok G, Guruh enggan berkomentar banyak. Ia mengatakan pasar itu di bawah pengelolaan PD Pasar Jaya, di mana Hercules diangkat sebagai tenaga ahli BUMD DKI Jakarta itu.
Ia berpendapat kriminalitas bisa saja terjadi di mana pun ketika wilayah itu tidak terurus.
Dengan sejarah panjangnya, Guruh tidak menampik anggapan masyarakat yang menyebut Pasar Tanah Abang identik dengan 'sarang' preman hingga narkoba. Namun ia menegaskan masyarakat dan ormas di Tanah Abang berusaha menekan tindak kriminal di kampungnya sendiri.
Belakangan telah dibentuk Rumah Guyup Tanah Abang yang membawahi puluhan ormas di kecamatan itu. Guruh menjadi penasihat di wadah itu.
"Kami sepakat ngumpul jaga wilayah masing-masing. Tanah Abang kan, bukan hanya ada di Kebon Kacang aja. Satu tahun almarhum (Haji Lulung) meninggal kan tidak ada gesekan, keributan di Tanah Abang," katanya.
Di balik bayangan menyeramkan itu, Tanah Abang merupakan pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara yang menjadi kebanggaan Presiden Joko Widodo. Beberapa kali tamu negara diajak berkeliling ke pasar yang sudah dibangun sejak era Hindia Belanda pada 1735.
Nama besar Tanah Abang tetap menjadi magnet perekonomian dengan segala kerawanannya. Jika tidak dijaga dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat, potensi kriminalitas tak akan lepas dari wilayah itu.
(yoa/pmg)