Jakarta, CNN Indonesia --
Mantan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Satria Arta Kumbara memohon kepada pemerintah lewat video untuk memulangkan ke Indonesia usai bergabung dengan tentara bayaran Rusia.
Satria adalah mantan anggota Korps Marinir TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhirnya adalah Sersan Dua (Serda). Ia tercatat berdinas terakhir di Inspektorat Korps Marinir (Itkormar).
Namun, Satria melakukan desersi sejak 13 Juni 2022. Atas pelanggaran tersebut, Satria dijatuhi hukuman pidana penjara satu tahun dan dipecat secara tidak hormat dari TNI AL berdasarkan putusan pengadilan militer No. 56-K/PM.II-08/AL/IV/2023, yang telah berkekuatan hukum tetap sejak 17 April 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Komandan Korps Marinir (Dankormar) Mayjen Endi Supardi mengatakan Satria juga terlilit utang pinjaman online (pinjol) dan bank hingga Rp750 juta. Satria lalu terjerumus judi online.
"Ternyata judi online ini kan tidak membantu, bahkan akan lebih terjerumus ke dalamnya," kata Endi kemarin.
Kondisi ini membuat Satria mendaftar menjadi tentara bayaran Rusia. Ia ikut berperang melawan Ukraina sejak dua tahun terakhir.
Atas dasar itu, kewarganegaraan Indonesia yang dimiliki Satria otomatis hilang, sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan jika Satria ingin kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI), maka yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kewarganegaraan kepada Presiden melalui Menteri Hukum.
Hal tersebut sebagaimana diatur UU Kewarganegaraan dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007.
Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia atas permintaan Satria tersebut?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan Satria saat ini tidak memiliki kewarganegaraan alias stateless karena telah kehilangan status WNI.
Hikmahanto menjelaskan Satria yang bergabung menjadi tentara bayaran Rusia tidak otomatis mendapat status kewarganegaraan Rusia.
"Mereka dibayar secara profesinya sebagai tentara, dia tidak akan beralih kewarganegaraannya. Jadi saudara Satria ini kalau dia bergabung dia tidak serta merta menjadi warga negara Rusia," katanya kepada CNN Indonesia.
Hikmahanto mengatakan pemerintah memiliki ketentuan hukum untuk seseorang yang ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraannya.
Ia mencontohkan ratusan WNI yang memutuskan bergabung dengan ISIS bisa kembali mendapat kewarganegaraan RI beberapa tahun lalu.
Menurutnya, para simpatisan ISIS itu bisa menjadi WNI dengan mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penyampaian Permohonan Kewarganegaraan Republik Indonesia Secara Elektronik.
Hikmahanto menyebut Satria bisa mengajukan permohonan kewarganegaraan secara elektronik maupun perwakilan pemerintah Indonesia di Rusia untuk diproses.
"Pemerintah bisa saja terima kembali. Jadi terhadap saudara Satria juga harus ada clearance, memastikan bahwa karena ketidaktahuan UU kewarganegaraan, dia ikut, dan kemudian tidak tahu bahwa kewarganegaraannya akan hilang. Jadi banyak yang perlu ditempuh," ujarnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengatakan pemerintah lebih baik mengikuti aturan yang berlaku dalam memproses permintaan Satria tersebut.
"Mestinya pemerintah on the track saja dengan Undang-Undang Kewarganegaraan itu, jadi ikuti saja ketentuan yang berlaku ya, sama seperti yang lain supaya ada perlakuan yang sama," kata Castro saat akrabnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis malam.
Castro menyebut merujuk pada UU Kewarganegaraan itu, maka salah satu syaratnya adalah terkait durasi tinggal di Indonesia.
Hal tersebut tertuang pada Pasal 9 UU Kewarganegaraan. Dalam pasal itu disebutkan ada delapan syarat permohonan pewarganegaraan.
Salah satu syaratnya berbunyi "pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat lima tahun berturut-turut atau paling singkat sepuluh tahun tidak berturut-turut."
Menurut Castro, pemerintah memiliki kewenangan memberikan pertimbangan khusus bagi seseorang untuk menjadi WNI. Namun, pertimbangan khusus ini biasanya merujuk pada jasa apa yang diberikan atau dapat diberikan bagi negara.
"Kan kalau dalam case ini (Satria) kita enggak tahu apa jasa-jasa yang diberikan sehingga membuatnya layak diberikan kewarganegaraan secara istimewa, sebagaimana pemain-pemain naturalisasi itu kan, itu yang tidak dimiliki jadi menurut saya mestinya on the track saja dengan aturan yang ada," kata Castro.
Senada itu, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI Arie Afriansyah juga menyebut pemerintah harus berpatokan pada UU Kewarganegaraan dan Permenkumham No 47/2016 jo Permenkumham Nomor 3/2024 dalam merespon atau memproses permintaan Satria tersebut.
"Namun demikian, proses untuk Pak Satria ini mungkin lebih mendalam mengingat yang bersangkutan adalah mantan anggota TNI yang sudah diputuskan desersi dan menjadi anggota militer negara asing (Rusia)," kata Arie.
Arie menerangkan pendalaman terhadap Satria itu bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan.
"Ya pemeriksaan terhadap yang bersangkutan dan pertimbangan-pertimbangan kepentingan nasional Indonesia," ujarnya.
Sisi Kemanusiaan
Castro menyebut sisi kemanusiaan tak bisa serta merta menjadi pertimbangan untuk mengembalikan status kewarganegaraan Satria. Termasuk, soal keberadaan istri dan anak di Indonesia.
"Karena memang kalau dia memilih melepaskan kewarganegaraannya dengan menyatakan diri bergabung dengan institusi kemiliteran artinya kan dia menyadari betul konsekuensi yang bisa diterima," ucap Castro.
Castro menekankan untuk polemik kewarganegaraan Satria ini harus tetap berpegang pada aturan dan ketentuan yang berlaku.
"Enak aja dia pergi tapi ketika punya problem ingin kembali kemudian serta merta diberikan keistimewaan kan tidak bisa begitu konsepnya, berbeda, jadi dia harus mengikuti prosedur yang ada sebenarnya," ujarnya.
[Gambas:Infografis CNN]
Sementara itu, Arie menyebut sisi kemanusian ini bisa saja menjadi pertimbangan pemerintah. Namun, hal-hal terkait hukum, kepentingan keamanan nasional serta politik internasional juga menjadi faktor penilaian.
"Kalau pertimbangan hukum, misalnya yang bersangkutan pernah desersi militer, memiliki keluarga di Indonesia, dan konsekuensi setelah meninggalkan Indonesia untuk Rusia, Pasal 122 dan Pasal 123 KUHP," kata Arie.
"Konsekuensi hukum yang terakhir di mana Indonesia perlu memberikan sanksi hukum terhadap akan memberikan pesan bahwa Indonesia tetap netral dan tidak membantu negara manapun secara resmi," imbuhnya.