Dua puluh tahun telah berlalu, namun Lone Chaw masih mengingat dengan jelas masa kecilnya saat mulai berlatih bela diri tradisional Myanmar, Lethwei.
Petarung desa di Myanmar itu pun tetap memegang kukuh tradisi kuno Lethwei, termasuk ritual sebelum memulai pertandingan. Pada suatu kesempatan, ia memperlihatkan salah satu ritual itu dengan menepuk sikunya sehingga terdengar seperti suara kepak ayam yang sedang bertarung. Ritual itu disebut lat kha maung yang biasa dilakukan kjelang pertarungan.
Lethwei tidak dikenal secara luas selama bertahun-tahun, bahkan di Myanmar. Jenis bela diri yang menyerupai tinju Thailand, Muay Thai, itu mulai bangkit di tingkat lokal maupun internasional dalam dua-tiga tahun ke belakang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada skala internasional, salah satu turnamen Lethwei digelar di gelanggang olahraga Woodlands, Singapura. Turnamen serupa juga sempat digelar di Bangkok, Thailand.
Pendiri sekaligus direktur klub Lethwei, Thut Ti Myanmar, Win Zin Oo, memiliki kenangan tersendiri saat mempromosikan olahraga khas negaranya ke dunia internasional. Pelatih yang akrab dengan sapaan Tuan Win itu mengungkapkan kenangan itu adalah saat membawa Lone Chaw ke turnamen di Nagasaki, Jepang, sepuluh tahun lalu.
Seorang petarung Jujitsu menantang Chaw untuk bertarung. Adapun aturan yang digunakan merupakan peraturan Lethwei. Walhasil, Chaw berhasil menaklukkan petarung tersebut kurang dari semenit.
"Mereka menonton seorang petarung dari daerah yang meng-KO lawannya di babak pertama, secara mengejutkan," kenang Oo dengan bangga.
Bela Diri Brutal
Seni bela diri Lethwei sempat dinilai sebagai olahraga yang brutal. Pasalnya, dalam pertandingan sebenarnya para petarung tidak mengenakan pelindung muka, lutut, hingga sarung tinju seperti pada bela diri lain. Pelindung yang digunakan pada dalam Lethwei tradisional, jelas Oo, adalah selembar kain yang dililit pada tangan.
''Di Muay Thai, tendangan dan serangan lutut sering digunakan, akan tetapi para petarung Lethwei lebih menggunakan pukulan mereka dan sedikit tendangan,'' ujar Win yang merupakan pelatih Chaw hingga akhir karirnya. ''Secara tradisional, Lethwei tidak menggunakan sarung tinju. Kami juga sering melakukan gerakan-gerakan seperti melempar, mencekik, dan sundulan kepala.''
Kebrutalan Lethwei diakui James Ko, 30, yang berasal dari Hong Kong. Pria yang juga berlatih Muay Thai itu menyadari bahwa pertahanan dirinya terbuka ketika melawan petarung Lethwei.
''Dalam pertarungan Lethwei, sangat mudah bagi lawan kita untuk membuat kontak. Sehingga kita harus lebih waspada,'' ujar Ko.
Lone Chaw mengungkapkan pada usia 17 tahun dirinya mendapatkan delapan jahitan di wajah akibat luka dalam pertarungan. Namun, lanjut Chaw, saat ini pelindung tubuh yang standar diupayakan untuk dipakai termasuk dalam latihan. Standar pertarungan Lethwei mulai diganti mengikuti peraturan olahraga modern yang menuntut faktor keselamatan para pegiatnya.
Populer
Sekitar dua tahun lalu, tutur Chaw, orang asing mendatangi tempat latihan klub Thut Ti Myanmar Lethwei. Di klub yang berada di sudut kota Yangon tersebut Chaw berprofesi sebagai pelatih Lethwei. Seni bela diri yang diajarkan Chaw tidak sebrutal yang ia terima saat masih berada di desa dan berprofesi menjadi petarung.
Di sana, Chaw mengajarkan seni bela diri ke berbagai lapisan masyarakat—murid-murid Chaw utamanya berasal dari kalangan menengah ke atas. Beberapa di antara murid-murid Chaw berprofesi sebagai dokter, bankir, hingga selebritas Myanmar seperti Wutt Hmone Shwe Yi.
Win dan Chaw menarik biaya hingga 5 ribu kyat (sekitar Rp 60 ribu) per orang untuk mengikuti latihan Lethwei. Bangunan klub itu sendiri bukanlah sebuah perguruan yang megah. Win dan Chaw membangunnya dalam bangunan yang beratapkan besi dengan penutup terpal plastik.
Di salah satu sudut bertumpuk ban-ban yang akan digunakan murid-murid Thut Ti melatih kesigapan. Di sudut lain terdapat arena buat bertanding. Setiap Sabtu tempat tersebut akan ramai pegiat Lethwei yang berlatih tanding.