Dika Dania Kardi
Dika Dania Kardi
Lulusan Ilmu Jurnalistik di Universitas Padjadjaran. Mengawali karier wartawan profesional bersama surat kabar Media Indonesia. Kini menjadi jurnalis untuk CNN Indonesia.
KOLOM

Lelucon Sepak Bola Nasional

Dika Dania Kardi | CNN Indonesia
Sabtu, 04 Apr 2015 12:20 WIB
Keluarnya rekomendasi BOPI membuka babak baru perseteruan antara pemerintah dan otoritas sepak bola Indonesia.
BOPI dan Kemenpora telah menyatakan Persebaya dan Arema Cronus tak lolos verifikasi, sementara PT Liga dan PSSI bersikukuh menjalankan kompetisi dengan 18 klub.(CNN Indonesia/Thinkstock)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- *Artikel ini adalah opini pribadi penulis sebagai penonton sepak bola. Penulis adalah wartawan di CNN Indonesia.

Seolah sebuah lelucon di awal April. Pada tanggal 1 April lalu--yang di dunia barat dikenal sebagai hari paling bebas menyampaikan lelucon atau kebohongan atau April Mop-- kisruh sepak bola memasuki babak baru yang diwarnai ketidapatuhan, tarik ulur kekuasaan, dan tentu saja banyak sekali kebingungan.  

Bermula dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang tak meloloskan dua klub dari rekomendasi izin untuk berkompetisi dalam Liga Super Indonesia (ISL) 2015. Dua klub, yang kebetulan berasal dari Jawa Timur yaitu Arema Cronus dan Persebaya Surabaya, disebut BOPI tak mampu menunjukkan aspek legalitas yang membuat mereka bisa lolos dari verifikasi badan tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak butuh waktu lama, hanya dalam hitungan menit dua klub itu meradang dengan keputusan BOPI. Selain itu, operator kompetisi yakni PT Liga Indonesia juga bersikeras ingin menggelar kompetisi dengan jumlah peserta 18 klub, bukan 16 klub seperti yang direkomendasi BOPI.

Hal sama juga dilontarkan induk olahraga sepak bola Indonesia, PSSI, yang menegaskan hanya institusi itu yang berhak memutuskan nasib sebuah klub, dan bukan BOPI yang merupakan kepanjangan tangan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga atau pemerintah.

Untuk hal itu, PSSI merujuk kepada statuta-nya dan juga FIFA yang melarang intervensi pihak lain termasuk pemerintah. Sementara itu pemerintah merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional,  PP No. 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, dan Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga No. 0009 Tahun 2015 tentang BOPI.

PSSI sendiri pada pertengahan Februari lalu sempat mengadu ke FIFA soal penundaan kompetisi ini. Kemudian, federasi itu, yang seperti dilansir Reuters, telah memerintahkan PSSI tak menggubris pemerintah. Saya penasaran bagaimana isi lengkap surat PSSI itu kepada FIFA.

Di sisi lain, Kemenpora pun ternyata mengirim surat ke Presiden FIFA Sepp Blatter tentang hasil verifikasi BOPI. Dari keterangan yang dirilis Kemenpora, surat 2 halaman dan lampiran rekomendasi BOPI itu ditembuskan ke Menlu Ri, Dubes RI di Swiss, Presiden AFC, Ketum PSSI, dan Sekjen FIFA Jerome Valcke (yang sedang dibully netizen Indonesia dengan tagar #ShameOnYouValcke).

"Verifikasi BOPI yang didukung Kemenpora ini sama sekali tidak ada tujuan untuk intervensi sebagaimana disebutkan pada Pasal 13 dan juga Pasal 17 dari Statuta FIFA' demikian saya kutip dari situs Kemenpora.

FIFA memang memiliki aturan yang meminta asosiasi sepak bola anggotanya tak diintervensi pemerintah--dalam hal ini disebut sebagai pihak ketiga (Statuta FIFA pasal 13 huruf j dan Pasal 17 angka 1). Jika hal itu dilanggar asosiasi bisa ditendang dari federasi dan tak mampu mengikuti agenda internasional.

Masalah penundaan kompetisi atau penghentian kompetisi oleh pemerintah sebetulnya tak hanya jadi sarapan Indonesia. Sepanjang musim ini pemerintah Yunani telah tiga kali menghentikan kompetisi domestik. Asosiasi dan klub sepak bola dari negara para dewa tersebut pun meminta pemerintah mengizinkan kompetisi dilanjutkan kembali dengan jaminan cetak biru keamanan dari para klub dan asosiasi.

Apakah kemudian FIFA menghukum timnas Yunani? Ternyata tidak. Toh, Yunani masih bisa berlaga dalam kualifikasi Piala Eropa 2016 melawan Hungaria saat jeda internasional pada pekan lalu, 30 Maret 2015.

Keikutsertaan Klub

Terkait keikutsertaan klub dalam kompetisi domestik, saya memang belum melihat dokumen legalitas yang diklaim ataupun yang diberikan klub kepada tim verifikasi BOPI.

Dalam tulisan ini saya hanya akan membandingkan dengan apa yang telah terjadi di salah satu kiblat industri sepak bola dunia, Italia. Ketika sebuah klub dimarjinalkan dari liga oleh otoritas.

Marilah melihat apa yang terjadi di Italia hampir satu dekade lalu. Pada Mei 2006, terkuak skandal sepak bola memalukan yang membuat kompetisi sepak bola negara itu menjadi kalah pamor dibandingkan Liga Inggris hingga saat ini. Kepolisian Italia berhasil menguak skandal calciopoli yang melibatkan klub dan organisasi wasit di divisi teratas sepak bola negeri itu, Serie A.

Akibatnya, lima klub yakni Juventus, AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina menjadi pihak pesakitan. Berdasarkan hasil penyelidikan polisi itu otoritas sepak bola Italia (FIGC) mendegradasi lima klub Serie A tersebut.

Juventus diputuskan didegradasi ke Serie C1, namun setelah banding hanya diturunkan ke Serie B dengan pengurangan hingga sembilan poin. Sementara empat klub lain yang semula hendak didegradasi ke Serie B, tak jadi setelah melakukan banding. Walau begitu empat klub itu tetap mengalami pengurangan poin dengan jumlah bervariasi pada musim sebelumnya.

Klub-klub pesakitan sudah melakukan banding demi mendapatkan kebenaran serta hak membela dirinya sendiri. Namun saat sudah ketok palu, keputusan itu pun dilaksanakan.

Juventus turun ke Serie B dan dua gelar scudetto-nya dicabut. Sementara itu empat klub lain dikurangi poinnya pada musim 2006/07. Walaupun begitu, para tifosi tetap mendukung dan maskot serta para pemain yang setia tetap berjuang agar timnya bisa membalikkan keadaan di lapangan.

Hasilnya, Juventus berhasil kembali ke Serie A pada musim berikutnya 2007/08. Ia menjadi runner up Serie A di musim 2008/09, dan meraih hat-trick Scudetto dari musim 2011/12 sampai 2013/14. Juventus pun masih memiliki peluang besar untuk mempertahankan scudetto di musim ini.

Itu terjadi bukan hanya karena klub memiliki sejarah panjang dan basis suporter yang loyal. Ada profesionalitas dalam pengelolaan klub dan liga.

Baca: Antiklimaks Calciopoli

Jika dikaitkan dengan di Indonesia, cukup dewasakah klub yang ada untuk memenuhi aturan yang telah diputuskan? Padahal klub-klub walau telah diberi tambahan waktu selama satu bulan (kick off ISL 2015 seharusnya dimulai pada 20 Februari lalu namun ditunda sebulan untuk memberi tambahan waktu bagi klub-klub memenuhi syarat verifikasi BOPI).

Sementara itu, bagi pemerintah, sebaiknya memberi kesempatan bagi klub yang jadi pesakitan untuk melakukan banding yang terakhir kali.

Setidaknya, ketika PSSI dan PT Liga tetap ngotot dengan 18 klub, berikanlah jaminan klub-klub itu dapat menyelesaikan kewajibannya sebelum paruh pertama liga usai. Jaminan yang tegas mengikat tanpa tedeng aling-aling.

Saya kira pemotongan poin dengan jumlah yang sadis hingga ancaman degradasi langsung bagi klub lolos bersyarat yang melanggar hingga tengah musim itu juga bisa dijadikan pilihan hukuman.

Lantas bagaimana ketika hak pemain atau ofisial klub tak dibayarkan klub? Apa yang terjadi pada Parma musim ini di Italia harus jadi pelajaran.

Bagi PSSI, daripada mengadu-adu ke FIFA dan mencari kambing hitam, lebih baik membenahi sepak bola nasional serta integritas di dalamnya.

Skandal sepak bola gajah di divisi utama tahun lalu, klub-klub yang menunggak gaji pemain tahun lalu--asosiasi pesepak bola profesional Indonesia (APPI) pada Desember lalu merilis ada tujuh klub penunggak yaitu Arema, Persija, Pelita Bandung Raya, Mitra Kukar, Persebaya, Persiba Balikpapan, dan PSM Makasar.

Kemudian hak yang perlu dibenahi adalah keributan suporter tahun lalu, serta keterpurukan timnas di segala jenjang usia terutama yang senior di level ASEAN.

Terakhir, setidaknya jauhkanlah sepak bola dari politik. Sumber-sumber uang dari kami, para suporter ini, sebaiknya untuk kesejahteran klub dan sepak bola nasional dibandingkan untuk memuaskan nafsu aktor-aktor politik.

Saya yakin bagi mereka yang mencari kehidupan dari permainan sepak bola dan mereka yang menikmati permainan sepak bola, kelangsungan kompetisi dan prestasi timnas bukanlah sebuah lelucon. (kid/vws)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER