Jakarta, CNN Indonesia -- Saat Indonesia masih sibuk mengatasi masalah kabut asap, Malaysia baru saja sukses menyelenggarakan balap motor Grand Prix atau MotoGP untuk kali ke-25.
Jika mendengar kata 'Malaysia', maka yang ada di benak sebagian besar masyarakat Indonesia adalah 'negara pencuri'. Beberapa kali memang sempat muncul insiden Malaysia mengklaim lagu, pakaian, kesenian, hingga makanan yang dikenal khas milik Indonesia.
Indonesia dulu boleh menyatakan diri lebih hebat daripada Malaysia. Namun, saat ini Indonesia semakin jauh tertinggal dari sang tetangga hampir di seluruh sektor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya adalah olahraga. Malaysia baru saja sukses menjadi tuan rumah ajang balap motor Grand Prix untuk kali ke-25 di Sirkuit Internasional Sepang (SIC), 25 Oktober lalu. Sebuah ajang yang tidak pernah digelar Indonesia sejak 1997.
Malaysia pantas bangga. Negeri Jiran merupakan negara Asia Tenggara yang mampu menjadi tuan rumah dua ajang balap paling bergengsi di dunia: MotoGP dan Formula One (F1).
Salah satu ciri negara sukses adalah memperhatikan perkembangan olahraga, dan Malaysia memperlihatkan hal tersebut. Dengan dukungan "200 persen" dari pemerintah, SIC mampu menjelma menjadi salah satu sirkuit kelas dunia.
"Pemerintah memberi dukungan 200 persen. SIC berada di bawah kementerian keuangan, bukan kementerian olahraga. Ini visi Tun Mahathir (Mohammad). Visinya F1, MotoGP, menjadi
platform promosi negara Malaysia di pentas dunia," ujar CEO Sirkuit Sepang, Dato Razlan Razali, kepada
CNN Indonesia.
Keuntungan MenggiurkanTidak mudah memang untuk bisa menjadi tuan rumah ajang MotoGP atau F1, seperti yang sedang berusaha dilakukan Indonesia saat ini. Untuk bisa mencantumkan nama di kalender MotoGP saja Indonesia harus membayar 7 juta euro kepada Dorna.
Belum lagi Indonesia butuh dana lebih dari Rp150 miliar untuk merenovasi Sirkuit Sentul yang kondisinya saat ini jauh dari memuaskan untuk bisa menggelar ajang sekelas MotoGP.
Bahkan sirkuit sekelas SIC masih butuh bantuan pemerintah untuk bisa menggelar F1 atau MotoGP. Pengorbanan di awal memang harus dilakukan pemerintah Indonesia sebelum bisa menuai hasil dari menggelar MotoGP.
Razlan mengatakan, SIC baru bisa mendapatkan untung lima tahun setelah resmi digunakan pada 1999. Itu pun SIC tidak bisa berdiri sendiri hingga detik ini.
SIC hingga kini juga masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dengan demikian Indonesia tidak bisa setengah-setengah jika sudah memutuskan untuk menjadi tuan rumah MotoGP.
"Pemerintah membayar right fee untuk MotoGP dan F1. Sedangkan untuk operasional setiap hari kami yang mencarinya. Sejauh ini kami selalu untung tiga kali lipat ROI (Return On Investment). Jika ada visi bisnis bagus ditambah dukungan pemerintah hasilnya pasti akan bagus," ucap Razali.
Sebelumnya Menteri Pariwisata Arief Yahya mengklaim Indonesia akan meraih pendapatan yang menggiurkan dari menggelar MotoGP. Perhitungan selama empat hari berlangsungnya MotoGP, akan terjadi pengeluaran sekitar 91 juta dolar AS atau setara Rp1,2 triliun.
Sementara nilai dari penyelenggaraan MotoGP mencapai Rp3 triliun. Jumlah itu dari
direct impact (wisatawan lokal dan mancanegara, hotel, restoran, dan wisma) sebesar Rp1 triliun dan dari
media impact Rp2 triliun.
Mendapatkan dukungan pemerintah adalah satu hal, merawat sirkuit sekelas SIC adalah suatu hal lainnya. Juga diperlukan dana besar untuk mempertahankan kualitas sirkuit setiap tahunnya.
Razali mengatakan, hanya mengandalkan ajang F1 dan MotoGP untuk meraih pendapatan setiap tahunnya tidaklah cukup. Untuk itu SIC juga menerima permintaan event di luar balap mobil atau motor.
"Ada juga event balap sepeda, marathon, night running, dan bahkan bulan November ada duathlon. Pemerintah juga ingin memastikan kami mandiri jadi harus dipastikan kami ada bisnis," tegas Razali.
Pihak SIC juga rencananya akan membangun taman bermain di sekitar sirkuit dalam beberapa tahun ke depan. Manajemen sirkuit yang dimiliki pemerintah itu juga ingin SIC menjadi tujuan wisata harian.
(har)