Jakarta, CNN Indonesia -- Lahir dalam kondisi berbeda tak lantas membuat Dian
David Michael Jacobs. Sebab, kondisi itulah yang mengantarnya meraih sederet prestasi di kancah tenis meja
difabel.
Tangan kanan David berukuran lebih kecil dari bagian sebelah kiri. Namun, perbedaan ini justru menjadi berkah ketika ia bisa berdamai dengan keadaan yang berbeda.
Dari perbedaan itulah David bisa dikenal dunia sebagai atlet tenis meja difabel. Kini Ia menjadi salah satu atlet tenis meja andalan Indonesia di
Asian Para Games 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di usia sembilan tahun saya belajar di Kota Batang, Jawa Tengah. Saya asli orang Ambon, orang tua sempat pindah-pindah sampai akhirnya pernah tinggal di Batang. Dekat rumah di Batang ada meja ping pong," kata David menceritakan kisahnya di Citibank Tower pada Selasa (18/9).
"Saya main [tenis meja] sama kakak dan tetangga, orang tua melihat saya punya bakat di tenis meja. Saya lahir kondisi tangan kanan kecil dari lahir. Saya main kidal, tangan kiri," katanya menambahkan.
 Dian David Michael Jacobs lahir dalam kondisi berbeda. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
David tidak sungkan atau malu bermain tenis meja dengan orang normal. Ia kemudian masuk klub yang menampung atlet normal sebelum hijrah ke Jakarta.
"Dengan dukungan doa dan semangat akhirnya pada 2000 saya bisa juara nasional untuk kategori umum. Saat itu saya mengalahkan pemain terbaik yang merupakan atlet normal di Indonesia. Setelah juara, mau tidak mau saya dipanggil masuk tim nasional," ucap David.
Dari 2000 hingga 2009, David mengikuti berbagai turnamen internasional seperti SEA Games dan Kejuaaraan Dunia.
Berbagai prestasi telah ia raih seperti medali emas dalam Kejuaraan Nasional di Kediri pada 2000, medali perunggu dalam SEA Games 2001 di Kuala Lumpur, dan masih banyak lagi. Setelah 2009 ia memutuskan untuk mundur dari tim nasional.
 Tenis meja jadi bagian hidup Dian David Michael Jacobs. (Brett_Hondow/Pixabay) |
"Pada 2010, saya masuk Para Games. Jadi ada yang beri tahu saya bahwa dengan masuk Para Games, saya bisa mendunia. Dari Jakarta saya ke Solo bertemu ketua NPC Senny Marbun dan bisa gabung tim nasional Para Games Indonesia," ujar David.
"Setelah itu saya mengikuti beberapa kejuaraan, 2012 lolos ke Paralimpiade. Saya bisa meraih medali perunggu, satu-satunya medali untuk Indonesia," ujarnya melanjutkan.
Empat tahun kemudian, David gagal meraih medali dalam Olimpiade Rio de Janeiro di Brasil. Namun, Indonesia tetap menyumbang satu medali perunggu lewat cabang olahraga powerlifting melalui Ni Nengah Widiasih di nomor 41 kilogram.
"Waktu kecil kami melihat kondisi tubuh kami itu sebagai kekurangan. Akan tetapi, justru sekarang ini adalah kelebihan kami," tutur David yang bakal tampil dalam Asian Para Games 2018.
"Kalau tidak seperti ini [disabilitas], kami tidak sampai seperti ini. Ini bagian dari rencana Tuhan, agar kami memandang positif semua hal yang terjadi kepada kami," tuturnya kembali.
Lebih lanjut, David mengatakan kunci utama kesuksesannya adalah doa. Selain itu, dukungan orang tua dan keluarga juga tidak kalah penting.
"Tanpa mereka, kami bukan apa-apa. Keluarga yang tahu lebih dulu waktu kami gagal serta bagaimana prosesnya menuju kesuksesan," ucapnya.
Di samping kesibukannya sebagai atlet, David merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Olahraga DKI Jakarta. Ia bisa bekerja di sana berkat prestasi di tenis meja.
"Kalau
passion sendiri setelah pensiun dari tenis meja, saya punya klub. Saya ingin mendidik anak muda agar berprestasi, anak-anak difabel ini saya tahu bagaimana kecilnya. Harus terus dimotivasi, dikasih semangat, jangan malu," tuturnya.
(map/jun)