Jakarta, CNN Indonesia -- Olahraga
bulutangkis saya kenal melalui keluarga. Keluarga saya besar saya menyukai olahraga, khususnya bulutangkis. Keluarga saya (ayah, Hendra Wijaya) bermain bulutangkis seangkatan Tjun-Tjun,
Christian Hadinata dan Iie Sumirat. Sehingga saya dan kakak saya diperkenalkan serta ikut-ikutan main bulutangkis.
Mulai bermain bulutangkis di usia empat atau lima tahun di Cirebon. Kebetulan, saya berlatih di klub orang tua sendiri yakni PB Rajawali. Hal itu juga yang menjadi inspirasi untuk logo atau lambang Candra Wijaya International Badminton Centre hingga kini, yaitu burung rajawali yang melambangkan semangat nasionalis karena mirip burung garuda.
Setelah berlatih di Cirebon hingga usia 12 (tahun 1987), saya mencoba masuk klub besar di ibu kota. Termotivasi ingin menyusul kakak saya [Indra Wijaya] yang sudah lebih dulu berada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Pelita Bakrie saya merintis karier dari bawah, dan saya mulai merasakan sulit dan beratnya menjadi seorang atlit. Mulai dari tingkat pemula, remaja hingga terus perlahan akhirnya dapat berprestasi ke tingkat junior.
Ketika itu saya tidak langsung bermain sebagai pemain ganda, tapi masih bermain di sektor tunggal putra. Prestasi terbaik saya waktu itu sempat menjadi semifinalis tunggal putra Kejuaraan Dunia Junior 1990 di Jakarta, namanya masih Bimantara World Junior Championship.
Tantangan dan cobaan datang setelah itu, saya harus setop bermain bulutangkis selama tiga bulan balik ke Cirebon karena terlalu banyak latihan, dahulu disebut sakit kuning atau hepatitis.
 Cadra/Sigit menjadi generasi emas ganda putra Indonesia setelah Ricky/Rexy. (AFP PHOTO/Nicolas ASFOURI) |
Ketika itu dokter menyarankan saya agar berhenti berolahraga berat. Namun karena tekad dan kecintaan saya pada bulutangkis, perlahan saya menjalani pemulihan dan mulai main lagi. Namun saya ganti haluan pindah ke sektor ganda.
Puji Tuhan memang sudah jalannya. Selain perasaan lebih tertarik dan yakin, saya bermain di ganda supaya tidak berbenturan dengan kakak saya. Akhirnya setelah pulih dan terus mencari pengalaman, tahun 1993 saya berhasil menjadi juara kejuaraan nasional ganda putra. Meskipun ketika itu adalah pasangan dadakan Namrih Suroto, dari situ pula yang membawa saya dipromosikan ikut seleksi ke Pelatnas Cipayung.
Di Pelatnas sebelum berpasangan dengan Sigit Budiarto, saya sempat beberapa kali ganti pasangan, pertama bersama Dadan Hidayat, tidak lama rekan saya itu mundur. Lalu saya dipasangkan dengan Ade Sutrisna (almarhum). Bersama Ade saya pernah menjuarai Polandia Terbuka, Kanada Terbuka, Amerika Serikat Terbuka, dan Swedia Terbuka yang ketika itu setara grand prix atau super series.
 Candra mengaku banyak belajar dari pengalaman dan para senior. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni) |
Bersama Sigit Budiarto kami cukup cepat melejit dan puncaknya waktu itu menjuarai Kejuaraan Dunia di Glasgow, Skotlandia 1997. Semua tentu berkat kerja keras serta perhitungan yang matang, sehingga kami dapat masuk ke level papan atas. Boleh dibilang saat itu usia saya masih cukup belia, 21 tahun.
Sparing, kompetisi, dan belajar dari para senior dan pelatih yang mumpuni ketika itu membuat kami maju pesat. Percaya diri kami tinggi karena selama latihan dapat atau sering mengalahkan senior-senior kami, terutama Ricky Subagja/Rexy Mainaky yang baru meraih medali emas Olimpiade Atlanta 1996.
Di masa itu kami (Candra/Sigit) seperti 'Angin Taifun' (sebutan yang disematkan media ketika itu). Bisa dibilang, selama 1997 kami dapat memenangkan beberapa kejuaraan, bahkan belum sampai 10 turnamen kami sudah masuk peringkat satu dunia, tentu karena poinnya sudah tinggi, serta dapat mengalahkan unggulan-unggulan atau pasangan ganda yang peringkatnya lebih tinggi dari kami.
Di tahun 1998 saya menjuarai Piala Thomas bersama tim Indonesia, juga berhasil mempertahankan prestasi itu di tahun 2000 dan 2002. Berikutnya saya meraih emas di Olimpiade Sydney tahun 2000 bersama Tony Gunawan. Sampai akhirnya karena satu lain hal saya memutuskan mundur dari Pelatnas pada 2009. Namun saya masih tetap bermain secara profesional.
Selama berkarier di bulutangkis saya juga pernah bermain di ganda campuran, sempat meraih medali emas SEA Games 1997 bersama Eliza Nathanael, juara Thailand terbuka bersama Jo Novita, dan pernah berpasangan dengan Greysia Polii, menjuarai Kejurnas Beregu Campuran 2003 bersama PB Jaya Raya.
Waktu SEA Games 1997 di Jakarta, saya masih ingat ketika itu kami bermain tiga set dan seru sekali melawan Ricky/Rexy. Kami berhasil menang dengan skor 15-4, 14-17, 15-11. Setelah itu kami baru tahu bahwa final tersebut adalah ajang mencetak rekor untuk Ricky/Rexy.
Apabila mereka berhasil atau menang di SEA Games artinya gelar Ricky/Rexy lengkap, namun kami gagalkan ketika itu. Jadi, mohon maaf untuk senior.
Hehehe...
Sebetulnya kami tidak berpikir mau menjegal mereka (teman sendiri), hanya kami (Candra/Sigit) memang tengah menanjak, tentu motivasi kami hanya ingin menjadi juara.
Begitu juga dengan saya. Saya sendiri belum menjuarai Asian Games perorangan, hanya juara atau meraih emas di kategori beregu. Sayang atau kurang puas tentu ada, namun pada akhirnya itu bukan menjadi masalah atau tidak berlebihan karena ajang lainnya sudah pernah saya raih.
Mungkin di situlah pembelajarannya, sehingga saya dapat terus terpacu berkarier, semangat dan terus maju dan bermain bulutangkis, meraih prestasi-prestasi lainnya yang lebih tinggi.
Soal peristiwa Mei
1998, ketika itu saya berada di Hongkong bersama tim
Piala Thomas Indonesia. Kami tentu ingat betul, bahkan sampai sekarang masih ada trauma, apalagi bila melihat kembali foto atau berita di televisi, melihat situasi kondisi di Tanah Air yang rusuh dan kacau balau.
Kami bingung dan gelisah, karena walaupun rumah atau keluarga kami dijaga, namun tetap saja perasaan ini was-was. Jantung dan ulu hati rasanya
nyut-nyutan mau copot karena memikirkan keluarga di rumah. Di samping itu pada waktu yang sama kami harus konsentrasi dan siap untuk bertanding. Secara psikologis ini sangat mempengaruhi mental kami.
Sempat ciut dan berfikir negatif, namun saya bertekad tak akan mundur dari tugas dan tanggung jawab sebagai atlet profesional. Sekaligus ingin membuktikan kecintaan, loyalitas dan dedikasi saya kepada bangsa dan negara. Bukan takut, apalagi berkhianat.
Ketika di final Piala Thomas kami melawan Malaysia. Kondisinya kami unggul 2-1. Saya dan Sigit (partai keempat) menjadi penentu kemenangan. Kesempatan menang terbuka setelah Hendrawan (partai ketiga, tunggal putra) menang rubber set melawan Yong Hok Kin.
Hasil Hendrawan meyakinkan saya dan Sigit untuk menutup kemenangan menjadi 3-1 sekaligus mempertahankan Piala Thomas di tahun 1998.
 Candra berkaca-kaca saat bercerita tentang peristiwa Mei 1998. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni) |
Saya merasakan emosi yang luar biasa ketika itu, campur aduk, kacau balau bersama tim. Namun di situ pula kami rasakan ada hasrat menggebu, ada keinginan, kebersamaan, kekompakan, dan kekuatan dalam tim, sekaligus menjadi motivasi kami untuk dapat mempersembahkan gelar juara. Mudah-mudahan harapan kami dan kita semua, kiranya peristiwa buruk 1998 jangan sampai terulang kembali.
Selepas meraih Piala Thomas kami sempat menunggu beberapa hari dahulu di Hong Kong dan melihat situasi serta kondisi di Tanah Air. Sejarah mencatat, mungkin itu sebagai peristiwa yang langka. Ketika kami berangkat dilepas oleh Presiden Soeharto, kembali ke Indonesia di terima oleh Presiden Habibie.
Sudah menjadi tradisi bila ada yang menjadi juara ajang seperti Piala Thomas, maka kami bersama tim diarak keliling Jakarta. Misinya agar kondisi segera kondusif dan memberi dukungan moril atau semangat kepada saudara-saudari kita yang terkena kerusuhan atau musibah.
 Piala Thomas 1998 jadi pembuktian tim bulutangkis Indonesia di tengah kerusuhan massal. (Dokumentasi istimewa dari Candra Wijaya) |
Saat diarak saya melihat kondisinya masih sangat tegang, sungguh amat memprihatinkan. Itu tampak dari respons masyarakat atau orang-orang di jalan. Mereka masih terlihat panik seperti seolah ada kerusuhan lagi ketika kami lewat karena menggunakan sirene. Ruko-ruko, gedung-gedung di pinggir jalan banyak yang pecah kacanya dan terbakar, taman serta pagar-pagar banyak yang rusak.
Selama karier saya, prestasi yang paling berkesan tentu di Olimpiade, karena itu adalah ajang tertinggi di dunia olahraga sekaligus momennya hanya empat tahun sekali. Lalu Piala Thomas, saya bersyukur bisa turut mempertahankan Piala Thomas sebanyak 3 kali, All England 4 kali masuk ke final namun hanya 2 kali juara tahun 1999 dan 2003, serta Kejuaraan Dunia masuk final 3 kali, namun hanya 1 kali juara tahun 1997.
Bagi saya dalam mengikuti ajang multievent seperti Olimpiade, Piala Thomas, Kejuaraan Dunia itu terasa lebih antusias. Kami memang lebih mendapat tekanan, tapi sekaligus lebih siap dan menantang.
Selain itu terpilihnya kami ke dalam tim merupakan satu kehormatan dan kesempatan dapat mengabdi kepada bangsa serta negara. Lebih terhormat dan bangga, karena dapat turut pula mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
 Meski dipisahkan dari Sigit Budiarto, Candra Wijaya tetap bisa sukses bersama Tony Gunawan. (AFP PHOTO/Robyn BECK) |
Proses atau jalan meraih medali emas Olimpiade 2000 itu berawal seminggu setelah saya menjuarai Singapura Terbuka bersama Sigit, November 1998. Namun setelah itu mendadak dan sontak kami semua terkejut karena ada masalah non teknis yang dialami Sigit Budiarto.
Pastinya kami dan khususnya para pelatih berkumpul. Akhirnya Christian Hadinata dan Herry IP memanggil kami, memutuskan memasangkan saya dengan Tony Gunawan yang ketika itu dinilai siap dan cocok untuk mendampingi saya.
Bersama Tony saya berangkat ke Copenhagen Masters, itu akhir tahun 1998 dan kami langsung menjadi juara di sana. Kami sadar bahwa tak lama lagi waktu itu sudah akan masuk perhitungan poin ke Olimpiade, sehingga kami terus bersiap diri.
 Juara di Olimpiade jadi salah satu yang paling berkesan bagi Candra. (AFP PHOTO/Robyn BECK) |
Mungkin karena sifat dan karakter kami tidak jauh beda, sehingga untuk masalah non teknis tidak banyak menemui kendala. Sedangkan mengenai masalah teknis semua bisa didiskusikan dengan baik. Apalagi semenjak masuk Pelatnas kami sudah tinggal sekamar bersama, sehingga hubungan kami sangat baik bahkan sudah seperti saudara sendiri.
Singkat cerita kami berhasil meraih beberapa gelar juara, sampai bertengger kembali di peringkat atas BWF, dan di Olimpiade Sydney 2000 kami menjadi unggulan pertama.
Bukan berarti mudah, pastinya beban dan tekanan cukup besar, apalagi kami sangat diharapkan atau ditargetkan meraih medali emas. Bersyukur dengan niat baik, usaha dan kerja keras, kami diberkahi dan menang, mengalahkan pasangan Korea Selatan di final Lee Dong Soo/Yoo Yong Sung dengan skor 15-10, 9-15, 15-7.
Menjadi juara Olimpiade buat saya merupakan jawaban dan tanda akan penyertaan dan kuasa Allah. Bagi saya Dia benar-benar ajaib dan hidup, karena sebelum berangkat, ada bisikan yang begitu kuat dalam hati bahkan di telinga saya, "Kamu akan melihat Kebesaran dan Kemuliaan-Ku di sana", maksudnya di Sydney. Dan saya memang begitu dikuatkan, seolah juara atau medali emas itu adalah milik saya.
Kasih karunia dan berkat dari Tuhan sungguh luar biasa, jika Ia berkenan sekalipun itu sulit, Ia akan membukakan jalan untuk kita. Ini menjadi kesaksian dalam hidup saya, agar saya terus bersemangat dan bersuka cita. Agar saya berusaha melakukan yang terbaik, sesuai talenta dan kemampuan yang Tuhan berikan pada saya untuk terus berkontribusi positif bagi lingkungan, sesama, bangsa dan negara.
Saya juga hormat dan berterima kasih kepada seluruh pendukung, pecinta bulutangkis, kolega, sponsor, pelatih, pembina, klub saya, PBSI, Menpora atau pemerintah. Khusus kepada orang tua, istri anak, keluarga besar yang begitu mengasih dan mencintai saya hingga saya bisa menjadi seperti sekarang.
Tak lupa my best partner Tony Gunawan dan Sigit Budiarto, mereka berdua adalah inspirasi dan semangat buat saya, pribadi yang unik dan tetap menyenangkan dalam suka dan duka. Mereka memiliki teknik yang lebih luar biasa dibanding saya. Saya adalah orang yang sangat beruntung dapat berjodoh berpasangan dengan mereka.