Jakarta, CNN Indonesia --
Manchester United adalah klub kesukaan saya. Karena itu juga nama saya menjadi
Osas Saha. Sebenarnya tidak ada itu nama 'Saha' di paspor saya. Tetapi karena saya suka MU, dan saat itu ada striker Louis Saha, maka nama saya jadi Osas Saha. Saya sangat senang dengan Louis Saha.
Setiap hari saya selalu menghabiskan waktu dengan bermain bola ketika masih kecil. Kami biasa melakukan itu setelah pulang sekolah. Masa kecil saya habiskan di Lagos, Nigeria, kota kelahiran saya.
Lagos mirip dengan Jakarta. Padat, ramai, dan macet. Meski banyak orang bilang Lagos kota kumuh, tapi dari sana banyak lahir pemain-pemain top Eropa dan mungkin dunia. Ya, sebut saja Taribo West dan Obafemi Martins.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemahiran saya bermain bola berlanjut sampai ke tingkat sekolah. Saat masih sekolah tingkat SMP saya masuk di akademi Chykes Davies. Di Chykes Davies saya dipantau salah satu klub di Divisi Satu di Nigeria, Prime FC.
 Osas Saha menjalani proses naturalisasi sejak 2016. (Dok. PSSI) |
Saya sempat ditawari kontrak oleh Prime FC. Tetapi ketika itu orang tua melarang bermain, karena mereka ingin saya fokus ke sekolah dahulu. Sangat disayangkan.
Sempat singgah juga di klub Bonnyrigg White Eagles. Hanya saja, setelah lulus saya kembali ke Prime FC, dan sekitar dua musim saya berada di klub tersebut.
Pada awal 2006 cerita perjalanan karier saya sebagai pesepakbola dimulai. Ada ajakan dari pemain senior ketika itu, namanya Bamidele Frank Bob Manuel. Dia pernah bermain di Persik Kediri, Persebaya Surabaya, dan juga Arema.
Bob Manuel mengajak saya untuk datang ke Indonesia. Tapi bukan untuk bermain, bukan seleksi di klub sepak bola. Saya ke Indonesia awalnya hanya ingin melihat-lihat situasi di sini. Jalan-jalan.
Ketika Bob minta saya ke Indonesia, saya bilang, "Oke saya datang ke Indonesia". Sempat ada kekhawatiran dari orang tua saya akan meninggalkan Lagos dan Nigeria. Karena itu pertama kali saya meninggalkan Nigeria.
Bagi kami saat melewati usia 18 anak laki-laki harus bisa berjuang untuk keluarga. Jadi meskipun orang tua khawatir, tapi saat itu saya seperti tidak memiliki pilihan, saya harus berkarier di luar Nigeria.
Awal-awal saya memang hanya jalan-jalan, seperti liburan di Indonesia. Sekitar tiga atau empat bulan saya menikmati Indonesia. Lalu secara tidak sengaja ada tawaran seleksi di PSDS Deli Serdang pada 2006 itu.
Saya ikut ke sana dan akhirnya mendapat kontrak di PSDS pada 2006/2007. Saya merasa nyaman, enak di PSDS. Sejak itu saya memutuskan melanjutkan karier di Indonesia dan melupakan bermain di Eropa.
Sejak dari PSDS saya bermain di PSAP Sigli, PSMS Medan, Persepam Madura United, Persiram Raja Ampat, Semen Padang, lalu pindah ke Malaysia bersama Penang FA.
 Osas Saha mengaku panggilannya terinspirasi dari Louis Saha. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Pada 2016 saya kembali lagi ke Indonesia dengan Perseru Serui. Tahun 2018 saya bergabung dengan Persija Jakarta di putaran kedua Liga 1, lalu di musim ini dengan Tira-Kabo.
Secara menyeluruh saya menganggap karier sepak bola saya sejauh ini berjalan cukup oke, puji Tuhan. Karena bagi saya, setiap tahun kita harus berusaha lebih bagus.
[Gambas:Video CNN]Di PSMS saya merasa oke, Persikabo oke, Persija juga oke, jadi bagi saya semuanya oke. Semuanya spesial untuk saya, ada pengalaman di setiap klub.
Kita semua tahu kondisi sepak bola Indonesia seperti apa, ada enaknya dan ada yang tidak enak. Tetapi, bagi saya semua itu tergantung masing-masing orang. Semua yang tidak enak menjadi motivasi untuk saya, untuk mengubah yang tidak enak menjadi enak.
Contohnya saat di Persija. Saya tidak nyaman di Persija karena jarang main. Namun Tuhan memberikan sesuatu di balik hal itu, Persija jadi juara Liga 1. Jadi di balik sesuatu pasti ada tujuan lainnya.
Di Liga Indonesia mungkin kondisi keuangan klub-klubnya tidak semuanya bagus, bisa jadi masih lebih bagus di Malaysia. Tetapi di Malaysia atmosfer pertandingan dan suporternya tidak seperti di Indonesia. Atmosfer pertandingan di Indonesia luar biasa.
Setelah lama di Indonesia saya jadi makin senang tinggal di sini. Saya mulai kepikiran untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Saya konsultasi dengan orang tua, saya cerita panjang kepada mereka tentang keinginan jadi WNI.
Orang tua menerima maksud dan keinginan saya. Bagi mereka yang penting saya bahagia. Oke, baik saya melanjutkan proses menjadi WNI, saya ingin naturalisasi.
Saya mulai proses naturalisasi sekitar 2016, dan saya melakukan itu sendiri tanpa sponsor dari klub. Lalu proses naturalisasi itu berlanjut di 2018, dan saya menjadi WNI pada tahun itu. Dua tahun itu proses yang sesuai prosedur sebenarnya.
Saat ingin naturalisasi saya tidak ada target untuk membela Timnas Indonesia. Tetapi dalam formulir menjadi WNI itu tertulis saya harus siap berjuang untuk Indonesia, dan saya isi itu.
 Osas Saha berhasil menjadi juara Liga 1 bersama Persija Jakarta. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya) |
Saya juga sudah bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bahkan saya bisa menghafal Indonesia Raya sebelum jadi WNI. Karena dalam pertandingan di sini suka ada lagu Indonesia Raya, seperti di Piala Presiden. Saya ikut menyanyikan itu, hingga akhirnya hafal Indonesia Raya.
Ketika tidak ada orang menyangka saya masuk Timnas Indonesia sebagai pemain naturalisasi, saya pikir itu hal wajar. Karena saya naturalisasi dengan sendiri dan tidak ada pemberitaan soal itu.
Padahal dahulu saat kecil saya sangat ingin bermain untuk timnas Nigeria. Saya pikir wajar, setiap anak-anak ingin memperkuat negara kelahirannya. Bahkan saya pernah memperkuat timnas Nigeria U-17. Hanya saja kariernya begitu-begitu saja, dan tidak jadi ke timnas Nigeria.
Tapi siapa sangka saya justru bermain untuk timnas senior Indonesia. Seperti janji saya saat jadi WNI, ketika dibutuhkan saya siap maksimal memberikan kontribusi untuk Timnas Indonesia.
Kalau bisa saya ingin lebih mengharumkan lagi nama Indonesia di internasional. Saya ingin bisa menjadi sejarah bagi prestasi Timnas Indonesia.
Dengan semua pengalaman itu, saya bisa katakan, saya cinta
Indonesia. Saya betah di sini, karena awalnya tidak ingin lama Indonesia. Tapi ternyata, makin lama saya makin cinta negara ini. Saya suka orang-orang di sini, budayanya juga.
Orang-orang di Indonesia berbeda dengan di negara lain, termasuk di Malaysia. Waktu saya main di Malaysia pada 2016, perbedaan orang-orang di sana jauh sekali dengan Indonesia.
Di Indonesia semuanya hidup seperti saudara. Terkadang terlihat mudah sekali berkenalan. Tapi kalau di Malaysia berbeda jauh. Di sini mudah bersosialisasi, jadi otomatis saya betah dan tidak ingin lagi keluar dari sini, sampai akhirnya menjadi orang Indonesia juga.
Dahulu saat pertama tinggal di Indonesia, saya benar-benar seperti orang asing. Jadi ketika itu di Medan ada beberapa orang yang sangat baik dengan saya. Saya bisa dekat dengan mereka seperti keluarga, namanya Pak Idris SE, dahulu dia pengurus di PSMS.
Pak Idris dan keluarganya, termasuk istrinya baik kepada saya. Mereka suka memberikan saya buah, bagi saya itu luar biasa. Otomatis mereka dekat dengan saya, dan saya anggap mereka seperti keluarga sendiri, seperti ayah dan ibu kedua bagi saya.
 Osas Saha mengaku sangat cinta dengan Indonesia. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Saya merasa memiliki orang tua di Indonesia. Mereka memberikan nasihat kepada saya. Saat saya datang ke tempat mereka selalu disambut dengan baik. Saya selalu berbicara dengan Pak Idris ini, sampai dengan saat ini. Ketika saya memiliki waktu liburan ke Medan, saya ajak mereka jalan-jalan, pergi makan di luar.
PSMS dan Medan itu punya cerita tersendiri bagi kehidupan serta karier saya di Indonesia. Di PSMS tahun 2012 saya pernah tidak digaji hampir tujuh bulan, bahkan gaji itu belum juga selesai sampai sekarang.
Waktu itu kalau sudah tujuh bulan tidak mendapat gaji, mau punya uang dari mana? Ingin makan uangnya dari mana? Kami kerjanya kan hanya sebagai pemain bola, jadi kehidupan waktu itu serba susah.
Apalagi pada saat susah itu anak saya sudah waktunya masuk sekolah, masuk SD. Saya sempat bingung, frustrasi harus mendapatkan uang dari mana untuk bisa menyekolahkan anak saya.
Anak saya hampir terancam tidak bisa sekolah. Pemain-pemain yang lain juga begitu, karena ketika itu di momen kenaikan kelas. Tapi kami benar-benar tidak memiliki solusi juga.
Ingin pinjam uang ke teman sendiri tidak bisa, karena sedang sama-sama susah. Ditambah lagi sedang bulan puasa, pemain-pemain yang muslim saat itu benar-benar tidak bisa tenang.
Beruntung saya punya agen yang baik, anak saya tetap bisa sekolah di sekolah internasional di Pondok Gede pada tahun itu, tidak harus menunda hingga ke tahun berikutnya. Agen saya, Mochtar Mamadou, sangat sering membantu saya waktu itu.
Dia memberikan bantuan kepada saya. Tidak dipinjamkan, tapi diberikan uang sama Mochtar itu. Dia orangnya baik dan cukup perhatian kepada pemainnya.
Meskipun kondisi keuangan sedang susah, tapi hal itu tidak mempengaruhi performa saya di lapangan. Saya frustrasi tapi penampilan saya tidak menurun. Di musim itu saya berada di posisi keempat top skor. Kalau tidak salah saya cetak 21 gol, dan yang jadi top skor mencetak 25 gol.
Saya punya keyakinan, masalah seperti itu tidak akan membuat performa saya turun. Mungkin tergantung manusianya masing-masing. Tapi saya yakin, tidak ada kesulitan yang sifatnya permanen, itu hanya sementara saja. Jika saat ini saya mendapat kesulitan, maka setelah itu saya akan dapat kemudahan, dapat kesuksesan.
[Gambas:Video CNN]Saya juga pernah mendapat perlakuan kasar dari suporter, itu waktu di Medan juga. Jadi Medan itu apa ya, banyak sekali kenangan di sana, saya suka itu. Di PSMS saya sempat tidak mencetak gol hampir di lima pertandingan awal musim. Jadi sudah tahu kan suporter di Indonesia akan seperti apa. Mereka maki-maki saya, mereka hina saya.
Tapi tidak sampai ada perkataan kasar yang bawa-bawa nama hewan. Mereka selalu minta saya out, saya harus out dari PSMS. Di pertandingan saya dikata-katain, saat latihan saya di caci-maki.
Tidak ada yang sampai bawa-bawa spanduk, hanya lewat perkataan mereka saja. Namun saat di akhir musim, ketika saya ingin pindah, suporter juga yang tidak ingin saya pergi. Haahaahaa...
 Osas Saha berambisi terus memperkuat Timnas Indonesia. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Sama juga waktu saya di Persija. Mungkin bagi saya di Persija termasuk momen yang tidak enak, karena saya tidak banyak bermain. Tapi akhirnya Tuhan memberikan jalan kepada saya untuk juara.
Melihat semua peristiwa itu saya merasa bersyukur memiliki mental yang bagus untuk berkarier di Indonesia. Puji Tuhan, Tuhan baik sama saya.
Saya sempat juga gagal dalam berumah tangga, hingga merasa saya seperti berada di kondisi nol, tidak memiliki apa-apa. Namun karena Tuhan juga semuanya mengalami progres dan jauh lebih baik. Saya punya investasi juga, punya rumah sendiri.
Selain karena Tuhan, faktor penting lainnya karena orang tua. Komunikasi dengan orang tua setiap hari bagi saya itu wajib. Orang tua yang memberikan saya motivasi.
Karena itu kalau ada nanti ada banyak waktu saat liburan saya ingin mengajak orang tua saya datang ke Indonesia, dan itu akan jadi yang pertama bagi mereka berkunjung ke Indonesia.