Dengan semua pengalaman itu, saya bisa katakan, saya cinta
Indonesia. Saya betah di sini, karena awalnya tidak ingin lama Indonesia. Tapi ternyata, makin lama saya makin cinta negara ini. Saya suka orang-orang di sini, budayanya juga.
Orang-orang di Indonesia berbeda dengan di negara lain, termasuk di Malaysia. Waktu saya main di Malaysia pada 2016, perbedaan orang-orang di sana jauh sekali dengan Indonesia.
Di Indonesia semuanya hidup seperti saudara. Terkadang terlihat mudah sekali berkenalan. Tapi kalau di Malaysia berbeda jauh. Di sini mudah bersosialisasi, jadi otomatis saya betah dan tidak ingin lagi keluar dari sini, sampai akhirnya menjadi orang Indonesia juga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dahulu saat pertama tinggal di Indonesia, saya benar-benar seperti orang asing. Jadi ketika itu di Medan ada beberapa orang yang sangat baik dengan saya. Saya bisa dekat dengan mereka seperti keluarga, namanya Pak Idris SE, dahulu dia pengurus di PSMS.
Pak Idris dan keluarganya, termasuk istrinya baik kepada saya. Mereka suka memberikan saya buah, bagi saya itu luar biasa. Otomatis mereka dekat dengan saya, dan saya anggap mereka seperti keluarga sendiri, seperti ayah dan ibu kedua bagi saya.
 Osas Saha mengaku sangat cinta dengan Indonesia. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Saya merasa memiliki orang tua di Indonesia. Mereka memberikan nasihat kepada saya. Saat saya datang ke tempat mereka selalu disambut dengan baik. Saya selalu berbicara dengan Pak Idris ini, sampai dengan saat ini. Ketika saya memiliki waktu liburan ke Medan, saya ajak mereka jalan-jalan, pergi makan di luar.
PSMS dan Medan itu punya cerita tersendiri bagi kehidupan serta karier saya di Indonesia. Di PSMS tahun 2012 saya pernah tidak digaji hampir tujuh bulan, bahkan gaji itu belum juga selesai sampai sekarang.
Waktu itu kalau sudah tujuh bulan tidak mendapat gaji, mau punya uang dari mana? Ingin makan uangnya dari mana? Kami kerjanya kan hanya sebagai pemain bola, jadi kehidupan waktu itu serba susah.
Apalagi pada saat susah itu anak saya sudah waktunya masuk sekolah, masuk SD. Saya sempat bingung, frustrasi harus mendapatkan uang dari mana untuk bisa menyekolahkan anak saya.
Anak saya hampir terancam tidak bisa sekolah. Pemain-pemain yang lain juga begitu, karena ketika itu di momen kenaikan kelas. Tapi kami benar-benar tidak memiliki solusi juga.
Ingin pinjam uang ke teman sendiri tidak bisa, karena sedang sama-sama susah. Ditambah lagi sedang bulan puasa, pemain-pemain yang muslim saat itu benar-benar tidak bisa tenang.
Beruntung saya punya agen yang baik, anak saya tetap bisa sekolah di sekolah internasional di Pondok Gede pada tahun itu, tidak harus menunda hingga ke tahun berikutnya. Agen saya, Mochtar Mamadou, sangat sering membantu saya waktu itu.
Dia memberikan bantuan kepada saya. Tidak dipinjamkan, tapi diberikan uang sama Mochtar itu. Dia orangnya baik dan cukup perhatian kepada pemainnya.
Meskipun kondisi keuangan sedang susah, tapi hal itu tidak mempengaruhi performa saya di lapangan. Saya frustrasi tapi penampilan saya tidak menurun. Di musim itu saya berada di posisi keempat top skor. Kalau tidak salah saya cetak 21 gol, dan yang jadi top skor mencetak 25 gol.
Saya punya keyakinan, masalah seperti itu tidak akan membuat performa saya turun. Mungkin tergantung manusianya masing-masing. Tapi saya yakin, tidak ada kesulitan yang sifatnya permanen, itu hanya sementara saja. Jika saat ini saya mendapat kesulitan, maka setelah itu saya akan dapat kemudahan, dapat kesuksesan.
Saya juga pernah mendapat perlakuan kasar dari suporter, itu waktu di Medan juga. Jadi Medan itu apa ya, banyak sekali kenangan di sana, saya suka itu. Di PSMS saya sempat tidak mencetak gol hampir di lima pertandingan awal musim. Jadi sudah tahu kan suporter di Indonesia akan seperti apa. Mereka maki-maki saya, mereka hina saya.
Tapi tidak sampai ada perkataan kasar yang bawa-bawa nama hewan. Mereka selalu minta saya out, saya harus out dari PSMS. Di pertandingan saya dikata-katain, saat latihan saya di caci-maki.
Tidak ada yang sampai bawa-bawa spanduk, hanya lewat perkataan mereka saja. Namun saat di akhir musim, ketika saya ingin pindah, suporter juga yang tidak ingin saya pergi. Haahaahaa...
 Osas Saha berambisi terus memperkuat Timnas Indonesia. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Sama juga waktu saya di Persija. Mungkin bagi saya di Persija termasuk momen yang tidak enak, karena saya tidak banyak bermain. Tapi akhirnya Tuhan memberikan jalan kepada saya untuk juara.
Melihat semua peristiwa itu saya merasa bersyukur memiliki mental yang bagus untuk berkarier di Indonesia. Puji Tuhan, Tuhan baik sama saya.
Saya sempat juga gagal dalam berumah tangga, hingga merasa saya seperti berada di kondisi nol, tidak memiliki apa-apa. Namun karena Tuhan juga semuanya mengalami progres dan jauh lebih baik. Saya punya investasi juga, punya rumah sendiri.
Selain karena Tuhan, faktor penting lainnya karena orang tua. Komunikasi dengan orang tua setiap hari bagi saya itu wajib. Orang tua yang memberikan saya motivasi.
Karena itu kalau ada nanti ada banyak waktu saat liburan saya ingin mengajak orang tua saya datang ke Indonesia, dan itu akan jadi yang pertama bagi mereka berkunjung ke Indonesia.
(har)