Jakarta, CNN Indonesia -- Saya lahir dari keluarga yang tidak mampu. Sejak kecil bila latihan saya harus naik angkutan umum dan kemudian ditinggal orang tua bekerja. Pulang latihan saya sering ikut teman yang rumahnya searah dengan saya.
Saya tak punya raket baru. Raket yang saya pakai adalah bekas ayah saya dulu main. Begitu pun dengan tas raket dan sepatu. Namun karena klub saya kecil, Wima, sudah punya sponsor, jadi sejak saya kelas 4 SD, penampilan saya kelihatan mewah.
Perjalanan saya sebagai pebulutangkis cilik terbilang lancar. Juara terus di berbagai kompetisi dan ingin ditarik sejumlah klub besar. Namun semua saya tolak karena orang tua takut saya takut malah tidak berhasil bila jauh dari rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya terus juara di tiap kelompok umur sampai akhirnya saya dipanggil untuk mengikuti persiapan Kejuaraan Asia Junior 2000. Saya harus mengikuti pemusatan latihan di Pelatnas Cipayung selama tiga bulan.
Saya masuk final dan kalah dari Lin Dan. Di Kejuaraan Dunia Junior, saya masuk final tetapi kalah dari Bao Chunlai. Sedangkan Lin Dan dan Lee Chong Wei hanya sampai semifinal.
Saya bersama Lin Dan, Lee Chong Wei, dan Bao Chunlai bisa dibilang satu angkatan meskipun saya lebih muda 1-2 tahun dari mereka.
 Sony Dwi Kuncoro sudah mencuri perhatian sejak usia muda. (AFP/BAY ISMOYO) |
Setahun kemudian, pada 2001 saya resmi masuk pelatnas. Karena orang tua tidak punya ongkos ke pelatnas, jadi saya tidak diantar ke pelatnas seperti atlet lain. Hanya pelatih yang mengantar saya ke Cipayung. Orang tua baru bisa ke Cipayung pada 2002, setelah saya punya rezeki untuk memberangkatkan mereka ke Jakarta.
Awal di pelatnas, saya turun bermain di sirkuit nasional, namun di kategori dewasa. Saya
runner up di Jakarta Open lalu juara di Tegal dan Surabaya. Kemudian saya disetop ikut sirkuit nasional dan mulai diberangkatkan ke turnamen internasional.
Zaman saya dulu pemain yang baru masuk pelatnas diuji dulu untuk ikut turnamen di nasional. Sebagai pemain muda yang sudah mulai menempa latihan, perkembangan kami diuji di sirkuit nasional yang juga sering diikuti mantan pemain nasional.
Bila sudah juara menunjukkan perkembangan mental baru dikirim ke internasional. Jadi tidak ada rasa santai karena sudah menjadi pemain pelatnas. Saat itu ada beberapa pemain yang tidak dikirim ke turnamen internasional karena mereka belum bisa juara di nasional. Pemikiran yang ada saat itu adalah seperti ini: "Bagaimana mau dikirim ke internasional kalau di nasional saja belum juara?"
Saya mulai aktif ikut di turnamen internasional sampai akhirnya ikut Kejuaraan Asia 2002. Saya berhadapan dengan Xia Xuanze di semifinal. Semua orang sudah tutup mata menyangka saya bakal kalah.
Sementara saya tidak berpikir banyak karena yang penting bagi saya sudah lolos semifinal. Ternyata saya menang dan lolos ke final.
Di final saya berjumpa Taufik Hidayat dan menang. Lalu saya dengar pernyataan-pernyataan, paling menang dikasih atau Sony kebetulan menang. Saya biarkan saja orang berbicara apa saat itu.
 Sony Dwi Kuncoro berhasil jadi juara Asia 2002 saat masih berusia 18 tahun. (AFP/TOSHIFUMI KITAMURA) |
Berhadapan dengan Taufik, saya tidak berpikir rasa takut dan minder di final itu. Saya memang menghormati dia dengan tidak melakukan selebrasi di hadapan dia dan memilih ke samping atau mengiyakan permintaan pergantian
shuttlecock dan tidak melakukan hal-hal yang tidak sopan.
Setahun kemudian saya juara SEA Games, kembali juara Asia, dan akhirnya masuk proyeksi untuk tampil di Olimpiade Athena 2004. Sebelum Olimpiade, saya di peringkat ketujuh sedangkan Taufik ada di posisi ke-15.
Walaupun saya jadi pebulutangkis dengan peringkat lebih baik, saya tak punya beban menuju Olimpiade. Mungkin karena saya masih muda dan beban yang ada saat itu tidak seperti zaman sekarang. Sekarang media sosial sudah aktif, tidak seperti zaman dulu.
Zaman dulu paling hanya terima banyak surat yang diambil di pos satpam. Saya dulu banyak dapat surat, mungkin Jonatan Christie kalau ada di zaman dulu juga kalah pamor sama saya,
hahaha..Intinya pemberitaan yang ada saat itu tidak seperti sekarang. Pemberitaan hanya ada di koran dan tentu itu pun bila kita membaca. Sedangkan saat ini pemberitaan dan segala hal bisa dibaca pemain saat mereka mengakses medsos. Begitu perbedaannya menurut saya.
Di Olimpiade, lawan pertama saya adalah Roslin Hashim dan laga tersebut terbilang berat. Di babak kedua, saya rasa pertandingan tidak terlalu berat.
Lalu saya lihat,
'Waduh bisa lawan Bao Chunlai di perempat final'. Saat itu saya lebih sering kalah dari Bao Chunlai di beberapa turnamen sebelum Olimpiade.
Eh, ternyata Bao Chunlai kalah. Saya pikir,
'wah rezeki bagi saya'. Lawan Park Tae Sang saya lebih yakin dan akhirnya menang.
Masuk semifinal, saya yakin bisa menang lawan Shon Seung Mo karena saya lebih sering menang lawan dia.
Dalam kedudukan 9-9 di set penentuan yang saat itu masih menggunakan poin 15, kami sama-sama tegang. Saya berusaha semangat karena saya lihat ini adalah kesempatan bagus. Namun namanya sebuah permainan, mungkin di momen penentuan itu dia bisa lebih membaca permainan sedangkan serangan saya tidak bisa tembus dan sesuai harapan.
 Sony Dwi Kuncoro meraih medali perunggu di Olimpiade 2004. (AFP/ROSLAN RAHMAN) |
Saya yang tidak pernah nangis pada momen kekalahan itu saya ingin menangis dan akhirnya keluar air mata. Saya sedih. Mungkin bila saya kalah sama Bao Chunlai atau Lin Dan yang saat itu sulit saya kalahkan hal itu tidak terlalu masalah.
Bagi saya, lawan Shon Seung Mo adalah kesempatan bagus untuk lolos ke final. Apalagi setelah saya tahu Taufik Hidayat juga lolos ke final. Bila bisa lawan Taufik tentu akan menarik karena Indonesia sudah dipastikan mendapat emas dan kami sama-sama hapal kekurangan dan kelebihan.
Situasi makin sulit karena kalah di semifinal tidak otomatis mendapat medali. Masih ada satu partai tersisa dan bila kembali kalah saya justru harus pulang tanpa medali. Di perebutan perunggu, saya sudah loyo seperti tak ada tenaga. Namun saya berpikir untuk coba bermain maksimal. Saya terus memaksakan diri agar bisa meraih medali perunggu karena ini adalah Olimpiade. Akhirnya saya berhasil.
Setelah meraih medali Olimpiade di usia muda, saya merasa biasa saja, tidak ada rasa bangga berlebihan. Saya juga tetap seperti biasa di kehidupan sehari-hari.
Di
Olimpiade 2004 saya sudah mulai bermain menahan sakit dan akhirnya ketika
Indonesia Open 2004 yang berlangsung akhir tahun, kaki saya benar-benar sakit ketika melawan Bao Chunlai meski saya tidak mengundurkan diri di pertandingan itu.
Awalnya ada penebalan kulit di telapak kaki saya. Lalu kulit itu coba saya tipiskan, tetapi bukan dengan alat yang tepat. Saya tipiskan pakai silet. Ternyata ketipisan dan menjadi luka.
Luka tersebut belum kering sudah saya pakai untuk latihan. Lama-lama makin terasa sakit. Buat jalan terasa sakit, '
sengkring-sengkring' gitu setiap saya melangkah. Akhirnya saya putuskan operasi yang membuat saya harus istirahat selama tiga bulan pada 2005, belum termasuk trauma dan penyembuhan.
Mulai dari situ, rasa sakit muncul, terus hilang, lalu terasa lagi. Karena jiwa dan fisik saya masih muda, saya mencoba mencari alternatif cara main. Karena telapak kaki saya sakit saat menjejak, saya pakai kekuatan di bagian tubuh lain, seperti lutut dan pinggang. Akhirnya sakit yang saya rasakan berpindah-pindah.
 Sony Dwi Kuncoro memberi beban pada bagian tubuh lain seperti lutut, paha, dan pinggang. (AFP/SAEED KHAN) |
Menurut saya lutut dan pinggang saya jadi lebih terbebani karena saya tidak ingin telapak kaki saya sakit. Begitu juga otot paha saya yang lebih menekan dan mengatur posisi telapak kaki saya saat menjejak. Karena itu sakit yang saya rasakan berpindah-pindah.
Sejak itu rasa sakit timbul-tenggelam dan ikut mempengaruhi performa saya yang jadi naik-turun. Tahun 2006 pinggang saya mulai terasa cedera.
Di masa itu penggunaan
sport science belum semaju sekarang, alat-alat yang ada juga belum selengkap sekarang.
Pada Kejuaraan Dunia 2007, saya sempat cedera sehingga dua minggu tak bisa latihan. Namun saya tetap berangkat karena jelang Kejuaraan Dunia saya merasa sudah sehat.
Di babak pertama, saya main kesulitan lawan Chetan Anand. Salah satu pengurus berkata pada saya untuk stop saja tidak usah dipaksakan bila memang sakit.
Lama-lama saya bisa beradaptasi dan lebih pintar dalam bermain dengan kondisi cedera tersebut. Saya bisa menang lawan Peter Gade dan Lee Chong Wei secara beruntun. Pengurus sampai bingung karena saya bisa menang dan masuk final padahal sakit. Di final laga lawan Lin Dan memang berat, saya memang kalah dari segi permainan.
Terus terang saya tidak menyangka bisa masuk final, karena target saya yang penting tampil. Saya juga cuma bawa pakaian sedikit karena saya juga pesimistis dan berpikir bakal kalah cepat. Ternyata saya bisa menang terus sehingga saya harus nyuci terus lantaran stok pakaian sedikit.
Hahaha..
 Dalam kondisi naik-turun, Sony Dwi Kuncoro meraih medali perak Kejuaraan Dunia 2007 tetapi kemudian gagal mendapat medali di Olimpiade Beijing 2008. (AFP/INDRANIL MUKHERJEE) |
Setahun kemudian, saya merasa terlalu percaya diri dengan kondisi tubuh saya di Olimpiade. Saya berlatih terlalu diforsir. Giliran saat bermain, saya merasa badan saya sakit semua dan mudah capek.
Itu salah satu kesalahan saya dan saya menyesal. Saya memang kalah di tangan Lee Chong Wei namun saat itu saya seolah tidak bisa memberikan perlawanan.
Harusnya saya tidak terlalu forsir tenaga saat latihan dan hanya habis-habisan di pertandingan. Namun dalam masa persiapan, saya merasa tubuh saya dalam kondisi bagus sehingga saya terus genjot latihan. Akhirnya, ketika melawan Lee Chong Wei, seolah-olah tinggal sisa ampasnya saja.
Di tahun 2008 saya sebenarnya mencatat prestasi bagus berupa hattrick super series. Kemenangan di Indonesia Open sebelum Olimpiade itu juga yang membuat saya merasa percaya diri dengan kondisi tubuh dalam persiapan menuju Olimpiade.
 Tahun 2008 Sony Dwi Kuncoro mencatat hattrick gelar super series, termasuk Indonesia Open. (AFP/BAY ISMOYO) |
Setahun berselang saya memutuskan menikah. Saya diberi izin seminggu, namun akhirnya saya nekat izin tiga minggu. Karena bagi saya tidak mungkin mengurus semua selama seminggu.
Pernikahan saya di Surabaya jadi tak mungkin bagi saya untuk datang, ijab-kabul depan penghulu, lalu pulang lagi ke Jakarta. Saya harus persiapan ini-itu sehingga saya nekat pergi selama tiga pekan.
Tiga pekan di Surabaya, saya sempat dapat ancaman tidak diberangkatkan ke Kejuaraan Dunia 2009. Saya dianggap tak punya persiapan padahal saya juga sempat latihan sendiri di Surabaya selama seminggu.
Ternyata saya dapat hasil bagus di Kejuaraan Dunia 2009. Saya mengalahkan Lee Chong Wei dan akhirnya merebut medali perunggu. Penampilan saya kemudian terasa menurun saat terjadi pergantian pelatih di PBSI. Saya tidak bisa mengikuti pola latihan Mas Agus Dwi Santoso yang menitikberatkan pada fisik, seperti lebih banyak lari, latihan di gym, hingga memakai rompi pemberat.
Prestasi saya menurun hingga peringkat saya terlempar keluar 100 besar. Sampai akhirnya Li Mao masuk ke pelatnas Cipayung.
Saya awalnya juga tidak menganggap antusias kehadiran Li Mao. Ternyata dari Li Mao saya banyak dapat metode. Setelah sempat terlempar keluar 100 besar di 2012, saya bisa naik lagi ke peringkat empat pada akhir Januari 2013.
Dari Li Mao, saya banyak belajar metode bermain yang lebih efisien, begitu juga metode latihan. Prestasi saya lebih konsisten sehingga akhirnya bisa kembali ke papan atas.
Di tahun 2013, saya mengalami cedera pergelangan kaki. Pada tahun itu juga baru saja ada pergantian pengurus. Kondisi saya yang cedera membuat saya tidak bisa bermain di beberapa turnamen awal tahun.
Di pertengahan tahun, saya mendapat ultimatum. Saya harus tampil bagus di tiga kejuaraan, namun saya hanya dikirim main di Indonesia Open dan kalah dari Lee Chong Wei.
Saat itu saya merasa memang sudah waktunya saya harus keluar. Padahal saat saya dicoret pelatnas Cipayung, saya masih ada di peringkat kedelapan. Prestasi masih bagus dan belum terlalu hancur.
 Sony Dwi Kuncoro bermain dalam generasi emas badminton yang berisi Lin Dan, Taufik Hidayat, Lee Chong Wei, dan Peter Gade. (AFP/NOAH SEELAM) |
Dalam karier saya, saya berhadapan dengan banyak pemain hebat seperti Lin Dan, Taufik Hidayat, Lee Chong Wei, dan Peter Gade. Bagi saya, Lin Dan adalah lawan yang paling berat. Lin Dan pemain yang kuat plus dia juga pintar. Dia bisa konsisten tiap poin, sulit berharap melihat Lin Dan kehilangan poin beruntun.
Bila melawan Taufik, Lee Chong Wei, dan Peter Gade, saya merasa masih bisa mengimbangi dan bisa memahami pola permainan mereka. Tidak salah bila Lin Dan dijuluki 'Super Dan'.
Saya sebenarnya tidak terlalu memperhatikan bahwa saya bermain di generasi yang penuh dengan pemain hebat. Kalau ada yang berkata seperti itu pada saya, itu berarti saya juga termasuk pemain bagus. Karena kalau tidak bagus, tidak mungkin saya bisa meraih juara di beberapa turnamen dan mendapat medali di Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.
Setelah keluar dari pelatnas, saya tampil lagi di Sirkuit Nasional. Memang ada rasa tidak enak, memang sakit, campur malu, namun saya tekankan bahwa saya ini siapa.
Saya itu belum puas bermain badminton. Saya masih penasaran dan target saya juga belum tercapai. Di badminton, target saya juga untuk mencari nafkah dan saya merasa belum mencukupi dan belum aman untuk persiapan pensiun dari badminton.
 Sony Dwi Kuncoro masih punya gairah untuk aktif di dunia badminton. (AFP/LIU JIN) |
Semua itu kembali ke diri masing-masing. Tidak ada orang hebat yang tahu-tahu langsung jadi hebat. Kalau saya masih siap dengan tujuan jadi pemain hebat tetapi kondisi sedang di bawah, saya tentu harus siap menapaki jalan yang dibutuhkan untuk kembali ke atas.
Tangga-tangga ini yang harus kembali dilewati. Kalau saya tidak mau menjalani proses ini, ya sudah lebih baik saya setop saja.
Saya ingat saya tampil di Sirnas sebagai pemenuhan permintaan sponsor. Sering saya dengar ada orang berbicara begini
'Wah turun gunung ya, tidak nyari dollar lagi, sekarang cari rupiah'.
Saya balas saja,
'Cuma cari keringat saja, Pak. Padahal cuma cari keringat saja tetapi anak-anak yang main di sini masih kalah. Padahal saya tidak pernah latihan'.
Saya bercanda, tetapi tentu sekalian membalas ucapan mereka yang pahit.
Saya bisa kembali juara di Singapore Open pada 2016, salah satu hasil bagus beserta beberapa hasil baik di turnamen lainnya.
Setelah itu saya sering kalah di babak pertama, babak kedua hingga akhirnya peringkat saya melorot jauh. Nah, di tahun 2020 ini saya sudah mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk ikut sejumlah turnamen.
Namun karena tahun Olimpiade, banyak pemain yang berburu poin, saya hanya masuk daftar
waiting list di beberapa turnamen awal tahun seperti di Malaysia. Terakhir saya coba ikut di China Masters, lalu kemudian ada corona sehingga semua turnamen terhenti.
Saya belum tahu apa yang bakal saya lakukan setelah ini karena saya juga tak tahu posisi peringkat saya nanti setelah aktif kembali. Yang penting saat ini saya coba tetap latihan saja meski tidak selalu intensif karena yang terpenting tidak berhenti total.