TESTIMONI

Sony Dwi Kuncoro: Berteman Cedera Menuju Tangga Juara

Sony Dwi Kuncoro | CNN Indonesia
Rabu, 15 Apr 2020 19:00 WIB
Sony Dwi Kuncoro sudah bersinar sejak muda, namun cedera jadi teman akrab dalam perjalanan menuju tangga juara.
Sony Dwi Kuncoro merupakan salah satu pebulutangkis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. (AFP/TENGKU BAHAR)
Jakarta, CNN Indonesia -- Saya lahir dari keluarga yang tidak mampu. Sejak kecil bila latihan saya harus naik angkutan umum dan kemudian ditinggal orang tua bekerja. Pulang latihan saya sering ikut teman yang rumahnya searah dengan saya.

Saya tak punya raket baru. Raket yang saya pakai adalah bekas ayah saya dulu main. Begitu pun dengan tas raket dan sepatu. Namun karena klub saya kecil, Wima, sudah punya sponsor, jadi sejak saya kelas 4 SD, penampilan saya kelihatan mewah.

Perjalanan saya sebagai pebulutangkis cilik terbilang lancar. Juara terus di berbagai kompetisi dan ingin ditarik sejumlah klub besar. Namun semua saya tolak karena orang tua takut saya takut malah tidak berhasil bila jauh dari rumah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya terus juara di tiap kelompok umur sampai akhirnya saya dipanggil untuk mengikuti persiapan Kejuaraan Asia Junior 2000. Saya harus mengikuti pemusatan latihan di Pelatnas Cipayung selama tiga bulan.

Saya masuk final dan kalah dari Lin Dan. Di Kejuaraan Dunia Junior, saya masuk final tetapi kalah dari Bao Chunlai. Sedangkan Lin Dan dan Lee Chong Wei hanya sampai semifinal.

Saya bersama Lin Dan, Lee Chong Wei, dan Bao Chunlai bisa dibilang satu angkatan meskipun saya lebih muda 1-2 tahun dari mereka.

Sony Dwi Kuncoro: Berteman Cedera Menuju Tangga JuaraSony Dwi Kuncoro sudah mencuri perhatian sejak usia muda. (AFP/BAY ISMOYO)
Setahun kemudian, pada 2001 saya resmi masuk pelatnas. Karena orang tua tidak punya ongkos ke pelatnas, jadi saya tidak diantar ke pelatnas seperti atlet lain. Hanya pelatih yang mengantar saya ke Cipayung. Orang tua baru bisa ke Cipayung pada 2002, setelah saya punya rezeki untuk memberangkatkan mereka ke Jakarta.

Awal di pelatnas, saya turun bermain di sirkuit nasional, namun di kategori dewasa. Saya runner up di Jakarta Open lalu juara di Tegal dan Surabaya. Kemudian saya disetop ikut sirkuit nasional dan mulai diberangkatkan ke turnamen internasional.

Zaman saya dulu pemain yang baru masuk pelatnas diuji dulu untuk ikut turnamen di nasional. Sebagai pemain muda yang sudah mulai menempa latihan, perkembangan kami diuji di sirkuit nasional yang juga sering diikuti mantan pemain nasional.

Bila sudah juara menunjukkan perkembangan mental baru dikirim ke internasional. Jadi tidak ada rasa santai karena sudah menjadi pemain pelatnas. Saat itu ada beberapa pemain yang tidak dikirim ke turnamen internasional karena mereka belum bisa juara di nasional. Pemikiran yang ada saat itu adalah seperti ini: "Bagaimana mau dikirim ke internasional kalau di nasional saja belum juara?"

Saya mulai aktif ikut di turnamen internasional sampai akhirnya ikut Kejuaraan Asia 2002. Saya berhadapan dengan Xia Xuanze di semifinal. Semua orang sudah tutup mata menyangka saya bakal kalah.

Sementara saya tidak berpikir banyak karena yang penting bagi saya sudah lolos semifinal. Ternyata saya menang dan lolos ke final.

Di final saya berjumpa Taufik Hidayat dan menang. Lalu saya dengar pernyataan-pernyataan, paling menang dikasih atau Sony kebetulan menang. Saya biarkan saja orang berbicara apa saat itu.

Sony Dwi Kuncoro: Berteman Cedera Menuju Tangga JuaraSony Dwi Kuncoro berhasil jadi juara Asia 2002 saat masih berusia 18 tahun. (AFP/TOSHIFUMI KITAMURA)
Berhadapan dengan Taufik, saya tidak berpikir rasa takut dan minder di final itu. Saya memang menghormati dia dengan tidak melakukan selebrasi di hadapan dia dan memilih ke samping atau mengiyakan permintaan pergantian shuttlecock dan tidak melakukan hal-hal yang tidak sopan.

Setahun kemudian saya juara SEA Games, kembali juara Asia, dan akhirnya masuk proyeksi untuk tampil di Olimpiade Athena 2004. Sebelum Olimpiade, saya di peringkat ketujuh sedangkan Taufik ada di posisi ke-15.

Walaupun saya jadi pebulutangkis dengan peringkat lebih baik, saya tak punya beban menuju Olimpiade. Mungkin karena saya masih muda dan beban yang ada saat itu tidak seperti zaman sekarang. Sekarang media sosial sudah aktif, tidak seperti zaman dulu.

Zaman dulu paling hanya terima banyak surat yang diambil di pos satpam. Saya dulu banyak dapat surat, mungkin Jonatan Christie kalau ada di zaman dulu juga kalah pamor sama saya, hahaha..

Intinya pemberitaan yang ada saat itu tidak seperti sekarang. Pemberitaan hanya ada di koran dan tentu itu pun bila kita membaca. Sedangkan saat ini pemberitaan dan segala hal bisa dibaca pemain saat mereka mengakses medsos. Begitu perbedaannya menurut saya.

Di Olimpiade, lawan pertama saya adalah Roslin Hashim dan laga tersebut terbilang berat. Di babak kedua, saya rasa pertandingan tidak terlalu berat.

Lalu saya lihat, 'Waduh bisa lawan Bao Chunlai di perempat final'. Saat itu saya lebih sering kalah dari Bao Chunlai di beberapa turnamen sebelum Olimpiade.

Eh, ternyata Bao Chunlai kalah. Saya pikir, 'wah rezeki bagi saya'. Lawan Park Tae Sang saya lebih yakin dan akhirnya menang.

Masuk semifinal, saya yakin bisa menang lawan Shon Seung Mo karena saya lebih sering menang lawan dia.

Dalam kedudukan 9-9 di set penentuan yang saat itu masih menggunakan poin 15, kami sama-sama tegang. Saya berusaha semangat karena saya lihat ini adalah kesempatan bagus. Namun namanya sebuah permainan, mungkin di momen penentuan itu dia bisa lebih membaca permainan sedangkan serangan saya tidak bisa tembus dan sesuai harapan.

Sony Dwi Kuncoro: Berteman Cedera Menuju Tangga JuaraSony Dwi Kuncoro meraih medali perunggu di Olimpiade 2004. (AFP/ROSLAN RAHMAN)
Saya yang tidak pernah nangis pada momen kekalahan itu saya ingin menangis dan akhirnya keluar air mata. Saya sedih. Mungkin bila saya kalah sama Bao Chunlai atau Lin Dan yang saat itu sulit saya kalahkan hal itu tidak terlalu masalah.

Bagi saya, lawan Shon Seung Mo adalah kesempatan bagus untuk lolos ke final. Apalagi setelah saya tahu Taufik Hidayat juga lolos ke final. Bila bisa lawan Taufik tentu akan menarik karena Indonesia sudah dipastikan mendapat emas dan kami sama-sama hapal kekurangan dan kelebihan.

Situasi makin sulit karena kalah di semifinal tidak otomatis mendapat medali. Masih ada satu partai tersisa dan bila kembali kalah saya justru harus pulang tanpa medali. Di perebutan perunggu, saya sudah loyo seperti tak ada tenaga. Namun saya berpikir untuk coba bermain maksimal. Saya terus memaksakan diri agar bisa meraih medali perunggu karena ini adalah Olimpiade. Akhirnya saya berhasil.

Setelah meraih medali Olimpiade di usia muda, saya merasa biasa saja, tidak ada rasa bangga berlebihan. Saya juga tetap seperti biasa di kehidupan sehari-hari.

Berkenalan dengan Cedera

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER