LIPUTAN KHUSUS

Antara MMA dan Tinju: Mana Lebih Mematikan?

Nova Arifianto | CNN Indonesia
Kamis, 28 Jan 2021 09:50 WIB
Bekas darah memang acap kali terlihat di lantai octagon atau ring MMA, tapi bukan berarti olahraga baku hantam itu lebih berbahaya dari tinju.
Tenaga medis memeriksa petarung yang mengalami kekalahan di dalam octagon. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Dalam sebuah pertarungan profesional, unsur brutal yang menjadi ciri khas MMA juga diimbangi dengan pengecekan kesehatan atlet yang cukup ketat.

Seorang fighter bakal menjalani tes sebelum dan setelah duel: mulai dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, pemeriksaan tulang tengkorak, dan pemeriksaan mata.

Bahkan di beberapa ajang ada pula yang menggunakan tes dehidrasi untuk mengetahui apakah seorang petarung memiliki cairan yang cukup dalam tubuhnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau dalam kondisi tidak baik, ya tidak bisa bertarung," kata Zuli yang memiliki pengalaman salah satu anak asuhnya gagal debut di ONE Championship lantaran tidak mampu melewati dehydration test setelah berupaya keras menurunkan berat badan.

"Protokolnya, waktu audisi ada tes kesehatan. Ketika mau tanding ada tesnya lagi. Darah, urine, EKG, prostat, hepatitis. Ketika malam besoknya mau bertanding, itu cek lagi kesehatan. Kemudian habis tarung mereka diperiksa lagi," beber dr. Junaidi.

Jadwal tanding para petarung pun akan tergantung hasil pemeriksaan. Bisa saja seorang atlet istirahat cukup lama lantaran mengalami cedera yang serius, tapi ada pula yang langsung menjalani duel dalam waktu singkat seandainya tidak ada luka berat. Tak heran seorang fighter dituntut tidak meremehkan prosedur pengecekan kesehatan. 

"Jangan sampai ketika bertanding ada cedera bawaan. Ini kan merugikan semua termasuk penyelenggaranya juga," kata salah satu petarung senior yang pernah meraih gelar juara di tingkat nasional, Suwardi.

Dua petarung dalam pertandingan MMA One Pride. Jakarta, Sabtu, 15 Februari 2020. CNNIndonesia/Adhi Wicaksono.Atlet MMA dituntut disiplin menjaga kesehatan dan latihan demi keselamatan ketika bertarung. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Menurut pengalaman dokter, para atlet yang telah bertarung di kancah profesional sudah mulai menyadari pentingnya periksa kesehatan secara mandiri. 

"Kalau disimpulkan, karena ini profesional maka juri, wasit, tenaga kesehatan dibayar lebih memadai. Kemudian protokol kesehatan, mereka [penyelenggara] bayar lab segala macam. Karena mereka dapat hadiah besar, si petarung juga tidak segan-segan memeriksa kesehatan sendiri," terang dr. Junaidi.

Seandainya seorang petarung mengalami luka berat dan harus mendapat perawatan, ada beberapa penyelenggara atau promotor yang bersedia bertanggung jawab lebih lanjut.

"Kita punya kerja sama dengan BPJS dan punya tim medis khusus. Kita bekerja sama dengan rumah sakit rujukan, ambulans, dan ketika mereka patah [cedera] akan ditanggung di awal, untuk perawatan lanjutan mungkin mereka bisa sendiri. Tapi kami tak lepas tangan," kata Max Metino mantan atlet MMA yang saat ini menjabat Ketua Dewan Juri PT Merah Putih Berkibar promotor One Pride.

GIF Banner Promo Testimoni

Tak cuma level nasional saja, pertarungan di tingkat bawah juga menggandeng kerja sama dengan pihak asuransi atau BPJS. 

"Dokter tiga atau empat, ambulans, tabung oksigen, kita cover asuransi BPJS. Pada saat pendaftaran kita mau terima fighter kalau mereka punya asuransi untuk meminimalisir risiko. Namanya benturan kan pasti terjadi. Walaupun ada dokter tapi kan enggak tahu juga [risiko yang akan terjadi]," kata pemilik sasana Siam, Yoko Arthi Budiman, soal protokol kesehatan ketika rutin mengadakan acara pertarungan MMA sebelum pandemi Covid-19.

"Sekarang ada BPJS, jadi ada jaminan untuk fighter kalau sampai kenapa-kenapa. Kalau mereka (petarung) tidak punya, ya kami siapkan, kami buatkan asuransi," ucap Yoko.

Olahraga MMA yang kini naik kelas dan menarik perhatian publik juga memicu para penyelenggara untuk lebih berhati-hati dan tidak sembrono mengadakan acara. 

"MMA ini bukan underground lagi. Artinya sudah diawasi pemerintah bahwa ini adalah olahraga yang keras. Tidak bisa sembarang orang bertanding dan mengadakan pertarungan," ujar Fransino Tirta, praktisi MMA yang sudah bertarung sejak awal 2000-an dan kini aktif melatih.

"Kalau ada yang mau menggelar MMA, orang ini harus dapat lisensi dulu."  

(har)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER