Jakarta, CNN Indonesia --
Tak pernah hilang dari ingatan seorang Herry Iman Pierngadi, pelatih kepala ganda putra pelatnas PBSI tentang memori tragedi 1998.
Awalnya Herry IP, yang sudah menjadi pelatih tim pratama di pelatnas PBSI kala itu, mengaku sempat diajak ikut ke Hong Kong untuk Piala Thomas 1998 oleh Christian Hadinata sebagai Kepala Pelatih untuk mendampingi ganda putra di Piala Thomas. Namun karena satu dan lain hal, Herry IP memutuskan untuk tetap berada di Jakarta.
Herry IP masih ingat kerusuhan besar-besaran di Jakarta pada 1998 itu terjadi di hari Rabu. Saat itu, ia bersama supirnya memutuskan pergi ke daerah Cianjur, Jawa Barat, untuk melihat burung yang menjadi hobinya sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu itu libur saya ke Puncak berdua sama supir. Waktu mau pergi, ibu saya sudah bilang, jangan pergi ke mana-mana karena sejak Senin itu sudah mulai ribut-ribut di Jakarta. Penembakan mahasiswa di Trisakti itu terjadi hari Selasa. Dasar saya bandel, saya tetap nekat pergi," kata Herry IP dalam perbincangan bersama CNNIndonesia.com.
Kebetulan, saat itu handphone hadiah dari Sigit Budiarto/Dicky Purwosugiono yang jadi juara di turnamen Eropa hilang, sehingga ia pergi tanpa membawa alat komunikasi. Karena perasaan khawatir dengan kondisi di Jakarta, ia sempat melipir ke sebuah warung telekomunikasi (Wartel) untuk menghubungi keluarga dan memastikan kondisi baik-baik saja.
"Yang angkat telepon waktu itu bapak saya, lalu saya diomelin karena kondisi di Jakarta lagi ribet ibaratnya, saya malah pergi. Sebab waktu itu saya tinggal di daerah Semanan, Cengkareng, dan di perempatan Cengkareng itu titik pertama keributan dimulai," ucap Herry IP.
[Gambas:Video CNN]
Alhasil, Herry IP memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Sampai di Bogor, ia melihat keadaan yang tidak biasa di mana banyak mobil tentara yang berjaga-jaga ke arah Jakarta. Di Tol TMII, ia melihat banyak helikopter yang mengarah ke daerah Barat.
Ia semakin kaget ketika bertanya kepada seorang petugas penjaga pintu tol tentang kondisi yang terjadi. "Mau perang," jawab petugas tol kepada Herry IP.
Pintu tol TMII yang merupakan akses terdekat ke Cengkareng pun ditutup yang membuat ia berputar melewati Cempaka Putih ke arah Pluit dengan harapan bisa keluar ke pintu tol Rawa Bokor, tak jauh dari Bandara Soekarno Hatta.
"Masuk Pluit itu saya agak aneh kok banyak mobil tank itu masuk tol. Motor-motor juga masuk tol. Masuk di Rawa Bokor saya lihat orang naik motor ngebut bawa tv. Saya buka kaca, saya tanya sama orang di situ kenapa? Terus dia bilang 'Om putar balik saja, dari pada mobil om dibakar'. Panik tuh saya, akhirnya saya ke rumah adik ipar saya di daerah Dadap."
"Sehari kemudian saya mau pulang ke rumah tapi masih dilarang karena katanya masih kerusuhan dan mereka mengincar orang keturunan China. Saya melihat toko-toko bekas dibakar. Saya memang tidak pernah terintimidasi secara fisik, tapi kejadian itu cukup menyedihkan dan tidak mungkin saya lupa," ungkap Herry IP.
Kejadian itu juga membuat Herry IP tersentak tentang isu rasial yang masih terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta. Padahal sejak kecil ia sudah terbiasa hidup membaur tanpa mempermasalahkan perbedaan agama, suku dan ras.
Sejak umur enam tahun Herry IP yang kelahiran Pangkal Pinang, Bangka Belitung, itu sudah dibawa pindah ke Jakarta oleh kedua orang tuanya. Di Jakarta kali pertama ia tinggal di daerah Grogol, Jakarta Barat. Di sana, ia bermain membaur dengan berbagai orang dari suku dan agama serta ras yang berbeda.
"Zaman dulu kita semua membaur. Saya tinggal di kampung, teman saya berasal dari berbagai macam. Kalau dibanding sekarang sama dulu, lebih membaur dulu. Kita tidak ada batasan rasis. Kami main sepak bola bareng, main kelereng semua bareng," ujarnya.
Sebelum badminton, Herry IP sempat menekuni sepak bola, namun dilarang sang ibu karena kalau main saat hujan ia pulang dalam kondisi baju kotor. Kemudian tak jauh dari rumahnya ada lapangan badminton yang sering dimainkan orang dewasa. Dari Kampung Susilo, Grogol, itu juga Herry IP memulai hobi badminton.
Sang ibu juga ikut memodali Herry IP dengan membelikannya raket badminton. Padahal, tidak ada turunan untuk menjadi seorang olahragawan dari keluarganya. Ayah Herry IP seorang karyawan swasta yang kerja di sebuah gudang, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa.
Meski isu rasial terhadap etnis Tionghoa masih sering terjadi, Herry IP tak pernah merasa kesal. Sebab ia tak pernah merasa dibedakan atau diintimidasi oleh lingkungan yang mayoritas penduduk muslim.
"Bapak saya bergaulnya hebat, dengan siapapun. Kalau bapak saya bilang, nenek moyang saya itu orang Indonesia asli di Bangka Belitung. Kondisi mulai nyaman dan agak cair setelah Gusdur jadi presiden. Sekarang bergaul lebih nyaman," sebut Herry IP.
 Kepala Pelatih ganda putra PBSI, Herry Iman Pierngadi berkumpul bersama keluarga besar saat perayaan Imlek 2018. (Arsip Pribadi) |
Sikap saling menghargai perbedaan itu juga terus diterapkannya sebagai Kepala Pelatih ganda putra Pelatnas PBSI saat ini. Ia tak pernah memilih pemain berkualitas untuk masuk pelatnas berdasarkan suku, ras apalagi agama.
"Kebetulan saya sebagai pelatih, saya punya prinsip kalau milih pemain masuk pelatnas itu saya lihat skill nomor satu. Saya tidak mau lihat itu orang mana, turunan mana, orang apa. Saya tidak pernah membedakan ras. Saya tidak mau, pantang buat saya. Salah satu saya bisa sampai sekarang karena saya tidak mengkotak-kotakkan itu," ujar Herry IP.
Memasuki Tahun Baru Imlek 2021, Herry IP yang dijuluki 'Coach Naga Api' di lingkungan penggemar badminton itu berharap isu rasial tak lagi diangkat sebagai masalah. Menurutnya, masyarakat Indonesia saat ini sudah bisa hidup berdampingan secara damai di atas segala perbedaan.
Ia juga berhadap kondisi Indonesia bisa lebih baik dari sebelumnya. Terutama bisa bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19.
"Saat lahir, kita tidak bisa memilih takdir mau jadi ras apa, agama apa. Semua harus bisa berbaur supaya Indonesia bisa lebih baik lagi," ucap Herry IP.
Dalam perayaan imlek, jika biasanya sanak saudara dan keluarga besar berkumpul, tahun ini Herry IP memutuskan hanya untuk keluarga inti karena takut bahaya paparan Covid-19.
Makanan khas imlek seperti ayam hong, terpang dan berbagai jenis ikan laut tersedia sebagai santapan makan malam keluarga.
"Kumpul di rumah ibu itu lalu makan malam bareng itu tradisi dari jaman dulu. Besok paginya kumpul lagi, ngobrol dan pai-pai. Saya berharap tahun depan lebih baik lagi, yang paling utama doanya semoga cepat hilang Covid-19, sehat dulu itu nomor satu dan selalu dilindungi Tuhan," harapnya.