Seperti kebanyakan atlet dunia, Hedaya Malak juga bercita-cita meraih medali emas Olimpiade. Setelah mengikuti dua edisi Olimpiade, 2012 dan 2016, pencapaian terbaik Hedaya hanya medali perunggu di Olimpiade Rio de Janeiro.
Hedaya memiliki kesempatan lain di Olimpiade Tokyo 2020 guna mengukir sejarah baru sebagai atlet Mesir pertama yang meraih medali emas Olimpiade di taekwondo, atau atlet berhijab pertama yang mendapat emas di multicabang empat tahunan tersebut.
Akan tetapi, perjalanan Hedaya menuju Olimpiade ketiganya itu harus dilalui dengan cukup berat. Salah satunya pandemi Covid-19 yang membuat Hedaya kesulitan menemukan lawan tanding dan juga turnamen guna menambah poin menuju Olimpiade Tokyo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini tidak mudah. Kami tidak bertanding atau bertarung satu sama lain," kata Hedaya dikutip dari Ahram.
"Saya pikir kita akan berjauhan satu sama lain, dan semua orang akan memakai sarung tangan mereka, menggunakan masker dan segalanya, jadi semua orang terlindungi," ucap Hedaya menambahkan.
Hedaya yang debut di Olimpiade London 2012 saat berusia 19 mengaku terkejut ketika mendengar Olimpiade Tokyo yang semestinya digelar tahun lalu ditunda satu tahun karena Covid-19.
Ketika tempat latihan, kafe, masjid, dan sekolah ditutup karena pandemi Covid-19, Hedaya mengubah apartemen kakaknya menjadi hall taekwondo. Sejak itu, dia berlatih bersama kakaknya.
Di ruangan tersebut Hedaya menggelar matras, barbel, training bag berbentuk boneka yang dilengkapi dengan rompi pelindung. Seluruh perlengkapan tersebut disediakan oleh pihak sponsor.
"Saya mencoba membayangkan ini adalah aula taekwondo saya, dan di sinilah saya berlatih serta menemukan atlet dan teman saya, rekan satu tim. Seolah-olah mereka sedang berlatih dengan saya," tutur Hedaya.
Dengan begitu Hedaya bisa tetap berlatih selama wabah melanda dan memiliki kondisi yang bagus menuju Olimpiade Tokyo. Menurut Hedaya, situasi di masa pandemi ini memengaruhi mental atlet.
"Yang paling terdampak adalah mental, karena Anda harus menantang dan mendorong diri sendiri untuk terus berlatih setiap hari. Hal yang tidak mudah saat Anda di rumah dan semua orang menonton TV atau belajar, atau bermain-main," ucap Hedaya yang tampil di level senior pada usia 14.
Bagi Hedaya, berlatih keras di masa pandemi ini menjadi sesuatu yang menantang. Tetapi dia juga menyadari, tidak hanya dirinya yang mengalami situasi sulit tersebut, tetapi juga semua orang di seluruh dunia dalam situasi yang sama.
Meski demikian, dia menganggap penundaan itu sebagai salah satu keuntungan, yaitu bisa memulihkan cedera dan mempelajari cara bertarung atlet lain lewat video.
Pada Februari lalu, Hedaya juga sempat cedera pergelangan kaki selama kualifikasi Olimpiade zona Afrika di Rabat, Maroko. Cedera itu hampir membuat Hedaya kehilangan tempat di Olimpiade Tokyo.
Beruntung, taekwondoin kelahiran Kairo itu bisa berhasil lolos ke Olimpiade 2020 setelah mengalahkan Everlyne Alucheolod dari Kenya dan melangkah ke final.
Persiapan Hedaya ke Olimpiade Tokyo juga sempat terhambat setelah dirinya terinfeksi Covid-19. Akan tetapi Hedaya bisa kembali bangkit dengan meraih dua medali perunggu di kejuaraan Turki Terbuka di Istanbul pada Februari lalu.
Kerja keras dan mental yang kuat disebut Hedaya sebagai kunci agar memiliki persiapan yang bagus jelang Olimpiade. Hedaya yakin, jika seseorang memberikan 100 persen dalam setiap kerja kerasnya, maka Allah akan selalu memberikan hasil terbaik atas usaha tersebut.
"Saya mengalami banyak cedera, dan saya bisa saja memutuskan berhenti. Saya operasi tangan, saya cedera pergelangan kaki tepat sebelum kualifikasi, pergelangan kaki saya terkilir, dan saya tidak bisa berjalan," tutur Hedaya yang mulai berlatih taekwondo di usia 7.
"Itu sulit. Tetapi Anda harus memiliki mentalitas, bahwa apa pun yang terjadi, saya akan mencapai tujuan saya, insyaAllah," kata Hedaya melanjutkan.
Bagi Hedaya, persoalan mental itu tidak mudah, apalagi jika tumbuh di daerah yang belum banyak melahirkan juara dari kaum wanita.
"Dalam budaya kami, kami selalu melihat bahwa ada orang lain yang lebih baik dari kami," ucap atlet 28 tahun tersebut.
"Mungkin saya belajar dari ibu saya. Beliau dulu selalu bilang, 'apa pun yang kamu mau, kamu bisa lakukan, kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau'," tutur Hedaya menambahkan.
Tantangan lain yang dihadapi Hedaya menuju Olimpiade Tokyo adalah saat berganti kelas dari -57kg dengan meningkat ke -67kg.
Perubahan kelas itu memberikan awal yang tidak mudah bagi Hedaya, tetapi pada akhirnya dia bisa terbiasa dengan hal tersebut. Di kelas -67kg itu Hedaya sempat meraih perunggu pada kejuaraan di Roma, 2019.
Menemukan pelatih yang cocok juga menjadi salah satu masalah bagi peraih medali emas di African Games 2011 itu. Bahkan, Hedaya harus mendapat pelatih hingga ke Serbia dan menghabiskan 18 bulan berlatih di negara tersebut bersama pelatih terkenal, Dragan Jovic.
"Saya tidak bisa menyangkal, ini adalah tantangan nyata. Saya harus tinggal di luar negeri, jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman saya, hanya untuk mendapatkan tempat latihan yang bagus dan atlet yang bagus untuk berlatih," ujar Hedaya.
Di tengah keterbatasan persiapan dan targetnya meraih emas di Olimpiade Tokyo, Hedaya mencoba menjalaninya dengan kepala dingin.
"Apabila saya berpikir, 'jika bukan podium itu bisa jadi bencana', maka saya akan berada dalam bencana. Saya tidak boleh berpikir seperti itu," kata Hedaya.
"Saya akan melakukan yang terbaik dalam latihan, memberikan 100 persen dan semuanya, sehingga sehari sebelum kompetisi saya bisa mengatakan, saya memberikan semua yang saya miliki. Untuk hasil, itu ada di tangan Allah. Saya harus yakin, kesuksesan akan datang, jika tidak terjadi, setidaknya saya telah melakukan yang terbaik," ucap Hedaya menuturkan.
(sry/har)