Jakarta, CNN Indonesia --
Hedaya Malak Wahba mencatatkan sejarah di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dengan menjadi wanita Mesir pertama yang meraih medali Olimpiade di cabang taekwondo.
Prestasi itu dibukukan Hedaya Malak dengan meraih medali perunggu di kelas 57 kilogram putri usai mengalahkan taekwondoin Belgia Raheleh Asemani lewat poin sudden death.
Selain sebagai wanita Mesir pertama, Hedaya Malak juga jadi wanita Arab pertama yang mendapatkan medali Olimpiade di Taekwondo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pencapaian Hedaya Malak di Brasil mengundang decak kagum banyak orang. Usai prestasi gemilangnya tersebut, wanita kelahiran Kairo itu banyak mendapatkan sanjungan, terutama karena dia mengenakan hijab.
"Banyak orang mengirimi saya pesan setelah Olimpiade dengan mengatakan kepada saya, 'Kamu adalah idola saya, karena kamu mengenakan jilbab'," ujar Hedaya dikutip dari The National.
"Saya tidak melepas hijab untuk taekwondo. Saya merasa banyak orang yang terinspirasi," ucap Hedaya menambahkan.
Dalam beberapa momen tertentu, hijab masih terlihat asing di dunia olahraga. Karena itu juga Hedaya kerap menerima pertanyaan soal jilbab yang digunakannya saat berlatih maupun bertarung di taekwondo.
"Di luar negeri, orang-orang selalu bertanya kepada saya, 'Wah, bagaimana kamu berlatih dalam cuaca panas sambil mengenakan ini? Kami mengenakan lengan pendek dan celana pendek, dan Anda mengenakan lengan panjang serta syal, dan Anda tidak merasa panas atau apa pun'," tutur Hedaya.
"Mereka selalu menanyakan hal-hal seperti itu kepada saya, tetapi sekarang mereka sudah terbiasa," kata Hedaya melanjutkan.
Salah satu alasan atlet berhijab masih dipandang sebagai fenomena yang tidak umum di dunia internasional adalah, karena beberapa cabang olahraga menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melarang mereka berkompetisi.
[Gambas:Instagram]
Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) baru mengizinkan hijab digunakan di level internasional pada 2011 setelah digugat Kulsoom Abdullah pada 2010.
FIFA, badan sepak bola dunia, membatalkan larangan penggunaan hijab pada 2014. Sementara dari bola basket, FIBA mencabut larangan penutup kepada pada 2017 melalui upaya Bilqis Abdul Qaadir.
Sebagian besar pelarangan hijab itu karena jilbab dianggap tidak aman dan bisa membahayakan keselamatan atlet. Meskipun, dalam keseharian atlet tidak merasa terganggu atau terancam dalam menggunakan jilbab tersebut.
Faktor lainnya adalah pandangan sosial terhadap hijab itu sendiri. Dengan mengizinkan jilbab digunakan di pertandingan resmi maka dianggap menonjolkan simbol dari golongan atau agama tertentu, yang akhirnya bisa menimbulkan kecemburuan bagi agama lain untuk bisa diakomodasi di cabang olahraga tersebut.
Dalam laporan Sport360, Hedaya Malak menegaskan hijab bukanlah penghalang kariernya di dunia olahraga. Karena itu dengan medali perunggu Olimpiade, Hedaya ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa pandangan tersebut salah.
"Saya pikir yang paling penting adalah kami juga mengubah persepsi tentang hijab. Kami bisa sukses, kami bisa ahli dalam olahraga kami, kami bisa menjadi apa pun yang kami inginkan," kata atlet 28 tahun tersebut.
Lebih dari sekadar mengubah pandangan hijab terhadap prestasi di olahraga, Hedaya Malak juga ingin merombak pandangan bahwa Islam itu berbahaya dan teroris.
"Saya mengubah gagasan yang mungkin dimiliki orang tentang Muslim, bahwa kami adalah 'teroris' atau apa pun yang mereka sebut kami," ucap Hedaya.
"Orang-orang bertanya kepada saya pertanyaan seperti 'apakah Anda memakai jilbab ini di rumah?' Dan saya menjelaskan kepada mereka bahwa kami memiliki kehidupan yang normal," ujar Hedaya menambahkan.
Seperti kebanyakan atlet dunia, Hedaya Malak juga bercita-cita meraih medali emas Olimpiade. Setelah mengikuti dua edisi Olimpiade, 2012 dan 2016, pencapaian terbaik Hedaya hanya medali perunggu di Olimpiade Rio de Janeiro.
Hedaya memiliki kesempatan lain di Olimpiade Tokyo 2020 guna mengukir sejarah baru sebagai atlet Mesir pertama yang meraih medali emas Olimpiade di taekwondo, atau atlet berhijab pertama yang mendapat emas di multicabang empat tahunan tersebut.
Akan tetapi, perjalanan Hedaya menuju Olimpiade ketiganya itu harus dilalui dengan cukup berat. Salah satunya pandemi Covid-19 yang membuat Hedaya kesulitan menemukan lawan tanding dan juga turnamen guna menambah poin menuju Olimpiade Tokyo.
"Ini tidak mudah. Kami tidak bertanding atau bertarung satu sama lain," kata Hedaya dikutip dari Ahram.
"Saya pikir kita akan berjauhan satu sama lain, dan semua orang akan memakai sarung tangan mereka, menggunakan masker dan segalanya, jadi semua orang terlindungi," ucap Hedaya menambahkan.
Hedaya yang debut di Olimpiade London 2012 saat berusia 19 mengaku terkejut ketika mendengar Olimpiade Tokyo yang semestinya digelar tahun lalu ditunda satu tahun karena Covid-19.
Ketika tempat latihan, kafe, masjid, dan sekolah ditutup karena pandemi Covid-19, Hedaya mengubah apartemen kakaknya menjadi hall taekwondo. Sejak itu, dia berlatih bersama kakaknya.
Di ruangan tersebut Hedaya menggelar matras, barbel, training bag berbentuk boneka yang dilengkapi dengan rompi pelindung. Seluruh perlengkapan tersebut disediakan oleh pihak sponsor.
"Saya mencoba membayangkan ini adalah aula taekwondo saya, dan di sinilah saya berlatih serta menemukan atlet dan teman saya, rekan satu tim. Seolah-olah mereka sedang berlatih dengan saya," tutur Hedaya.
Dengan begitu Hedaya bisa tetap berlatih selama wabah melanda dan memiliki kondisi yang bagus menuju Olimpiade Tokyo. Menurut Hedaya, situasi di masa pandemi ini memengaruhi mental atlet.
"Yang paling terdampak adalah mental, karena Anda harus menantang dan mendorong diri sendiri untuk terus berlatih setiap hari. Hal yang tidak mudah saat Anda di rumah dan semua orang menonton TV atau belajar, atau bermain-main," ucap Hedaya yang tampil di level senior pada usia 14.
[Gambas:Instagram]
Bagi Hedaya, berlatih keras di masa pandemi ini menjadi sesuatu yang menantang. Tetapi dia juga menyadari, tidak hanya dirinya yang mengalami situasi sulit tersebut, tetapi juga semua orang di seluruh dunia dalam situasi yang sama.
Meski demikian, dia menganggap penundaan itu sebagai salah satu keuntungan, yaitu bisa memulihkan cedera dan mempelajari cara bertarung atlet lain lewat video.
Pada Februari lalu, Hedaya juga sempat cedera pergelangan kaki selama kualifikasi Olimpiade zona Afrika di Rabat, Maroko. Cedera itu hampir membuat Hedaya kehilangan tempat di Olimpiade Tokyo.
Beruntung, taekwondoin kelahiran Kairo itu bisa berhasil lolos ke Olimpiade 2020 setelah mengalahkan Everlyne Alucheolod dari Kenya dan melangkah ke final.
Persiapan Hedaya ke Olimpiade Tokyo juga sempat terhambat setelah dirinya terinfeksi Covid-19. Akan tetapi Hedaya bisa kembali bangkit dengan meraih dua medali perunggu di kejuaraan Turki Terbuka di Istanbul pada Februari lalu.
[Gambas:Video CNN]
Kerja keras dan mental yang kuat disebut Hedaya sebagai kunci agar memiliki persiapan yang bagus jelang Olimpiade. Hedaya yakin, jika seseorang memberikan 100 persen dalam setiap kerja kerasnya, maka Allah akan selalu memberikan hasil terbaik atas usaha tersebut.
"Saya mengalami banyak cedera, dan saya bisa saja memutuskan berhenti. Saya operasi tangan, saya cedera pergelangan kaki tepat sebelum kualifikasi, pergelangan kaki saya terkilir, dan saya tidak bisa berjalan," tutur Hedaya yang mulai berlatih taekwondo di usia 7.
"Itu sulit. Tetapi Anda harus memiliki mentalitas, bahwa apa pun yang terjadi, saya akan mencapai tujuan saya, insyaAllah," kata Hedaya melanjutkan.
Bagi Hedaya, persoalan mental itu tidak mudah, apalagi jika tumbuh di daerah yang belum banyak melahirkan juara dari kaum wanita.
"Dalam budaya kami, kami selalu melihat bahwa ada orang lain yang lebih baik dari kami," ucap atlet 28 tahun tersebut.
"Mungkin saya belajar dari ibu saya. Beliau dulu selalu bilang, 'apa pun yang kamu mau, kamu bisa lakukan, kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau'," tutur Hedaya menambahkan.
Tantangan lain yang dihadapi Hedaya menuju Olimpiade Tokyo adalah saat berganti kelas dari -57kg dengan meningkat ke -67kg.
Perubahan kelas itu memberikan awal yang tidak mudah bagi Hedaya, tetapi pada akhirnya dia bisa terbiasa dengan hal tersebut. Di kelas -67kg itu Hedaya sempat meraih perunggu pada kejuaraan di Roma, 2019.
Menemukan pelatih yang cocok juga menjadi salah satu masalah bagi peraih medali emas di African Games 2011 itu. Bahkan, Hedaya harus mendapat pelatih hingga ke Serbia dan menghabiskan 18 bulan berlatih di negara tersebut bersama pelatih terkenal, Dragan Jovic.
"Saya tidak bisa menyangkal, ini adalah tantangan nyata. Saya harus tinggal di luar negeri, jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman saya, hanya untuk mendapatkan tempat latihan yang bagus dan atlet yang bagus untuk berlatih," ujar Hedaya.
Di tengah keterbatasan persiapan dan targetnya meraih emas di Olimpiade Tokyo, Hedaya mencoba menjalaninya dengan kepala dingin.
"Apabila saya berpikir, 'jika bukan podium itu bisa jadi bencana', maka saya akan berada dalam bencana. Saya tidak boleh berpikir seperti itu," kata Hedaya.
"Saya akan melakukan yang terbaik dalam latihan, memberikan 100 persen dan semuanya, sehingga sehari sebelum kompetisi saya bisa mengatakan, saya memberikan semua yang saya miliki. Untuk hasil, itu ada di tangan Allah. Saya harus yakin, kesuksesan akan datang, jika tidak terjadi, setidaknya saya telah melakukan yang terbaik," ucap Hedaya menuturkan.