Saya lahir di Medan, Sumatera Utara pada 1990. Nama asli saya Yap Kim Lung, namun itu nama Chinese yang tidak bisa saya pakai.
Kalau saya pakai, saat itu saya tidak bisa sekolah di zaman saya waktu kecil. Saya sekolah di negeri, jadi harus menggunakan nama Indonesia.
Zaman saya kecil, diskriminasi masih tinggi. Entah apakah saya bisa pakai nama saya itu bila sekolah di swasta. Namun yang pasti di sekolah negeri tidak boleh. Sedangkan saya harus sekolah di SD Negeri karena keterbatasan ekonomi orang tua. Saya pun langsung masuk SD tanpa TK karena keterbatasan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah di Medan, saya pindah ke Cileungsi saat kelas 4 SD. Saya lalu melanjutkan ke SMP 1 Cileungsi. Sejak SD saya selalu ingin mencari teman. Saya ingin mencari teman yang pintar dan baik, tetapi mereka tak mau berteman dengan saya. Saya kurang diterima di lingkungan itu.
Akhirnya saya bergaul di lingkungan yang bisa dibilang nakal. Hidup di terminal dan pasar serta minum minuman keras. Itu semata karena saya ingin punya teman dan saat itu dunia itu yang bisa menerima perbedaan saya.
Keinginan untuk punya teman terus berlanjut. Saya ikut olahraga demi bisa punya banyak teman. Namun saat masuk sekolah sepak bola, saya malah jadi bahan perundungan dan perlakuan kasar dari teman-teman saya.
![]() |
Walau saya hidup di pasar dan terminal, bukan berarti saya suka kekerasan. Saya tidak suka kekerasan. Melihat orang berkelahi saja saya takut. Diajak berkelahi pun tentu takut.
Saya masuk SMPN 1 Cileungsi karena melihat sosok Pak Anang Suryana. Dia guru terkenal dan merupakan wasit sepak bola yang punya lisensi tingkat Asia.
Dia sering lari dan hal itu yang membuat saya berminat untuk ikut lari dan mendalami dunia olahraga. Saya lebih dulu menekuni lari 100 meter, tetapi saya sudah kalah di level kecamatan. Soal seleksi tim sepak bola dan basket, saya juga tidak terpilih.
Dalam situasi itu, saat kelas 3 SMP pada 2004, orang tua saya berkata untuk tidak lagi melanjutkan sekolah karena sudah tidak ada biaya. Kalau saya mau lanjut sekolah, saya harus cari biaya sendiri.
Saya ceritakan hal itu pada Pak Anang. Lalu saya diminta ikut olahraga jalan cepat. Tujuannya agar saya bisa masuk PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar).
"Apa itu PPLP pak?" kata saya waktu itu.
Dia bilang di PPLP itu saat saya bisa sekolah gratis, latihan gratis, dan makan gratis. Saya pun bersedia dan punya tekad untuk bisa masuk PPLP.
Beliau tunjukkan caranya dan saya coba lakukan. Ternyata saya langsung disuruh latihan dan ikut kejuaraan junior di Bandung. Saya langsung bisa meraih peringkat ketiga di kejuaraan se-Jawa Barat itu.
Untuk bisa masuk PPLP, saya harus lebih dulu berprestasi di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas). Demi bisa berprestasi di Popnas, saya harus latihan keras.
Namun latihan diselenggarakan di Cibinong, sedangkan rumah saya di Cileungsi. Butuh ongkos Rp7.000 untuk pergi-pulang sedangkan uang jajan saya hanya Rp2.000 sehari.
Alhasil saya harus kerja keras selepas pulang sekolah. Saya kumpulkan kardus, barang bekas, besi lalu naik sepeda ke Bantar Gebang. Karena saat itu 1kg masih dihargai Rp250, setidaknya saya harus bisa dapat 20kg sehari untuk ongkos ke Cibinong.
Saya punya kenangan yang selalu saya ingat soal latihan di Cibinong. Pada suatu hari, saya sangat haus dan posisi sudah pukul tujuh malam.
Biasanya sebelum pulang saya minum air keran yang ada di kamar mandi stadion untuk menghilangkan haus. Tetapi hari itu, stadion sudah tutup dan saya pun tidak bisa minum sebelum pulang.
Ketika saya sedang menunggu angkot di minimarket, saya sangat haus dan membayangkan alangkah segarnya bila bisa makan es krim saat itu. Es krim yang saya bayangkan ada di kotak berwarna merah, kuning, dan hijau.
Tetapi tidak mungkin saya beli es krim itu karena uang saya hanya tersisa untuk ongkos pulang. Di saat saya sedang membayangkan, ada seorang anak yang masuk ke minimarket itu dengan ibunya dan keluar dengan membeli es krim yang saya inginkan.
Saya hanya bisa melihat anak itu, tetapi ternyata baru satu kali mencicip es krim, anak itu membuang es krimnya ke tanah dan jatuh di dekat kubangan air. Lalu anak itu berteriak meminta es krim baru kepada ibunya.
Dalam hati saya berpikir,'Kok dia bisa membuang es krim yang saya inginkan?'. Saya terus perhatikan es krim itu sampai ketika angkot saya datang, saya memilih untuk tidak naik.
Ketika tidak ada orang yang melihat, saya pungut es krim itu. Saya bersihkan bagian yang kotor dengan baju saya lalu saya makan es krim itu sambil menitikkan air mata.
Saat itu saya bertekad untuk bisa membeli es krim ini dengan keringat sendiri. Saya bertekad tidak akan lagi memungut makanan seperti ini.
![]() |
Sebulan kemudian dengan segala rintangan, termasuk sempat kecelakaan motor sebelum berangkat, saya bisa jadi juara pertama di kelompok umur di bawah 18.
Keinginan jadi atlet juga tak semuanya mulus karena orang tua saya khawatir lantaran saya punya asma dan hernia. Jadi sejak saat latihan di Cibinong saya sering dimarahi dan dipukul karena mulai serius berolahraga.
Saya sudah tak ambil pusing dengan hal itu. Jadi kalau dipukul ya sudah, lalu saya mandi makan dan tidur. Ketika masuk PPLP pun, orang tua sempat tidak merestui dan saya kabur dari rumah. Orang tua baru tahu sebulan kemudian.
Seiring tahun berjalan, saya akhirnya bisa menembus masuk pelatnas pada 2007. Saya mulai menekuni jalan cepat di 2004 lalu berhasil masuk pelatnas di 2007.
Meski terbilang cepat dalam proses, bagi saya, olahraga itu bukan soal berbakat. Olahraga itu soal kerja keras dan konsistensi. Saya selalu berpikir bila saya kalah hari ini, saya akan menjadikan hal itu sebagai tambahan motivasi untuk lebih semangat berlatih. Saya akan berlatih ketika orang-orang tidak berlatih.
Merangkum perjalanan saya, saya memang belum sepenuhnya puas karena sebenarnya saya ingin tampil di Olimpiade. Namun setidaknya saya bisa senang melihat olahraga jalan cepat makin dikenal orang meski masih jauh dari nomor olahraga favorit.
Sejak 2019, saya juga memberanikan diri untuk menempatkan nama Hendro Yap dalam nama saya. Saya tidak perlu menutup diri soal ini. Bila bangsa ini menerima saya, mereka juga tentu bisa menerima bahwa saya ini etnis Tionghoa dan jadi salah satu bagian Indonesia.
Saya lahir di Indonesia. Orang tua dan kakek nenek saya juga sudah lahir di Indonesia.
Saya memang keturunan Tionghoa, tetapi bukan berarti saya bukan orang Indonesia. Tolong jangan membedakan orang dari etnis. Saya orang Indonesia dan membela serta membawa nama negara ini sejak 2007 hingga saat ini.