Mundari Karya: Penjaga Maradona, Pemandu Pemain Muda
Sepak bola adalah sebuah cita-cita yang kemudian mempertemukan saya dengan Diego Maradona yang legendaris. Lebih dari itu, saya juga bisa mengharumkan nama Indonesia.
Pertemuan dengan Maradona, sang bintang Argentina, terjadi pada Piala Dunia U-20 1979. Sebelum bercerita soal duel melawan salah satu bintang top dunia itu izinkan saya cerita proses menuju ke sana.
Semua bermula dari masa kecil tinggal di area sekitar Pasar Minggu dan Ragunan, Jakarta. Kalau bicara tahun 1970-an ada klub terkenal yang bermarkas di sana, namanya Jayakarta. Saya melihat pemain-pemain nasional pada masa itu di situ, seperti Iswadi Idris, Andi Lala, dan Anjas Asmara.
Dari situ saya makin tertarik dengan sepak bola. Dari sekolah saya memang sudah suka sepak bola dan kemudian keluarga juga punya kegemaran yang sama. Dari kecil saya sudah anak bola banget lah. Sampai kemudian seorang pemandu bakat dari PSK Prina merekrut saya.
Prina adalah salah satu klub yang berada di bawah naungan Persija. Di Prina saya ditempa jadi pemain sepak bola, saya dilatih seperti di sebuah training centre di daerah Cijantung.
Dari Prina kemudian saya terpilih masuk tim Persija junior dan bermain di Piala Soeratin yang merupakan wadah kompetisi pemain muda. Berkat keberhasilan membawa Persija ke peringkat ketiga, saya mendapat tiket undangan seleksi Timnas Indonesia untuk Piala Asia U-19 1978.
Saya hanya satu dari puluhan pemain yang ikut seleksi. Sampai kemudian saya terpilih membela Timnas Indonesia U-19. Pada waktu itu target PSSI enggak main-main, lolos ke Piala Dunia U-20 1979. Artinya kita harus tembus final.
Pertandingan pertama di Bangladesh waktu itu Timnas Indonesia kalah dari Irak. Kekalahan enggak buat pemain jadi lemah. Namanya masih muda waktu itu, ya main saja. Di pertandingan kedua menang atas Malaysia dan pertandingan terakhir menang lawan Yordania sehingga Timnas Indonesia ke perempat final.
Di perempat final lawan Korea Utara, kita kalah. Dari situ mimpi ke Piala Dunia selesai. Pemain-pemain pulang. Mayoritas pemain-pemain di tim U-19 ini ditarik ke klub-klub Galatama (Liga sepak bola utama), kebetulan pada waktu itu Galatama baru mulai. Saya pun dapat tawaran masuk tim Jaka Utama di Lampung berkat Jacob Sihasale yang memantau bakat saya.
Saat persiapan tampil di Galatama sedang menggebu-gebu, kemudian Indonesia dapat kepastian tampil di Piala Dunia U-20 1979. Karena ada negara-negara yang mengundurkan diri, Indonesia dapat jatah mewakili Asia.
Saya kembali ikut seleksi. Sama seperti sebelum Piala Asia U-19 1978, banyak pemain yang dipanggil. Tetapi kali ini pelatihnya berbeda. Seorang legenda sepak bola Indonesia, Sucipto Suntoro, dipilih menjadi pelatih menggantikan Djamiat Dalhar yang wafat pada 1979.
Setelah seleksi saya kembali terpilih. Ada banyak perubahan pemain kalau tidak salah waktu itu dibanding tim U-19 1978. Beberapa nama, bahkan kapten di U-19 di Piala Asia, Nurdin dari PSMS, tidak masuk tim untuk Piala Dunia.
Berbeda dengan Piala Asia U-19 1978, PSSI tidak membebankan target apa-apa di Piala Dunia U-20 1979 karena kita satu grup dengan negara-negara peserta Piala Dunia di level senior yakni Argentina, Yugoslavia, dan Polandia.
Khusus Argentina, nama negara satu ini sudah didengung-dengungkan media. Apalagi kalau bukan karena Maradona. Ketika Argentina juara Piala Dunia 1978 memang belum ada Maradona, tetapi pemain itu sudah sering masuk berita waktu itu.
Pemain-pemain dan pelatih tahu Maradona dari media, seperti koran Bola. Selain itu saya juga sempat lihat ada siaran langsung atau video Maradona lawan Belanda di sebuah pertandingan.
Menghadapi Argentina yang diperkuat Maradona, pelatih lantas memberi tugas khusus kepada saya untuk mengawal sang bintang. Agar benar-benar siap menjaga Maradona, saya pun mendapat porsi latihan berbeda dari pemain lain. Seperti latihan fisik yang lebih dan ada instruksi-instruksi lain.
Timnas Indonesia U-20 ini benar-benar dipersiapkan matang dan kita bermain cukup meyakinkan juga di pertandingan uji coba lawan klub-klub Galatama. Kita bisa menang lawan pemain-pemain senior. Ada rasa percaya diri yang muncul sebelum berangkat ke Jepang, tuan rumah Piala Dunia U-20 1979.
Sampai di Jepang, kami satu hotel dengan tiga negara segrup. Maradona sudah terlihat sejak di hotel. Pemain yang satu ini memang beda. Dia lebih sering jalan bersama pelatih Cesar Luis Menotti, yang juga merupakan pelatih Timnas Argentina senior yang setahun sebelumnya jadi juara dunia.
Maradona pemain yang baik di luar lapangan, dia mau diajak foto bersama. Banyak teman-teman saya yang foto bareng, tapi saya malah enggak sempat.
Hari pertandingan pun tiba, Indonesia dijadwalkan melawan Argentina di pertandingan pertama. Sebelum pertandingan mulai, pelatih mendapat titipan pesan dari ofisial pertandingan agar saya hati-hati menjaga Maradona.
"Jangan sampai kena kartu kuning," kata Mas Cipto waktu itu.
Ini sepertinya merupakan instruksi khusus karena Maradona merupakan rising star, sementara di sisi lain Indonesia waktu itu tidak ketahuan level permainannya.
Peluit tanda pertandingan dimulai dibunyikan, Maradona langsung unjuk kualitas. Dia dribel bola sendirian sampai kotak penalti terus nembak, kena tiang. Saya pikir memang beda ini pemain.
Tommy Latuperisa yang dipasang jadi bek kiri tanpa tedeng aling-aling menjatuhkan Maradona di menit awal dan langsung dapat kartu kuning. Tommy kemudian diganti dengan Didik Darmadi. Saya langsung ingat nasihat pelatih agar jangan terlalu keras dengan Maradona.
Argentina bikin lima gol di babak pertama. Maradona cetak dua gol, tiga lainnya dibuat Ramon Diaz. Saat turun minum saya jelas kena semprot pelatih karena dianggap tidak becus menjaga Maradona.
Mendapat sorotan pelatih, saya pun lantas menjawab kesulitan menjaga pemain-pemain Argentina karena muka mereka mirip.
"Kan bisa lo lihat, ada nomornya!" kata Mas Cipto waktu itu, hahaha.
Jujur saja saya memang susah membedakan Maradona dengan pemain lain karena saya melihat mereka itu mirip. Maradona, Ramon Diaz, itu sepertinya muka-mukanya persis.
Selain itu saya menilai waktu itu kegagalan saya menjaga Maradona adalah karena posisi saya sebagai center back, sementara Maradona bermain lebih ke belakang. Waktu itu penyerang utamanya Ramon Diaz dan Maradona ada di belakangnya.
Setelah Argentina unggul 5-0 di babak pertama, mereka tidak bikin gol lagi di babak kedua. Sepertinya mereka sudah enggak nafsu lagi, hahaha. Tetapi secara permainan memang Timnas Indonesia U-20 bermain lebih baik menurut saya dibanding babak pertama yang benar-benar enggak karuan.
Pada pertandingan selanjutnya, melawan Polandia dan Yugoslavia, kita kalah lagi. Kalau lawan dua negara ini persoalannya lebih ke postur menurut saya. Mereka bikin gol dari bola-bola atas.
Jujur pada waktu itu memang ada perbedaan antara Indonesia dan tim-tim lain, nah pada tahun depan di Piala Dunia U-20 2023 saya penasaran mau lihat level Indonesia itu masih berbeda jauh atau sudah lebih baik.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>