Karier saya di Timnas Indonesia berlanjut hingga ke level senior. Saya juga sempat masuk Timnas Indonesia yang dikirim ke Brasil setelah pulang dari Piala Dunia U-20 1979.
Pada tahun itu saya bisa bermain bersama pemain-pemain top Indonesia seperti Ronny Pattinasarani dan Simson Rumapassal, wah itu rasanya bangga sekali bisa satu tim sama bang Ronny dan bang Simson. Benar-benar ini mimpi yang jadi kenyataan bisa bermain sama pemain yang dulu cuma saya lihat dari jauh.
Pada era 1980-an, ada dua tim yang dipersiapkan yakni timnas Utama dan Pratama. Kira-kira tahun 1984 saya mengalami cedera dan harus degradasi ke tim pratama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain pernah tampil membela Timnas Indonesia, perjalanan saya di level klub juga alhamdulillah terbilang baik. Ketika membela Jaka Utama di Lampung memang saya tidak bisa mempersembahkan gelar Galatama, namun saya waktu itu bisa membawa Lampung juara PON.
Selepas dari Jaka Utama, saya membela Yanita Utama di Bogor. Di situ saya juara Galatama dua kali. Dari Yanita Utama ke Kramayudha Tiga Berlian di Palembang. Di sana selain juara Galatama dua kali juga bisa tampil di Liga Champions Asia. Buat saya ini adalah salah satu prestasi membanggakan karena Kramayudha bisa menembus peringkat tiga, sampai sekarang belum ada lagi klub Indonesia yang bisa lagi mengulang prestasi itu.
Lebih dari itu yang spesial adalah kami bisa menembus peringkat tiga dan pada saat itu pertandingan berlangsung di Arab Saudi. Pada waktu itu ada anggapan Indonesia dipandang remeh di Arab Saudi karena banyak tenaga kerja kita di sana yang berada di sektor pekerjaan kasar. Nah dengan kemenangan di Arab itu, saya merasa bisa memberi kebanggaan tersendiri buat saudara-saudara kita di sana.
Lanjut dari Kramayudha saya pindah ke Pelita Jaya dan saya meraih tiga gelar juara Galatama. Saya hampir 14 tahun di Pelita Jaya, sebagai pemain dan asisten pelatih bahkan sempat menjadi pelatih juga di sana. Pada Liga Indonesia pertama tahun 1994/1995, saya tiba-tiba jadi pelatih Pelita Jaya karena pelatih Romano Matte ditunjuk menjadi pelatih Timnas Indonesia ke SEA Games.
Keputusan saya menjadi pelatih memang sudah ada di kepala sejak saya jadi pemain. Saya pernah mendapat tawaran untuk bekerja di perusahaan-perusahaan pada tahun 1980-an karena pada tahun itu ada semacam liga sepak bola bagi perusahaan atau bank dan sebagainya. Banyak pemain sepak bola yang kemudian pindah dan berkarier di perusahaan, sementara saya berpikir sepak bola adalah hidup saya jadi tidak berpikir masuk perusahaan.
Bertahun-tahun di Pelita Jaya saya merasakan menjadi asisten dari pelatih-pelatih yang juga sosok terkenal seperti Mario Kempes dan Henk Wullems. Setelah belasan tahun di Pelita Jaya, saya pindah ke Barito Putera. Semula keinginan saya hengkang mendapat penolakan dari pak Nirwan Bakrie selaku pemilik karena sudah dianggap sebagai keluarga, namun karena beliau punya kedekatan juga dengan pemilik Barito akhirnya saya diizinkan pindah pada tahun 2000-an.
Jalan saya sebagai pelatih berlanjut dari Barito ke Persija. Pada awal 2000-an itu saya juga banyak terlibat melatih Timnas Indonesia menjadi asisten pelatih Benny Dolo dan Ivan Kolev. Saya juga dapat kesempatan melatih Timnas Indonesia di Pra Olimpiade. Dari situ saya bergabung ke Petrokimia Putra.
Selepas dari Petrokimia saya jadi pelatih Timnas Indonesia U-16. Waktu itu kalau enggak salah tahun 2006 kita bisa tembus ke Piala Asia. Saya juga sempat pegang U-14. Kemudian saya juga sempat melatih Persih Tembilahan, Persisam, terus ke Barito Putera lagi.
Saya memang sering jadi pelatih di level usia muda, mungkin karena enggak banyak yang tertarik hahaha. Tapi itu mungkin juga tidak lepas dari filosofi saya yang selalu ingin memunculkan pemain-pemain muda.
Jadi pelatih usia muda banyak tantangannya, waktu saya jadi pelatih usia muda di tahun 2000-an itu kompetisinya enggak ada. Dibanding waktu saya masih jadi pemain muda, kondisinya berbeda sekali. Sehingga saya waktu itu hanya bisa menyeleksi pemain dari Sekolah Sepak Bola (SSB) yang ada di kota-kota besar. Baru setelah itu ada Indra Sjafri yang mulai 'blusukan'. Karena pengalaman itu juga saya sekarang mau ikut menata kompetisi di level kelompok umur.
Selain soal kompetisi yang sempat mati suri, ada banyak hal lain yang menjadi seni dalam melatih atau memandu bakat pemain muda. Latar belakang pemain, gaya hidup, sampai asupan makanan itu benar-benar memengaruhi.
Seperti kita tahu sepak bola di Indonesia ini yang main kebanyakan dari level status ekonomi sosial menengah atau bahkan bawah, ini begitu memengaruhi pemain. Pertama dari asupan makanan, contoh kecil mereka waktu kecil tidak mengenal susu. Setelah itu ketika mereka bisa mencari uang di usia muda, langsung ada perubahan gaya hidup yang signifikan seperti kenal media sosial, pergaulan dengan teman sebaya, hingga kehidupan malam. Kadang ada pemain muda yang terbentur masalah itu.
Belum lagi ketika kita sudah menemukan bakat menjanjikan, tetapi pelatih di tim utama tidak mau memberi menit bermain kepada pemain muda itu. Pemain-pemain muda ini membutuhkan pengakuan ketika ada di tim utama.
Saya yang aktif dalam pembinaan usia muda itu benar-benar mengemban tanggung jawab besar ketika merekrut pemain muda dari daerah. Maka dari itu saya hanya benar-benar berani menggaet pemain ke klub jika benar-benar punya potensi. Saya enggak berani kalau ada pemain titipan, karena risikonya besar sekali.
Pemain bola itu profesi yang unik, di masa sekolah kita enggak bisa full belajar 100 persen karena juga harus berlatih. Oleh karena itu jika fokus jadi pemain sepak bola, bisa dibilang konsentrasi sekolah bisa terpecah. Jika seseorang yang semula fokus di sepak bola tetapi ternyata dia tidak bisa benar-benar jadi pemain, saya khawatir mereka jadi masalah di lingkungan sekitar.
Beberapa pemain yang saya 'temukan' bakatnya di usia muda adalah Muhammad Ilham yang pernah bermain di Timnas Indonesia pada tahun 2000-an. Setelah itu ada Makan Konate dan Rohit Chand yang juga saya pantau di awal-awal sebelum mereka masuk kompetisi Liga 1. Kalau untuk pemain sekarang ada Asnawi Mangkualam, Syahrian Abimanyu, Luthfi Kamal Baharsyah, M Riyandi, David Maulana, dan Arkhan Fikri.
Akhir kata, saya berharap perjalanan karier saya di sepak bola dari tahun 1970-an sebagai pemain sampai sekarang menjadi instruktur pelatih bisa membuahkan hasil membanggakan bagi Indonesia di masa depan.
(nva/har)