Produsen Mobil Listrik Indonesia Didorong Beralih Pakai Baterai Nikel

CNN Indonesia
Rabu, 06 Agu 2025 18:30 WIB
Wamen BUMN mengungkap pihaknya mendorong kebijakan baru agar produsen EV di dalam negeri beralih menggunakan baterai nikel ketimbang lithium.
Wamen BUMN mengungkap pihaknya mendorong kebijakan baru agar produsen EV di dalam negeri beralih menggunakan baterai nikel ketimbang lithium. (Suzuki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mendorong kebijakan khusus yang membuat produsen kendaraan listrik (EV) di dalam negeri beralih dari baterai berbasis lithium ke nikel. Langkah ini dinilai strategis mengingat potensi besar Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia.

"Pelan-pelan kita juga mendorong regulasi untuk yang pabrik-pabrik EV Indonesia sekarang, yang produsen mobilnya supaya shifting juga dari lithium base ke nickel base," ujar Kartika usai menghadiri acara International Battery Summit 2025 di Jakarta, Selasa (5/8), dikutip dari Antara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah BUMN, termasuk melalui kerja sama dengan CATL dan Huayou, telah masuk dalam rantai industri baterai EV dan sedang memperluas investasi di sektor midstream atau industri antara. Pemerintah juga berharap dukungan kementerian lain agar bisa memberikan insentif tambahan untuk mempercepat peralihan ini.

Menurut Kartika, kebutuhan baterai EV secara global diperkirakan mencapai 8.800 GWh hingga 2040. Dalam skala ini, Indonesia dinilai punya peluang besar mengambil peran dengan memperkuat rantai pasok melalui pengamanan bahan baku, efisiensi distribusi, serta kolaborasi strategis lintas sektor.

Dorongan ini juga sejalan dengan langkah Presiden Prabowo yang meresmikan proyek ekosistem industri baterai kendaraan listrik terintegrasi di Karawang, akhir Juni 2025. Proyek ini merupakan hasil kerja sama PT Aneka Tambang (Antam), Indonesia Battery Corporation (IBC), serta konsorsium CATL, Brunp dan Lygend (CBL).

Dikembangkan dari hulu ke hilir, proyek ini mencakup enam subproyek di dua lokasi: lima di Halmahera Timur dan satu di kawasan Artha Industrial Hills (AIH), Karawang. Nilai total investasi mencapai US$5,9 miliar dengan kapasitas lahan lebih dari 3.000 hektare, serta potensi menyerap hingga 8.000 tenaga kerja.

Selain fokus pada skala industri dan teknologi, proyek ini juga dirancang dengan memperhatikan aspek keberlanjutan. Energi yang digunakan mengombinasikan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU 2x150 MW), pembangkit gas (PLTG 80 MW), tenaga panas limbah (30 MW) dan tenaga surya hingga 172 MWp.

Langkah ini mempertegas ambisi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok baterai EV dunia. Namun, mengapa pemerintah begitu mendorong penggunaan baterai berbasis nikel, bukan lithium seperti yang banyak digunakan selama ini?

Baterai nikel

Baterai tipe NMC (nickel manganese cobalt) dikenal memiliki kepadatan energi tinggi sehingga dapat menyimpan lebih banyak daya dibandingkan baterai LFP (Lithium Ferro Phosphate).

Kepadatan energi NMC bisa mencapai sekitar 220 Wh/kg, sedangkan LFP sekitar 120 Wh/kg. Di atas kertas kendaraan listrik menggunakan NMC bisa melaju lebih jauh serta ukurannya dapat lebih ringkas.

Selain soal itu, nikel tersedia melimpah di Indonesia sehingga bisa menguntungkan dari sisi biaya serta rantai pasok lokal.

Perbedaan LFP dan nikel

Meski sama-sama digunakan di kendaraan listrik, baterai LFP dan NMC atau NCA (Nickel Cobalt Aluminum) memiliki karakteristik berbeda, berikut rinciannya:

1. Kepadatan energi

Baterai nikel unggul soal kepadatan energi. Artinya, dalam ukuran dan bobot yang sama, baterai ini bisa menyimpan lebih banyak daya listrik dibanding LFP.

Hal ini membuat kendaraan dengan baterai nikel mampu menempuh jarak lebih jauh dalam sekali pengisian.

Sementara LFP memiliki kepadatan energi lebih rendah, sehingga jarak tempuhnya cenderung lebih pendek. Itulah sebabnya LFP lebih cocok digunakan untuk mobil listrik harian atau bersegmen entry level.

2. Umur pakai

LFP dikenal memiliki siklus pengisian lebih panjang. Dalam jangka panjang, baterai ini umumnya lebih tahan lama dalam hal jumlah pemakaian.

3. Stabilitas termal

Salah satu keunggulan utama baterai LFP adalah kestabilannya terhadap suhu tinggi. Baterai ini lebih aman dari risiko overheat dan kebakaran, bahkan dalam situasi ekstrem.

Baterai nikel, di sisi lain, lebih sensitif terhadap panas dan memerlukan sistem pendingin yang lebih kompleks untuk menjaga keamanannya, terutama pada mobil listrik performa tinggi.

4. Biaya produksi

Baterai LFP umumnya lebih murah diproduksi karena bahan bakunya lebih mudah diperoleh dan proses produksinya lebih sederhana. Ini juga berkontribusi pada harga jual mobil listrik yang lebih kompetitif.

Sebaliknya, baterai nikel punya harga produksi lebih tinggi. Selain karena komponen seperti kobalt dan nikel lebih mahal, proses produksinya juga lebih kompleks dan padat teknologi.

5. Aplikasi kendaraan

Mobil listrik dengan baterai LFP umumnya ditemui pada model-model seperti city car dan kendaraan niaga ringan. Contohnya BYD Dolphin dan Wuling Air EV.

Sementara baterai nikel lebih banyak digunakan produsen mobil listrik kelas menengah ke atas, yang membutuhkan jangkauan lebih jauh dan performa tinggi. Beberapa contohnya termasuk Hyundai Ioniq 5 dan Toyota Innova Zenix Hybrid.

(job/fea)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER