Jokowi Perlu Tegaskan Penolakan Pembangunan Kompleks DPR

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Sabtu, 22 Agu 2015 13:35 WIB
Penolakan pembangunan kompleks DPR perlu ditegaskan Jokowi secara verbal dan tertulis sebagai kepala negara, bukan hanya sikap.
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan), Ketua DPR Setya Novanto (belakang) dan Ketua DPD Irman Gusman (kiri) meninggalkan ruang Sidang Tahunan MPR Tahun 2015 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 14 Agustus 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sikap Presiden Joko Widodo yang meminta agar proyek penataan kawasan parlemen dikaji ulang, dinilai Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) belum menunjukan sikap penolakan yang tegas.

Manajer Advokasi FITRA, Apung Widadi mengatakan pemerintah harus menolak secara tegas anggaran proyek penataan kawasan parlemen masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.

"Jokowi hanya melakukan penolakan secara verbal, secara formal dan tertulis belum," kata Apung di Sekretariat Nasional FITRA, Jakarta Selatan, Jumat (21/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penolakan secara formal yang dimaksudkan adalah ada bukti tertulis yang disampaikan presiden terkait hal ini. Apung juga melihat presiden harusnya bisa menjadikan pidato kenegaraan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Jumat (14/8) lalu mengenai anggaran, dapat dijadikan sebagai dasar penolakan. Ia menilai Jokowi saat itu mendorong penghematan dan efisiensi anggaran.

Salah satu butir pidato yang disampaikan Jokowi kala itu adalah mengarahkan pada semua Kementerian/Lembaga untuk menyusun perencanaan program pembangunan dan anggaran yang lebih baik dan efektif dengan berbasis kinerja.

Selain itu, Apung membandingkan sikap Jokowi saat ini dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebut lebih tegas menolak pembangunan gedung baru DPR yang sempat menjadi wacana pada tahun 2010.

Diketahui, SBY pernah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2011 yang diterbitkan pada 15 Maret 2011, berkaitan dengan rencana pembangunan gedung DPR baru yang memakan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun.

Isi Inpres tersebut adalah SBY saat itu menginstruksikan keppada jajaran keneterian atau lembaga negara agar melakukan penghematan secara konkret, salah satunya melakukan pembatasan pembangunan gedung-gedung kantor, rumah dinas, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

SBY menyebutkan dalam rapat kabinet terbatas pada tahun 2011 yang lalu bahwa, jika tidak memenuhi kepatutan, rencana pembangunan gedung dan fasilitas dapat ditunda atau bahkan dibatalkan.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo tengah mengkaji tujuh mega proyek pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut mencapai angka Rp 1,6 triliun tersebut. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Pramono menjelaskan, masalah terakhir adalah ketika Presiden belum mau membubuhkan tandatangannya pada batu prasasti di DPR. Alih-alih, sang Kepala Negara justru memberikan arahan kepada menteri yang berkaitan dengan pembangunan fasilitas Gedung DPR untuk melakukan kajian. Menurut Presiden, bagaimanapun dalam kondisi seperti ini ruang anggaran negara tidak terlalu fleksibel untuk itu.

"Jadi posisi terakhir oleh Presiden adalah minta dikaji kembali dan beliau minta dilaporkan segera. Dengan demikian, secara resmi itu yang menjadi sikap resmi Presiden sampai hari ini," ujar politisi yang akrab disapa Pram itu di Gedung III Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (20/8). (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER