Data Pemilih Bisa Picu Konflik dalam Pilkada

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Senin, 24 Agu 2015 07:23 WIB
KPU sebagai penyelenggara pemilu dinilai sebagai sasaran empuk untuk menjadi korban tudingan baik dari peserta pemilu atau pasangan calon maupun dari pemilih.
Ketua Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat Husni Kamil Manik saat mengikuti Rapat dengar pendapat antara KPU dan Bawaslu dengan Komisi II DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 9 Juli 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menilai konflik berpotensi muncul saat masa pemungutan dan penghitungan suara dalam ajang pemilihan kepala daerah serentak. Tudingan pemicu konflik antara lain tak sesuainya data pemilih dan pencurian suara.

Jumlah data pemilih berpotensi berbeda dengan jumlah surat suara yang terkumpul usai Pemilu digelar. Bisa jadi berlebihan sehingga terdapat penggelembungan suara, bisa jadi berkurang.

Alhasil, KPU sebagai penyelenggara pemilu dinilai sebagai sasaran empuk untuk menjadi korban tudingan baik dari peserta pemilu atau pasangan calon maupun dari pemilih. (Baca juga: KPU Tetapkan Pasangan Calon di Pilkada Hari ini)

"Untuk mengantisipasi, kita buat sistem Sistem Data Pemilih. Soal sistem penghitungan, tetap menggunakan sistem informasi penghitungan suara lewat scanning formulir C1," ujar Arief dalam diskusi bertajuk 'Memetakan Potensi Konflik Pilkada' di  Jakarta, kemarin.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arief menegaskan, justru sistem penghitungan menggunakan formulir tersebut dalam beberapa kasus digunakan sebagai dasar penghitungan perolehan suara baik oleh lembaga swadaya masyarakat atau pihak pasangan calon.

Sementara itu, Kepala Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sonny Harry B Hamdani menjelaskan fenomena ketidaksinkronan data pemilih mencuat pada pemilihan umum 2014.  

"Data dari 2009 dan 2014 tidak masuk akal. Ada kabupaten yang jumlah penduduknya tumbuh 50 persen dalam lima tahun. Artinya setiap tahun tumbuh 10 persen," katanya. Padahal, menurut Sonny, pada umumnya pertumbuhan penduduk paling tinggi sebanyak 5 perseb saban tahunnya dan mayoritas terjadi di negara-negara Afrika. (Baca: KPU: Potensi Konflik Muncul Saat Penetapan Calon dan Kampanye)

Catatan lain, terdapat jeda pertambahan 3 juta pemilih dari masa Pemilihan Legislatif pada April tahun lalu hingga Pemilihan Presiden pada Juli 2014. Alasannya, ada orang yang berulang tahun ke-17 dan masuk dalam daftar pemilih.

"Kalau dilihat, mereka adalah yang lahir tahun 1997. Dalam tahun segitu, tidak sampai angka kelahiran 3 juta dalam setahun," ucapnya.

Faktor lain, yakni meningkatnya jumlah orang yang menikah. Padahal, mereka yang menikah rata-rata tercatat sebanyak 600 ribu. "Bukan hanya sekedar data sudah diverifikasi atau tidak tapi apakah data valid? Ini berpotensi memicu konflik," ucapnya.

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Sonny menharapkan pemerintah dan KPU bekerja sama untuk menyelaraskan data pemilih. Alasannya, agar konflik bisa diminimalisir dan KPU memiliki data yang akurat.

(obs)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER