Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Kehormatan Dewan DPR memutarkan rekaman pembicaraan yang diduga terjadi antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Rekaman diperdengarkan Rabu petang (2/12), pada sidang pemeriksaan MKD terhadap Menteri ESDM Sudirman Said selaku pelapor kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya Novanto terkait pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam lobi perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Berikut transkrip rekaman tersebut yang telah beredar luas di masyarakat.
MS: Maroef Sjamsoeddin
SN: Setya Novanto
MR: Muhammad Riza Chalid
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MS: Assalamu’alaikum, Pak.
SN dan MR: Widiiiihh.
SN: Gak keluar, Pak?
MS: Enggak Pak, ada tahllilan.
SN: Gak ke Solo?
MR: Besok?
MS: Ke Solo kan lusa.
SN: Kan acaranya 11, Kamis ya.
MR: Bukan 12, kata Lucas. Pak Luhut pesen musti ketemu dia.
SN: Yang bayar duluan.
MR: Gua duluan ya.
MS: Wah ramai.
MR: Loe mau ngikut pesawat gua gak?
SN: Pak Luhutnya kan.
MR: Gua sebentar, gua salaman, gua ketemu Pak Luhut, gua kabur ke airport. Habis mau ngapain lagi lama-lama. Yang penting buat kita nongol, salaman, ketemu Pak Luhut, udah.
MS: Airport sama kota kan deket.
MR: Iya.
MS: Cuma macetnya Solo itu.
MR: Kalau gak naik itu, bisa jam tiga hari. Kalau mau. Tapi kira-kira kan Bapak sudah dapat Garuda. Freeport nyupport? (untuk pernikahan anak Jokowi)
MS: Nggak ada. Nggak ada kita.
MR: Maklumlah Presidennya, sudah banyak. (tertawa)
MS: Tidak mungkin juga, terbatas kali. Bikinnya kan di Solo. Kalau seperti Pak SBY dulu bikinnya di Istana kan besar-besaran. Kapasitasnya juga besar.
MR: Ini cuma 2.000, 3.000.
MS: Itu yang diundang. Belum keluarga. Kapasitas terbatas.
SN: Saya ditanyain wartawan di kita, Pak. Itu kan dibatasi oleh Menteri PAN hanya 400. Presiden sudah 2.000-3.000. Ya nggak ada masalah, namanya masyarakat pengin ketemu presiden.
MS: Menteri PAN kan kadang masih ecek-ecek. Dia pikir, entar gua ngawinin gua sudah pensiun. Ya kan, anaknya Menteri PAN kan masih kecil-kecil. Bayangin aja 400.
MR: Suka-suka dia, Pak.
MS: Susah Pak, budaya orang Indonesia kan ndak bisa begitu Pak. Bagi orang barat 400 sudah besar banget.
MR: Pak Syaf waktu ngawinin anaknya, banyak, pokoknya gua gak peduli. Pesta gua yang bikin.
SN: Syaf siapa?
MR: Syafruddin.
SN: Ooo.
MR: Banyak yang datang.
MS: Mana mungkin itu, Pak.
MR: Tapi jangan saya, katanya gitu. Ada aja alasannya.
MS: Susah Pak, budaya kita budaya kekeluargaan.
SN: Nanti saya Desember. Eh membengkak.
MR: 9.000 lebih. Yang bikin acaranya caranya gitu. Jadi caranya undangan yang kanan untuk besan saja, yang kiri kita. Jadi bukan saya yang undang tapi besan saya. Selesai.
SN: Saya itu Pak, sudah ketemu Presiden, waktu sampai ada lima pimpinan negara lainnya. Ada Ketua MA, Ketua KY, Ketua MK. Saya bilang Pak, Bapak ke Papua. Iya, kata Presiden. Padahal di sana gak ada yang jemput. DPRD-nya, bupatinya, gubernurnya. Kesel juga. Soal PSSI macam-macam.
Saya bilang, bikin itu saja Istana di Papua. Setuju Pak, kata Presiden. Masak ada Tampak Siring, Bogor. Masak di sana tidak ada. Saya sudah lihat di sana ada tanah kosong, depannya laut. Jadi secara politis ke depan pasti ke sana. Semua manggut-manggut. Lagi seneng dia.
Freeport itu saya sudah ketemu Jim Bob, dirutnya. Saya minta dipertimbangkan. Waktu itu dengan menteri itu, soal perpanjangan itu kan DPR minta untuk duduk. Sedangkan sekarang kan ada tiga hal. Kemarin Menteri ESDM menemui saya di Surabaya, khusus bicara ini. Beliau bicara tiga hal.
Satu, penerimaan minta ditingkatkan. Kedua adalah privatisasi, permintaan itu 30 juta untuk 51 persen. Mana mungkin saya bilang gitu. Ketiga adalah pembangunan smelter.
“Oh, oke Pak Ketua. Kalau berhenti itu soal penerimaan saya gak sependapat Pak Ketua. Karena kita itu paling hanya nerima 7-8 triliunlah. Tapi kita keluarkan dananya untuk di Papua, otsus itu kita 35 triliun. Ndak imbang.” Tapi kan itu sudah dibantu CSR. “Iya tapi tidak cukup, Pak Ketua. Kita besar sekali."
Kedua smelter. Kalau bangun smelter di sana lebih banyak rawa. Jadi kuatirnya waktu. Kalau lihat gitu, saya lihat di Gresik ada smelter kecil yang tinggal diterusin. Terus di sana juga ada pabrik semen juga untuk pupuk. Yang penting kan pakai dana sendiri, tidak melalui dana perbankan kita.
“Kita harus paksa supaya cepat-cepat dibangun”. Ya kalau gitu. “Habis itu baru Timika, Pak Ketua." Yang mana duluan, Pak? Dia diam saja.
“Yang ketiga soal apa Pak Ketua?" Soal penyerahan sahamnya itu kan sudah 30 persen diminta 51 persen. Itu tidak mungkin, Pak. Ini kan sudah berbagi dengan daerah yang 250 ribu hektare itu, susah juga. Kebayang juga dengan kabupaten lain. Ini tidak mungkin. Terus dia diam saja. Pak Luhut cuma bilang: kita runding.
Pas saya makan, Presiden samperin saya. “Ini kan Pak Luhut. Itu apa Pak Luhut sudah bicara belum.” Oh iya sudah Pak, Pak Luhut yang banyak memberikan pendapat. Bagusnya kalau bisa segera. Ngobrol-ngobrol itu. Oh iya sekarang Pak karena sekarang sudah waktunya.
Lalu saya pulang. Saya mau rundingan dengan sama Pak…. Jangan-jangan ini karena yang dulu ada keributan antara anak buahnya Pak Luhut, si Darmo dan si siapa itu, Sudirman Said diekspose. Ini minta diklirken. Saya akan ngomong ke Pak Luhut. Ya udah. Makanya perlu ketemu itu. Hahahahaa.
Berlanjut ke transkrip rekaman bagian II.
(agk)