RUU Pemberantasan Pidana Teroris Dianggap Tak Ideal

Gloria Safira | CNN Indonesia
Rabu, 01 Jun 2016 07:49 WIB
tiga hal dianggap masih janggal di RUU ini yaitu peradilan pidana, pemidanaan dan konteks anak sebagai pelaku dalam teroris dan perlindungan korban teroris
Ilustrasi teroris. Peniliti IJCR menilai RUU Terorisme belum komprehensif mencakup seluruhnya. (Antara Foto/Basri Marzuki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, mengkritisi tiga hal yakni peradilan pidana, pemidanaan dan konteks anak sebagai pelaku dalam teroris dan perlindungan korban teroris yang masih janggal dalam perkembangan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam peradilan pidana, Erasmus menekankan pada upaya paksa yang melebar jadi 450 hari total penahanan pra persidangan dalam penangkapan tersangka. Sebelumnya, tuntutan untuk revisi sudah dilayangkan pada kebijakan penangkapan yang dilakukan dalam 30 hari. Pasalnya, berdasarkan konteks Hak Asasi Manusia (HAM), kebijakan ini harus dipertimbangkan kembali karena memiliki landasan yang tidak jelas.

Berdasarkan KUHAP, Erasmus menambahkan penangkapan hanya dilakukan dalam waktu sehari, setelahnya penyidik menentukan levelnya dapat dijadikan tahanan atau tidak. Penangkapan pun hanya membutuhkan dua alat bukti terhadap tersangka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penangkapan adalah ketika seseorang ditangkap oleh penyidik, dalam KUHAP waktunya 1x24 jam. Penangkapan bukan waktu untuk mengarungi laut naik sampan sampai persiapan petugas, jika dalam waktu 7 hari bisa ada kemungkinan incommunicate," jelasnya di Rapat Dengar Pendapat di DPR, Jakarta Pusat, Selasa (31/5).

Berkaitan juga dengan penyadapan, Erasmus menambahkan apakah merupakan tuntutan intelijen atau penegakan hukum. Hal ini seperti dalam RUU lama yang menyatakan penyadapan harus dari izin pengadilan dan jangka waktunya satu tahun. Namun saat ini, dalam RUU tersebut tidak tertuliskan lagi izin pengadilan dan tidak disertakan jangka waktu.

Kejanggalan berikutnya yang dikritisi lebih lanjut oleh Erasmus adalah ketika anak ditangkap sebagai pelaku teroris. Erasmus menekankan anak tidak boleh dianggap sebagai pelaku tapi merupakan korban. Hal ini karena anak diyakini tidak mempunyai niat penuh untuk terlibat dalam aksi terorisme.

Kejanggalan terakhir adalah terhadap korban dalam aksi terorisme. Menurutnya, korban aksi teroris ada dua yakni korban tindak pidana dan korban kesalahan prosedur. ICJR merekomendasikan hak korban harus dimuat dalam revisi RUU Terorisme agar tidak perlu melewati proses pengadilan. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh ICJR terdapat 32 korban salah prosedur yang masuk dalam pembunuhan di luar hukum.

"Karena perlindungannya enggak ada, 32 korban salah tangkap ini tidak pernah dapatkan ganti rugi oleh negara," jelasnya.

Menanggapi hal ini, Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafi'i sebagai pimpinan rapat menyatakan perbedaan pendapat antar organisasi seperti FPI, ICMI, Aliansi Indonesia Damai, OIC Youth Indonesia dan Perwakilan Forum Rektor UIN se-Indonesia dengan Pansus akan diperhatikan lebih lanjut sebagai penguat informasi untuk revisi UU tersebut.

"Pemerintah masih abai dalam memberikan usulan RUU terhadap korban, LPSK juga sempat bingung karena tidak ada penjelasan siapa yang berwenang untuk menetapkan korban,"tandasnya. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER