Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Forum Pembela Islam (FPI) Munarman mengkritisi perkembangan revisi UU No. 15 Tahun 2003 di Rapat Dengar Pendapat bersama Pansus terorisme DPR. UU terkait terorisme ini dianggap menyasar pada agama Islam.
Dari hasil riset yang dilakukannya, Munarman menyebutkan tidak ada satupun tersangka teroris yang memiliki KTP di luar Islam. Padahal, menurutnya, jika melihat tragedi bom di Mall Alam Sutera pelaku bom adalah pemilik KTP tidak bergama Islam namun dalam proses hukumannya tersangka tidak dikenakan UU teroris dan tidak mendapat sebutan sebagai teroris.
"Kita bisa lihat dari norma yang dirumuskan kemudian mekanisme perumusan norma tersebut dan mekanisme menetapkan satu kelompok itu teroris juga fakta yang terjadi ketika di luar KTP nya Islam tapi tak disebut teroris, sehingga kita berkesimpulan yang dimaksud teroris di sini adalah Islam," ujarnya ketika diwawancara di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (31/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari data yang telah disurvei tersebut, Munarman mempertanyakan siapa yang berhak menentukan bahwa satu kelompok tertentu beridiologi radikal. Bahkan, siapa penentu mekanisme radikal yang dimiliki satu kelompok tersebut.
Menurutnya, hal ini tercantum di pasal 12B yang memiliki bias paradigma terhadap teroris di Indonesia.
Munarman menduga, paradigma soal pelaku terorisme didasarkan pada tulisan-tulisan RAND Corporation, yang selama berpuluh-puluh tahun meneliti tentang aksi teror di seluruh dunia.
Bahkan, dia menyebut pemerintah yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjiplak pemikiran-pemikiran dari RAND Corporation yang disampaikan di Kongres Amerika Serikat.
Wakil Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia, Priyo Budi Santoso justru ingin agar DPR segera mengesahkan UU terkait teroris tersebut. Namun, ia juga mengkritisi terkait kelompok radikal yang dimaksud dalam UU terorisme.
"Bagaimana orang diskusi tindakan berujung ke terorisme, sudah ada tanda-tanda, bahan-bahan semacam peledakkah atau seperti apa?" tanyanya.
Menurut Priyo, seharusnya terdapat klausul yang memungkinkan kewenangan pada aparat untuk mendeteksi hal tersebut untuk bisa digunakan secara tidak represif. Meski begitu, ICMI mengaku cenderung setuju pada revisi UU Terorisme tersebut asal dapat dipastikan tidak ada pasal multitafsir dan ada terjemahan yang definitif.
(pit)