Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri memastikan tak akan menonaktifkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dari jabatannya.
Ahok, sapaan Basuki, bebas dari ancaman dinonaktifkan setelah mendapat tuntutan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan selama dua tahun dalam kasus dugaan penodaan agama.
Tuntutan tersebut diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menggunakan pasal 156 KUHP sebagai dasarnya.
"Tidak ada rencana dinonaktikan karena digunakan pasal 156, alternatifnya. Dihukum satu tahun penjara, dua tahun percobaan sama saja tidak dipenjara. Jadi karena itu tidak perlu dinonaktifkan," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono saat dihubungi di Jakarta, Kamis (20/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dinonaktifkan itu kalau (tuntutan) lebih dari lima tahun ke atas kalau yang digunakan pasal 156a. Kalau pasal 156, makanya kita enggak berhentikan Pak Ahok. Dan Ahok masih kerja jadi Gubernur DKI sampai Oktober," imbuhnya.
Sebelumnya, salah satu anggota tim penasihat hukum Ahok, I Wayan Sudirta, menuturkan selama tak ada putusan berkekuatan hukum tetap dalam kurun waktu dua tahun, maka kliennya tak perlu dipenjara.
Penasihat hukum lainnya, Humphrey Djemat menuturkan pasal soal penodaan agama justru tak terbukti dalam tuntutan jaksa. Menurutnya, pasal yang terbukti adalah soal kebencian terhadap satu golongan tertentu.
Status Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sempat ramai dipersoalkan. Sejumlah pihak menuntut pemerintah menonaktifkan Ahok lantaran berstatus terdakwa kasus penodaan agama.
Kalangan yang menuntut penonaktifan Ahok merujuk pada Pasal 83 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang menyebut bahwa kepala daerah yang didakwa dengan hukuman lima tahun penjara harus dibebastugaskan untuk sementara.