Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) dan lima asosiasi lainnya, sepakat untuk menolak pembajakan iklan digital. Mereka mengutarakan beberapa hal terkait etika dunia periklanan dan pertanggungjawaban dari pihak operator telekomunikasi selaku oknum yang bersalah.
"Iklan bisa saja menarik perhatian konsumen, tapi saya yakin masyarakat Indonesia cukup pintar untuk menolak iklan yang tidak jelas," ketua umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Daniel Tumiwa angkat bicara.
Ketua Umum Asosiasi Digital Indonesia (IDA) Edi Taslim menuturkan, asosiasi mereka sudah mengkonfirmasi ke pihak operator telekomunikasi sejak 2013 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka sempat memberitahu sudah menghilangkan iklan-iklannya. Tapi kenyataannya, masih banyak saja," ujar Edi.
"Operator telekomunikasi sempat mengaku, sembari konsumen menunggu loading laman yang dituju, mereka menyelipkan iklannya di situ. Tidak masuk akal sekali, justru tambah makan waktu," serunya.
Iklan yang muncul pada beberapa situs resmi ada dua macam, yakni interstitial dan off-deck. Interstitial adalah iklan yang muncul sebelum laman situs tujuan terbuka dan diatasnya terdapat tulisan "skip". Sementara off-deck adalah iklan yang bertengger pada bagian atas laman situs.
"Kedua jenis pembajakan iklan sama-sama butuh tanggung jawab. Off-deck lebih serius sifatnya, karena ia benar-benar sudah masuk ke dalam laman. Orang awam mungkin akan mengira iklan tersebut adalah milik si pemilik situs, padahal bukan," lanjut Edi.
Pendapat lain datang dari Danny Wirianto selaku Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I). Menurutnya, iklan interstitial sangat merugikan pihak pemilik situs, karena dapat mengurangi minat konsumen untuk membuka situs itu kembali.
"Tak hanya mengurangi sesi masuk pengunjung situs, tapi juga sering kali iklan-iklan tersebut malah mengalihkan laman yang ingin dituju ke aplikasi tidak jelas dengan maksud agar pengunjung mengunduhnya," tutur Danny. "Dimana tanggung jawabnya? Lebih baik buka agen iklan sendiri saja."
Permasalahan ini dianggap tidak mencerminkan etika industri periklanan karena pihak yang tidak bertanggungjawab tak kunjung menunjukkan aksi nyata untuk menyelesaikannya.
"Seakan-akan segala cara dihalalkan, mentang-mentang teknologi sekarang sudah semakin maju," Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Sapto Anggoro.
Menurut Sapto tindakan ini sudah termasuk kriminal karena secara etis tidak dapat dibenarkan dan secara hukum sudah jelas terjadi pelanggaran.
Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) John Simanjutak, pembajakan iklan digital ini secara bisnis memang melanggar etika. Para pelaku seperti 'merampok' hak orang lain dengan menyelinap di laman situs yang tidak memberikan izin.
Ditanya soal kerugian, belum ada perhitungan secara jelas.
"Bisa dihitung, sesuai dari tarif impression iklan tersebut. Tapi kita tidak akan mendalam soal itu, karena tujuannya bukan komersial, bagi-bagi hasil. Ini murni soal etika, moral, dan tanggung jawab," tegas Edi.