KEBEBASAN BEREKSPRESI

Indonesia Masih Setengah Merdeka di Internet

CNN Indonesia
Kamis, 30 Okt 2014 10:23 WIB
Indonesia masih berstatus “setengah merdeka” di internet karena banyak aturan yang membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara akan menampung saran dari sektor industri dan pemangku kepentingan lain untuk menyusun kerangka regulasi di masa depan (CNN Indonesia/Aditya Panji)
Jakarta, CNN Indonesia -- Praktisi teknologi mendesak Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, untuk meninjau Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektoronik (UU ITE), terutama Pasal 27, yang sering membungkam kemerdekaan berpendapat di media internet.

Forum Demokrasi Digital yang diisi oleh praktisi telekomunikasi, mencatat bahwa jumlah kasus hukum yang dijerat dengan UU ITE rata-rata ada 1 kasus per bulan pada 2013. Pada Januari hingga Oktober 2014, rata-rata ada empat kasus per bulan.

Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), Damar Juniarto mengatakan, kasus UU ITE justru lebih banyak terjadi di luar kota-kota besar. "Total kasus UU ITE pada 2008 sampai 2014 yang terdeteksi ada 69 kasus," ujar Damar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengkritisi beberapa hal terkait UU ITE. Pertama, soal kurangnya sosialisasi atas UU ITE. Kedua, ada banyak multitafsir dalam UU ITE, termasuk pada pasal 27 ayat 3, tentang kata “mendistribusi atau mentransmisikan” informasi elektronik.

“Karena tafsir ‘transmisi elektronik’ membuat ruang privat dan ruang publik menjadi rentan dikriminalisasikan,” tegas Damar.

Forum Demokrasi Digital menggambarkan status Indonesia sebagai negara yang “setengah merdeka” di internet karena banyak aturan yang membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.


Pasal 27 dalam UU ITE sering dipakai untuk menjerat seseorang yang melontarkan pendapat pedas atau mengkritik lewat media internet. 'Korban' pertama UU ITE adalah Prita Mulyasari, lalu ada Florence Sihombing dari Yogyakarta, dan terakhir adalah pedagang tusuk sate berinisial MA yang ditahan karena dituduh melakukan pencemaran nama baik kepala negara. Semua kasus ini menimbulkan reaksi dari para pengguna internet.

Aturan terakhir yang dibuat pemerintah adalah Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Dengan regulasi ini, pemerintah bakal makin mudah untuk menutup situs web yang dinilai negatif.

Sayangnya, tolok ukur konten negatif itu dinilai berbagai pihak tidak jelas. Beberapa situs web yang menyediakan informasi kesehatan perempuan atau informasi menyusui bagi ibu, turut menjadi korban pemblokiran, padahal banyak konten edukasi di sana.


Menkominfo Rudiantara, berjanji akan mendengarkan kritik dan saran dari industri untuk menyusun regulasi di masa depan. “Saya pasti akan mendengar suara industri. Silakan kalau asosiasi punya saran,” ujar Rudiantara saat menyambut para tamu di tempat tinggalnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/10).

Rudiantara berjanji untuk menyusun masalah-masalah yang jadi prioritas. Namun, untuk urusan blokir konten internet, Rudiantara akan melanjutkan program itu untuk menjaga keamanan nasional, karena saat ini banyak serangan tak terduga dari dunia siber.

Selama ini, pemerintah membuat daftar situs web bermuatan negatif dalam program Trusf Positif, yang mendaftar situs web pornografi, perjudian, penipuan, pengelabuan, proxy, dan program jahat. Perusahaan telekomunikasi dan penyedia jasa internet wajib memblokir situs web yang tardaftar di Trust Positif.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER