Jakarta, CNN Indonesia -- Konsep kota pintar atau smart city selama ini banyak diartikan sebagai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan kinerja layanan perkotaan dan untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Namun anggapan adopsi teknologi saja tidak cukup, karena hal ini harus pula mengukur efektivitas yang dihasilkan.
Di Stockholm, Swedia, kota ini sejak tahun 1994 telah memikirkan langkah efisiensi dalam membangun jaringan telekomunikasi kota. Proyek tersebut digarap oleh perusahaan Stokab yang dimiliki oleh pemerintah kota setempat.
Mereka membangun jaringan serat optik untuk telekomunikasi dan Internet di kota Stockholm. Lembaga pemerintah hingga perusahaan swasta bisa menyewa jaringan tersebut untuk mendukung kegiatan komunikasi modern tanpa perlu lagi memasang atau menggali kabel untuk menghubungkan jaringan telekomunikasi ke gedung-gedung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah ini membuat kota dapat melakukan efisiensi pembangunan dan menerapkan apa yang disebut teknologi ramah lingkungan. Karena dari infrastruktur yang dibangun Skotab, teknologi mereka dapat diaplikasikan untuk layanan transportasi publik, membuat sebuah bangunan yang hemat energi, memantau pesanan parkir kendaraan, sekaligus memantau lalu lintas.
"Kami di Stockholm menggunakan satu kartu untuk berbagai layanan transportasi," ujar Erik Kruse, Strategic Marketing Manager & Networked Society Evangelist di perusahaan telekomunikasi Ericsson, sambil memperlihatkan kartu multifungsi berwarna biru gelap bertuliskan Access kepada CNN Indonesia di Jakarta, Senin (8/6).
Kartu ini, menurutnya dapat digunakan untuk transportasi segala jenis bus dan kereta. Kota lain, contohnya Singapura, juga mengaplikasikan satu kartu pintar untuk semua layanan transportasi publik.
Jakarta sejauh ini baru mengaplikasikan pemanfaatan kartu pintar hanya untuk Kereta Commuter Line dan TransJakarta. Belum dapat mengakomodir kebutuhan untuk menaiki transportasi lain seperti Metro Mini atau Mikrolet.
Dari contoh kasus di atas, Ericsson memperlihatkan bagaimana adopsi TIK dapat meningkatkan kualitas hidup warganya. Ini penting untuk dipertimbangkan dalam pembangunan konsep kota pintar di suatu daerah karena konsep Smart City yang selama ini sering disebut-sebut bukan hanya sekadar adopsi teknologi.
Head of Stategic Marketing Ericsson, Patrik Regardh berkata, untuk menciptakan sebuah kota pintar, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Mereka harus meminta dukungan dan bekerjasama dengan banyak pihak agar pembangunan terintegrasi.
Patrick melontarkan wacana berbagi infrastruktur yang dinilai cocok untuk operator telekomunikasi agar dapat memeperluas jaringannya kepada pelanggan di setiap kawasan.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menyatakan, telah mendukung rencana Jakarta menjadi kota pintar. Ia berjanji kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, untuk menyelimuti seluruh kawasan Jakarta dengan jaringan Internet mobile kecepatan tinggi, 4G LTE.
"Itu yang bisa saya janjikan kepada Pak Ahok. Kami dari Kemenkominfo bisa mendukung dari sisi teknologi. Seluruh Jakarta akan full tercover 4G LTE pada akhir 2015," ujar Rudiantara.
Rudiantara mendesak operator seluler untuk segera mengkomersialkan 4G LTE dan membangun infrastruktur yang memberikan layanan Internet generasi keempat tersebut.
Ia pun menjelaskan, bahwa konsep kota pintar itu tidak sama di setiap daerah. Setiap daerah yang memiliki keunggulan pada satu bidang bisa mengadopsi teknologi untuk mempromosikan keunggulannya yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan daerah serta meningkatkan kualitas hidup warga.
Rudiantara mencontohkan seperti Pekalongan yang terkenal dengan budaya batiknya. Ia menyarankan kepala daerah di sana misalnya membuat sebuah layanan e-commerce yang menghubungkan para perajin batik dengan konsumen.
"Jadi jangan cuma adopsi teknologi, tapi harus diukur efek ekonomi dan sosialnya. Ini baru smart city," tegas Rudiantara.
Kota Banda Aceh, contohnya, mengklaim punya program tersendiri untuk meningkatkan ekonomi dan sosial warganya. Wakilota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, salah satu yang difokuskan pada konsep kota pintar di Aceh adalah pendidikan, kesehatan, dan informasi.
Dalam hal informasi, Illiza mencontohkan pihaknya membuat layanan arsip digital kependudukan, pengaduan online, open data, sampai antrean online untuk warga yang hendak mengantre di Puskesmas.
"Jadi mereka tidak perlu menunggu berlama-lama, karena antrean online ini bisa memprediksi waktu sampai warga itu dipanggil oleh layanan dari pemerintah," ujar Illiza dalam presentasi di seminar Transformasi Cities Forum 2015 di Jakarta, Senin (8/6).
Data Bank Dunia memprediksi, tahun 2025 akan menjadi puncak urbanisasi di Indonesia, dengan 57 persen penduduk bakal tinggal di perkotaan. Saat ini, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan berkisar 52 persen.
Melihat prediksi tersebut, pemerintah kota perlu mempersiapkan sejumlah langkah untuk mengatasi masalah perkotaannya masing-masing.
Pakar pengembangan perkotaan dari Universitas Trisakti, Wicaksono Sarosa berkata bahwa transformasi Indonesia sebagai bangsa urban tidak mungkin dicegah karena didorong oleh urbanisasi besar dan ia memprediksi semakin banyak masalah yang muncul di perkotaan.
Oleh karena itu, kota pintar yang sebenarnya bukan hanya menyediakan koneksi Wi-Fi di berbagai kota. Lebih dari itu, dari sektor pemerintah harus mampu memanfaatkan teknologi untuk memudahkan warganya mengakses dan menyelesaikan segala urusan kependudukannya memanfaatkan teknologi informasi.
Dari sektor swasta juga demikian, misalnya membangun gedung yang memiliki saluran untuk pembuangan limbah yang baik atau membangun saluran terpadu untuk segala macam infrastruktur telekomunikasi yang berkelanjutan dan pada akhirnya mendukung program hemat energi.
"Kota pintar yang sebenarnya bagaimana teknologi dimanfaatkan untuk mencapai tujuan kelayakhunian dan ini dikembangkan secara berkelanjutan. Kita tidak boleh dikuasai teknologi. Tapi sebaliknya, kita yang harus mengusai teknologi," tutur Wicaksono.
Smart city adalah sebuah belantara konsep, yang memberi pilihan sebuah kota menjadi pintar dalam berbagai hal, misalnya ekologi, pariwisata, kependudukan, kreativitas, produktivitas kerja, bisnis, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Konsep "pintar" di sebuah kota bisa saja berbeda, tinggal bagaimana para kepala daerah menumbuhkan potensi kotanya.
(adt/eno)