Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa minggu terakhir, pemberitaan di media massa ramai tentang aksi unjuk rasa oleh pengemudi Gojek yang menyoal potongan yang diberlakukan setiap hari dan penurunan tarif perkilometer. Jika sebelumnya Rp 4.000 per kilometer, kini para pengemudi hanya akan menerima Rp 3.000 per kilometer.
Pemberitaan belakangan ini seperti membuka puncak gunung es di bisnis transportasi berbasis aplikasi (
ride-sharing), dimana untuk Indonesia, Gojek, termasuk pionir.
SiklusJika kita melihat perjalanan Gojek sebagai startup, ini adalah titik krusial bagi manajemennya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, Gojek mendapatkan pendanaan yang lumayan besar dari Northstar Group melalui NSI Ventures, dan terakhir kabarnya dari Sequoia Capital. Nilai yang digelontorkan kabarnya dalam jumlah lumayan besar.
Sebagai startup, Gojek telah sukses melewati fase pertama berbisnis yakni memiliki ide yang bisa men-
disruptive pasar.
Dalam kasus Gojek, pendiri melihat peluang kondisi angkutan massal di Indonesia belum mumpuni dan untuk transportasi roda dua belum ada kepastian harga.
Pendiri Gojek berhasil men-
transformasi supply meet demand yang diakselerasi dengan menawarkan insentif tarif
flat untuk memberikan kepastian harga bagi penumpang dan
revenue sharing yang menguntungkan
driver.
 (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Gojek juga sukses melewati tahapan kedua dari perjalanan startup di bisnisnya yakni menciptakan basis pelanggan dan membangun ekosistem. Ditambah dengan strategi komunikasi pemasaran yang mumpuni, para pendiri dari aplikasi ini setahun belakangan menikmati masa bulan madu sebagai startup.
Saat ini, Gojek akan melewati siklus ketiga sebagai startup yakni ingin menjalankan operasional layaknya perusahaan besar. Dalam posisi ini, tak diutamakan lagi berapa besar transaksi atau mitra yang mendukung, tetapi secara operasional bisa untung atau tidak, seperti tuntutan para investor.
Tak heran, sejumlah langkah efisiensi mulai dijalankan seperti paparan di pembuka artikel ini.
Langkah yang dilakukan Gojek ini tergolong berani di tengah gempuran dari pesaingnya yang masih dalam tahapan kedua perjalanan bisnisnya yakni mencari basis pelanggan dan memperbesar ekosistem.
Menghadapi aksi pesaing, manajemen Gojek mencoba mengatasi tekanan dengan terus melakukan ekspansi wilayah dan diversifikasi layanan. Bahasa manajemennya,
scale up your level.
Hal itu terlihat dengan langkah ekspansi ke luar Jakarta, Surabaya dan Bali, seperti ke Yogyakarta, Semarang, Medan, Palembang serta Balikpapan per 15 November 2015.
Sepertinya Gojek sadar, berperang di sisi harga hanya akan membuat keuangan berdarah-darah dan tak bisa bertahan lama di pasar.
Baca: Subsidi Gojek akan DicabutSeandainya Gojek berhasil melewati fase ketiga dari siklus yang harus dilewati startup yakni untung secara operasional, jangan kaget jika ada kabar perusahaan mendapatkan investor strategis atau bahkan ke bursa saham.
Fase inilah yang biasanya diimpikan oleh para pendiri startup sekaligus membuat mereka berada di persimpangan jalan. Pilihannya menjadi pemilik minoritas atau terus berjuang meningkatkan valuasi dari perusahaan.
Regulasi Ride-sharingBelajar dari kasus yang terjadi pada Gojek, sudah saatnya pemerintah mulai mengintervensi layanan
ride-sharing yang tengah marak seperti yang terjadi di Filipina dengan mengeluarkan aturan main yang jelas.
Menurut saya, Gojek dan pemain lainnya di
ride-sharing sudah berhasil menjalankan tugasnya yakni memangkas model bisnis di transportasi dan memberikan efisiensi baik bagi pengguna atau pelaku usaha.
Melihat kondisi infrastruktur transportasi di Indonesia, rasanya permintaan layanan
ridesharing akan terus naik walau secara operasional mereka merugi.
Saat ini kondisi pemain
ride-sharing memang dalam posisi buntung. Bahkan, sekelas Uber saja mengaku belum berani menarik keuntungan dari mitra pengemudi dan fokus memperbesar ekosistem.
Belajar dari Gojek dimana nantinya para pemain mulai masuk dalam tahap mencari laba secara operasional, jika tak ada regulasi yang jelas mulai dari model bisnis, keamanan, dan teknis lainnya, hukum rimba akan berlanjut.
 (Dok.Gojek) |
Sejauh ini saya melihat Kementrian Perhubungan (Kemenhub) masih berpegang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Artinya,
ride-sharing tak mendapatkan tempat atau belum jelas payung hukumnya.
Solusi yang bisa diharapkan adalah pada roadmap e-Commerce yang masih molor penyelesaiannya. Mumpung masih molor, ridesharing selayaknya mendapat tempat di roadmap tersebut karena jika dilihat dari proses transaksi pantas dikategorikan sebagai kegiatan e-Commerce.
Minimal, di roadmap e-Commerce dimasukkan tentang
Service Level Agreement (SLA) antara pemilik aplikasi dengan pengguna dan mitranya untuk
ride-sharing.
Selanjutnya, kita mengharapkan adanya komunikasi yang kongkrit antara Menkominfo Rudiantara dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk membahas aturan yang jelas tentang bisnis
ridesharing di Indonesia. Dalam aturan bisa diperjelas mulai dari jenis moda yang layak untuk
ride-sharing hingga model bisnis, bahkan jika ingin ekstrim layaknya di telekomunikasi, penatrifan dasar pun diatur sehingga tak ada banting tarif antar pemain agar bisnisnya sustain.
Seandainya langkah ini tak dilakukan, tunggu saja bom waktu meledak di bisnis ini dimana friksi antara mitra dengan pemilik aplikasi akan berulang, ujungnya masyarakat yang dirugikan. Kalau sudah begini, dimana kehadiran negara melindungi rakyatnya sesuai Nawacita?
Maaf, kalau saya sedikit paranoid. Tetapi seperti kalimat Andy Grove di buku 'Only the Paranoid Survive',
Only paranoid survive. Scare make you exist ! (tyo)