Jakarta, CNN Indonesia -- Akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Sinta Dewi menyebut Indonesia rentan akan penyalahgunaan data pribadi karena belum ada regulasi yang mengatur hal itu. Salah satu bentuk penyalahgunaan yang paling mengkhawatirkan adalah jual beli data pribadi digital yang mestinya bersifat rahasia.
Saat ini, Sinta dan akademisi lainnya sedang menyusun draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Menurut Sinta, Rabu (10/8), RUU ini ditargetkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun depan.
"Kerugiannya memang tidak terasa langsung di masyarakat, tapi ini menguntungkan pihak lain. Tidak merasa dirugikan bukan berarti harus diam," ujarnya ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com di Jakarta.
Dia mengatakan pihaknya saat ini masih meneliti kasus-kasus yang ada sehingga belum bisa mengungkapkan secara gamblang. Sinta mengatakan sempat ada beberapa kasus yang diangkat, tapi ditampik oleh sejumlah institusi.
Salah satu contoh penyalahgunaan data pribadi yang banyak terjadi di Indonesia, kata Sinta, adalah penggunaan data untuk iklan berbasis lokasi yang disampaikan lewat pesan singkat (SMS).
"Misalnya kita datang ke suatu tempat atau mal, tiba-tiba dikirim iklan lewat SMS. Selain menyalahgunakan data, kan itu mengganggu juga," ujarnya.
Selain itu, terbukanya data pribadi ke publik bisa jadi berujung pada perbuatan kriminal. Data pribadi yang bisa digunakan untuk memvalidasi transaksi keuangan, misalnya, dapat digunakan untuk melakukan kejahatan siber.
"Seperti data biometrik misalnya. Selama ini memang sudah diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan ada di Kelurahan, tapi apakah aman?" kata Sinta.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) juga menyebut perekaman data pribadi oleh pemerintah atau perusahaan rentan menjadi masalah.
"Program e-KTP menghendaki identitas tunggal setiap penduduk yang berlaku seumur hidup. Seluruh informasi pribadi warga negara direkam, termasuk identitas dan ciri fisik melalui pemindaian sidik jadi dan retina," kata Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM Elsam Wahyudi Djafar.
Hal ini bermasalah karena dalam kejadian tertentu, dengan dasar hukum yang saat ini berlaku, data itu dapat diungkap dan dikecualikan dari perlindungan. Misalnya, ketika seseorang dianggap melanggar hukum, terlibat terorisme atau pencucian uang, beberapa data pribadinya bisa diungkap.
Hanya saja, masyarakat tidak pernah tahu betul apa yang dilakukan dengan data tersebut. Karena itu, diperlukan peraturan yang menjamin perlindungannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh lainnya yaitu perekaman data pribadi oleh bank dan penyedia layanan telekomunikasi seluler. Saat ini, bank dinilai sudah tidak terlalu mengkhawatirkan karena pada saat nasabah membuka rekening wajib ditawarkan kesepakatan terkait data pribadinya.
Namun, hal serupa tidak terjadi pada saat pengguna layanan telekomunikasi mendaftarkan datanya pada perusahaan penyedia. Data inilah yang kemudian rentan disalahgunakan.
"Kita kan hanya ingin mendapatkan layanannya, tapi tiba-tiba penyedia layanan tiba-tiba bekerjasama dengan pihak lain dan memanfaatkan data pribadi kita," kata Wahyudi.
Selain itu, kerentanan juga terjadi pada beberapa peranti lunak atau aplikasi ponsel. Sebelum mendaftarkan diri pada suatu layanan, kata Wahyudi, pengguna mesti berhati-hati dan membaca syarat-ketentuan aplikasi.
(adt)