Penurunan Tarif Interkoneksi Memicu Kompetisi yang Sehat

Ervina Anggraini | CNN Indonesia
Sabtu, 10 Sep 2016 18:18 WIB
Menurunnya biaya interkoneksi menjadikan kompetisi bukan terbatas persaingan kuatnya modal, tapi mendorong hadirnya inovasi produk dan jasa pelayanan.
Unjuk rasa karyawan Telkom menolak penurunan biaya interkoneksi ( CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pro kontra rencana penurunan biaya interkoneksi hingga kini masih belum menemukan titik terang. Meski saat ini semua operator sudah menyampaikan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI), namun pemerintah melalui Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengaku masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi semua dokumen.

Kubu Telkom dan Telkomsel beranggapan rencana penurunan biaya tidak berbasis recovery cost perusahaan sebesar Rp285, sehingga berpotensi mengganggu iklim usaha.

Pengamat ekonomi Financial Report Institute Muhammad Ikhsan Modjo justru beranggapan berbeda. Menurutnya, penurunan tarif interkoneksi justru membuka peluang besar bagi industri telekomunikasi. Mengingat, penetapan tarifnya secara spesifik hanya melibatkan antar pelaku bisnis (busines-to-business/ B2B).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Menurunnya biaya interkoneksi justu menjadikan kompetisi bukan lagi terbatas persaingan kuatnya modal, tapi mendorong hadirnya inovasi produk dan jasa pelayanan kepada konsumen," kata Ikhsan sesaat setelah diskusi media di Universitas Indonesia, Jakarta, kemarin.

Lebih lanjut Ikhsan mengatakan, aspek biaya interkoneksi memegang peranan penting dalam persaingan bisnis yang sehat dan efektif. Menurunnya biaya interkoneksi berpotensi besar menurunkan churn rate (pelanggan memiliki lebih dari satu nomor) karena tarif menelepon yang murah antar operator (off-net).

Yang terpenting, menurutnya penurunan biaya interkoneksi akan menghilangkan dominasi pasar karena mampu menjaga kompetisi bisnis yang sehat.

"Tingkat harga yang dibayarkan konsumen tidak serta merta merefleksikan struktur ongkos produksi provider, dengan alasan praktek monopoli dan kollatif oligopoli bahwa recovery cost suatu operator tinggi karena faktor pembangunan infrastruktur tidak sepenuhnya tepat," imbuhnya lagi.

Ketika disinggung mengenai imbas penurunan biaya interkoneksi terhadap tarif ritel, Ikhsan mengaku optimis ada korelasi antara keduanya. Mengingat, operator akan terhindar dari kompetisi penetapan tarif dan duplikasi pembangunan infrastruktur telekomunikasi.

"Saat ini saya berasumsi price cost margin perusahaan yang dominan bisa turun, pasti profitnya ditekan. Kalau biaya interkoneksi turun, tentu akan berimbas pada penurunan tarif ritel yang ujung-ujungnya menguntungkan konsumen," ungkapnya.

Di sisi lain, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Moch Ridwan Effendi beranggapan penerapan tarif asimetris justru akan menguntungkan pelanggan, karena biaya yang diberlakukan dihitung berdasarkan recovery cost operator.

"Penetapan simetris bisa diberlakukan kalau sudah ada keseimbangan pembangunan. Yang terjadi saat ini perhitungan tidak berbasis recovery cost sehingga berpotensi merugikan operator yang sudah membangun hingga ke daerah," ucap Ridwan di kesempatan yang sama.

Ditambahkan, pemerintah sejatinya hanya menetapkan formula penghitungan biaya interkoneksi saja. Sementara untuk penetapan tarif kembali menjadi wewenang operator. (evn)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER