Network Sharing Dianggap Bertentangan dengan Tax Amnesty

Bintoro Agung Sugiharto | CNN Indonesia
Selasa, 11 Okt 2016 19:05 WIB
CITA mengestimasi pendapatan industri yang hilang akibat network sharing mencapai Rp14 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Pratowo (kiri), dan anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih (kanan) dalam sebuah diskusi mengenai revisi PP No.52 dan 53 Tahun 2000 di Jakarta, Selasa (11/10). (CNN Indonesia/ Bintoro Agung Sugiharto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) menilai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 bertolak belakang dengan kebijakan tax amnesty yang digalakkan pemerintah.

Hal tersebut menurut Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo lantaran setiap keuntungan yang diperoleh perusahaan telekomunikasi dari efisiensi tidak secara langsung meningkatkan jumlah pajak yang akan dibayarkan ke negara.

"Setiap profit yang bertambah dari penerapan network sharing tidak selalu meningkatkan penerimaan negara lewat pajak," ucap Yustinus di Jakarta, Selasa (11/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Menurutnya, jika revisi itu resmi diberlakukan, maka hanya beberapa operator seluler yang menanggung keuntungan dari adanya network sharing. Sebagian besar keuntungan tersebut nantinya justru bakal mengalir ke kantong perusahaan induk mereka di luar Indonesia, sehingga kontradiktif terhadap upaya tax amnesty.

Dalam pemaparannya, Prastowo mengatakan dalih utama efisiensi yang ngotot diberlakukannya network sharing hanya berlaku dalam jangka pendek bagi masyarakat.

CITA telah mengestimasi pendapatan industri yang hilang mencapai Rp14 triliun. Dengan potensi tersebut jumlah penerimaan negara dari PNBP akan berkurang sebesar Rp245 miliar, Rp1,4 triliun dari PPN, dan Rp559 miliar dari PPh.

"Efisiensi industri tidak berarti menguntungkan bagi masyarakat, meski mereka (operator telelekomunikasi) berdalih bisa berimbas pada efisiensi industri dari segi bisnis" terang Yustinus.


Selain potensi kehilangan pendapatan negara dari pajak, praktik network sharing diduga memicu transfer pricing yang mungkin terjadi dari struktur kepemilikan mayoritas saham asing oleh operator telekomunikasi.

Transfer pricing adalah bentuk praktik pengalihan biaya dari sebuah nilai barang atau jasa antara beberapa perusahaan dalam satu nama besar sehingga menggeser laba yang harusnya masuk kas dalam negeri ke perusahaan induk asing.

Sejatinya masih ada beberapa masalah yang ada di dalam negeri seperti ketimpangan jaringan dan perbedaan komitmen membangun jaringan menambah daftar kendala yang perlu dituntaskan pemerintah sebelum memberlakukan network sharing.

Di tempat yang sama, anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih secara terang-terangan menolak revisi PP No.52/2000 dan PP No.53/2000 yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika karena dianggap cacat secara administrasi.

"Ombudsman RI tidak setuju dengan revisi ini, karena kami tidak melihat batasan yang diperlukan agar kebijakan bukan hanya menguntungkan satu pihak" tegas Alamsyah.


Meski demikian, ia tak menampik jika berbagi jaringan dan frekuensi diperlukan seiring dengan perkembangan zaman. Ia memberi contoh bagaimana di beberapa negara dunia mengatur sistem berbagi jaringan dan frekuensi baik yang secara pasif maupun aktif.

Hanya saja menurutnya dalam revisi yang diajukan Kemkominfo, sejauh ini kebijakan tersebut hanya bersifat mencari keuntungan dan mengesampingkan kewajiban membangun jaringan meski lisensi yang diperoleh bersifat nasional.

Sebagai solusi, baik Alamsyah dan Prastowo, menganjurkan untuk implementasi network sharing bisa diberlakukan di wilayah rural yang tak padat penduduk seperti yang sudah dilakukan oleh Malaysia yang menerapkan sistem berbagi jaringan di area-area perbatasan.

Dengan begitu, kewajiban operator untuk menyediakan akses komunikasi yang merata bisa segera terwujud dan tidak ada lagi kesan monopoli oleh operator tertentu di satu area. (evn)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER