Jakarta, CNN Indonesia -- Proses uji publik jelang lelang frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz yang saat ini masih berlangsung terus menuai pro kontra. Meski sebelumnya keterbatasan peluang dan peserta lelang yang menjadi perhatian banyak pihak, ada hal penting lain yang diharapkan menjadi perhatian pemerintah.
Agus Prabowo Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) mengatakan hal penting yang dimaksud tak lain adalah materi kontrak yang acapkali diabaikan oleh operator. Padahal, lelang frekuensi seharusnya bukan sekedar mencari penyelenggara jaringan terbaik, tapi mengedepankan komitmen menyediakan layanan komunikasi.
"Bentuk perikatan atau kontrak sebenarnya lebih kritikal ketika ada pihak yang terpilih dan diminta untuk bekerja (mulai membangun) karena ada yang kerap lalai dan tidak cermat," ucap Agus disela diskusi mengenai Optimalisasi Lelang Frekuensi di Jakarta, Kamis (23/3).
Bukan tanpa alasan, Agus menegaskan hal tersebut berkaca pada pengalaman jika kontrak kerap menjadi pangkal permasalahan di berbagai sektor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kontrak merupakan bentuk keterikatan yang tidak sesuai bisa berpotensi menjadi permasalahan perdata ataupun pidana.
Sama halnya dengan kontrak yang diajukan operator, tuntutan untuk melakukan pembangunan dan perluasan jaringan bisa berujung pada masalah pidana atau perdata jika tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan.
"Memang ada desakan lelang frekuensi itu penting karena bisa meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), tapi jangan lupakan di sisi lain RPM (Rancangan Peraturan Menteri) berpotensi memicu masalah baru terutama soal transparansi dan diskriminatif," ucapnya.
Sejak awal, Agus menekankan seharusnya perusahaan membuka rancangan kontrak ke calon penyedia. Meski dalam skala akses terbatas, namun hal itu menunjukkan komitmen kewajiban yang hendak dipenuhi sebelum mendapatkan hak berupa kepemilikan pita frekuensi.
Senada dengan yang diutarakan Agus, Manager Democratic Governance Transparency International Indonesia, Teguh Setiono menegaskan absennya komitmen menjadi peluang terjadinya korupsi.
"Prasyarat lelang yang diajukan pemerintah justru menjadi indikasi praktek korupsi besar, Perusahaan akan berkompetisi dan merekaya agar sesuai dengan syarat yang diajukan, di sisi lain mereka abaikan poin komitmen kontrak yang seharusnya diajukan di awal," tandas Teguh.