Jakarta, CNN Indonesia -- Popularitas ponsel cerdas buatan dalam negeri perlahan tapi pasti kian tenggelam. Persaingan dengan kompetitor global, terutama asal China, jadi penyebabnya.
Risky Febrian, analis dari IDC Indonesia, mengatakan menurunnya performa porsi ponsel cerdas di pasar tak lepas dari kemampuan finansial tak sebanding dengan para kompetitornya.
Risky mencontohkan produsen asal China seperti Oppo dan Vivo. Kedua produsen ini mampu menggaet pasar dengan cepat berkat dukungan finansial yang kuat di aspek ritel dan pemasaran yang jor-joran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Vendor China ini kan agresif sekali marketingnya, juga distribusinya. Ini yang menyebabkan kompetisi di pasar ponsel pintar makin sulit jadi merek lokal yang secara finansial terbatas, makin susah bersaing," ujar Risky yang ditemui di Selular Congress 2018, Jakarta, Kamis (3/5).
IDC menyebut kondisi pasar
smartphone di Indonesia pada 2017 didominasi oleh lima pemain besar yakni Samsung, Oppo, Advan, Asus, dan Vivo dengan total pangsa pasar 74,9 persen dari jumlah pengiriman 30,4 juta unit.
Pada 2016, posisi lima besar itu menguasai 68,4 persen dari total 30,3 juta unit.
Selama kurun waktu tersebut, hanya Advan yang masih bertahan di lima besar. Bahkan pangsa pasarnya naik tipis dari 6,8 persen pada 2016 menjadi 7,7 persen pada 2017.
Perkaranya, menurut Risky, nasib produsen lokal masih cukup suram mengingat rata-rata harga ponsel cerdas di Tanah Air meningkat dari
entry level ke segmen menengah.
Ketika harga rata-rata ponsel ini meningkat produsen lokal terjebak dalam dilema. Risky menilai jika mereka meninggalkan pasar
entry level jadi habitatnya menuju segmen menengah seperti tren yang ada, mereka akan berhadapan dengan kompetitor global seperti Samsung dan lainnya.
"Pada akhirnya dari kekuatan finansial menentukan posisi mereka di pasar," imbuh Risky.
Berdasarkan catatan IDC Indonesia, pangsa pasar produsen lokal dan global kian menurun, sementara produsen China terus meningkat sejak 2013.
(evn)